"Jika ada satu kata yang mewakili lebih dari kata cantik, maka aku tidak akan mengucapkan cantik ketika mendefinisikan kamu."
Gudang itu tampak senyap. Rumput dan tumbuhan menjalar yang tumbuh di sepanjang sisi tembok membuatnya lembab. Terletak di sisi paling belakang halaman sekolah. Tak ada yang tahu, bahwa gudang yang sejak lama tak terpakai itu adalah markas dari empat murid biang onar di SMA Renjana.
Dengan menyebar mitos seram, mereka berhasil membuat gudang itu tak terjamah oleh siswa lain. Para guru pun seperti enggan hanya untuk sekedar menapak kaki. Sesekali, pak Tinto, tukang kebun sekolah itu yang menengok untuk mengecek atau menggotong bangku yang tak layak untuk diperbaiki. Pak tinto juga sudah tau keberadaan empat siswa tersebut. Namun, pak Tinto hanya membiarkan saja.
Dan di sinilah mereka melarikan diri. Pada senin yang cerah, saat semua siswa sedang berdiri memberi hormat pada Sang pusaka, mereka malah duduk santai di antara bangku-bangku yang ditata bertumpuk sambil sibuk memainkan ponsel. Di bawah kursi yang mereka duduki, berserakan sisa-sisa putung rokok dan kaleng bir. Satu diantara mereka lebih memilih tiduran di atas meja yang disusun memanjang. Di bawah kepalanya, terlipat asal jaket bomber sebagai bantalan. Satu kakinya ia tekuk, bergerak kecil seirama alunan musik di earphone yang terpasang di kedua telinga. Sebelah lengannya menutupi mata, sedang tangan yang lain berada di sisi paha yang tertekuk, juga bergerak mengikuti irama musik.
“Ah ... hp gue, njir!
Bunyi benda jatuh diiringi pekikan kasar dari seorang cowok dengan tindik di kedua telinga. Segera saja ia berjongkok meraih ponsel yang masih menampilkan game online yang marak dimainkan anak seusianya. Namun, baru saja ia akan lanjut memainkan, tulisan game over terpampang jelas di layar ponsel miliknya. Menambah muram di wajah flamboyan itu.
“Ck, kalah lagi!”
Dua kali bunyi itu mengganggu. Kali ini, dengan sengaja si pemilik melempar keras ponsel itu membentur dasar meja seraya mengumpat.
Satu cowok disebelahnya merapatkan bibir. Menahan tawa.
“Pa-an sih, lo ... ngamuk-ngamuk kayak kebo ...”
Dani, cowok yang baru saja membanting ponselnya itu melotot sembari mendorong ziko dengan keras, "Lo nyenggol, tai!” umpatnya bersungut.
“Gue nggak nyenggol tai, mana ada tai di sini. Lo bau tai nggak, Nan?”