"Tatapan mata adalah gambaran isi hati yang tak bisa menipu."
Mili kesal. Ia duduk di sofa panjang dengan wajah cemberut. Tangannya bersedekap menatap tak berminat ke arah cermin bulat yang memantulkan wajahnya di sana. Sedangkan di belakangnya, ada oma yang tak hentinya memuji hasil karyanya pada rambut mili.
“Oma ... Mili udah remaja bukan anak kecil lagi. Masak rambut Mili masih dikepang dua gini, malu oma ... kayak anak TK,” Mili merajuk seraya menggoyang-goyangkan badannya persis anak kecil yang minta dibelikan sesuatu oleh ibunya.
“Eeh ... siapa bilang kayak anak TK. Kamu itu lebih cantik dikepang, kelihatan imutnya.” Oma semakin mendekatkan cermin di depan wajah mili, membuat mili memutar bola mata jengah.
“udah, ah ... Mili mau berangkat,” ucapnya lalu mengangkat paksa tangan oma dan menciumnya cepat.
“Eh ... eh, Oma belum selesai ini," protes oma yang akan mengolesi rambutnya dengan minyak kelapa, namun urung karena mili terburu menyambar tangannya.
Mili menghentakkan kakinya ketika mendapati Aldi, papanya sedang menyembunyikan tawa di ujung meja makan.
“Nggak lucu, papa ... nggak ada yang lucu!” seru Mili. Ia memasukkan bekalnya dalam ransel, lalu meminum susunya dengan tergesa.
“Iya ... nggak ada yang lucu kok,” ucap papa Aldi kalem di sela tawanya.
“Ya nggak usah ketawa dong, pa ...”
Mili meraih roti isi selai dan tumpukan buku paket di atas meja, kemudian melangkah keluar dengan wajah cemberut.
“Hei, Mili ... Tunggu papa!” seru papa Aldi setelah meminum kopinya dengan tergesa dan berjalan menyusul putri semata wayangnya itu.
*******
Papa Aldi di buat keki sama mili. Sedari tadi di dalam mobil, ia bercerita apapun untuk menarik perhatian Mili. Namun tak ada tanggapan atau sanggahan dari mili. Putrinya itu malah asyik menggigiti rotinya dengan khidmat. Beberapa kali ia bertanya, namun hanya dibalas dengan menghendikkan bahu dan kata singkat, “nggak tahu,” itu saja. Lama-lama ia yang jadi capek sendiri. Akhirnya, dia mengatakan kalimat terakhir yang pasti berhasil menarik perhatian mili, “Papa nyerah, deh. Sekarang kamu minta apa, papa akan kabulkan permintaan kamu.”
Mili yang mendengar itu melirik ke arah papa Aldi. Satu sudut bibinya tertarik ke samping, menimang-nimang dengan wajah serius. Setelah satu menit, Mili berkata dengan raut sok jutek.
“Belikan sosis bakar yang ada di depan rumah sakit, salad buah tapi anggurnya banyakin, terus ..." Mili menengadahkan sebelah tangannya, "Tambah uang saku,” ucap mili selanjutnya.
“Kamu ini, memang pintar bikin dompet papa menipis,” canda papa Aldi seraya menarik pipi Mili gemas.
Papa Aldi menghentikan mobilnya di samping pintu gerbang sekolah mili. Mengambil satu lembar uang lima puluh ribu dan menyerahkannya ke tangan mili. Mili tersenyum puas sambil mencium tangan papa Aldi. Lalu turun dan melambaikan tangan ke arah papa yang mulai melajukan mobilnya.
Mili melangkah masuk ke area sekolah. Tangannya sibuk menarik-narik karet yang mengikat rambutnya. Karena ia juga membawa buku paket, membuatnya kesulitan melepas kepangan itu. Bibirnya mulai menggerutu dan mengeluarkan decakan ketika kakinya terhalang oleh benda bulat yang hampir membuatnya terjatuh.
“woi, neng Mil ... tendang bolanya kesini!"
Mili memutar bola mata malas mendengar teriakan dari tengah lapangan. Ia melangkah kembali dan menendang bola itu dari belakang sehingga bola menggelinding berlawanan arah dengannya. Saat ini, ia benar-benar kesal dengan karet yang malah semakin mengikat erat sebelah kepangnya yang sudah berantakan karena dipaksa lepas.
“Wah ... cantik-cantik nyebelin ternyata,” ucap seseorang yang masih bisa ia dengar. Mili tetap tak acuh.