Pertemuan adalah sebuah kesengajaan, sementara kebetulan adalah bahasa mereka yang menolak mempercayai adanya takdir.
Deon berdiri tegap menampilkan wajah datar. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, menggenggam hampa di sana. Mata tajamnya menyorot lurus ke arah seorang wanita berusia awal empat puluhan yang duduk tenang di balik meja dengan papan bertuliskan kepala sekolah. Jika biasanya ia bisa bersikap pongah seperti sebelumnya, menjadi pengecualian ketika ia harus berhadapan dengan seseorang yang biasa disapa bu Rani itu.
Ada sesuatu yang tak bisa ia anggap biasa ketika sedang berhadapan dengan wanita itu. Rasanya seperti diingatkan kembali bagaimana rasanya terabaikan. Dan ia muak sampai rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan ini. Jika kebanggaan untuk tidak mengikuti upacara senin lalu membuatnya harus kembali dihadapkan pada wanita ini, Deon tentu lebih memilih kabur saja sekalian waktu itu.
Terdengar helaan napas sebelum empat lembar kertas HVS yang dijadikan satu terlempar di atas meja, “Belum genap empat bulan, kalian sudah hampir memenuhi satu lembar buku daftar pelanggaran siswa. Bagaimana untuk bulan-bulan selanjutnya?” Bu Rani berbicara dengan nada normal, pun wajahnya tak ada sirat amarah atau kecewa. Matanya memindai satu per satu siswa di depannya.
“Saya menaikkan kalian bukan semata-mata karena kalian berhasil meningkatkan citra sekolah di bidang basket. Tapi untuk membuat kalian lebih punya rasa tanggung jawab. Saat kalian dibebani oleh tugas dan ujian-ujian yang sebentar lagi dilaksanakan, saya berharap ini akan membuat kalian sedikit bersikap dewasa untuk tidak mengulangi kenakalan. Anggap saja ini sebagai kesempatan terakhir ...” bu Rani memberi jeda, lalu mengangguk ke arah pintu setelah suara lirih seorang siswa menyapa memberi salam.
Suara itu menarik perhatian Deon untuk diam-diam mencuri pandang melalui ekor matanya. Gerak-gerik yang terbilang biasa, nyatanya berhasil mengalihkan rasa tidak nyaman dalam diri Deon.
Mili berjalan menuju meja pak Rudi yang terletak di samping tempatnya berdiri. Lalu meletakkan tumpukan buku tulis di sisi kosong meja itu. Entah karena terburu-buru, tumpukan buku teratas itu tergeser dan hampir saja terjatuh. Untung saja, mili segera menangkap dan menyeimbangkannya lagi. Pekikan halus serta helaan napas lega terdengar lucu di telinga Deon hingga membuatnya tanpa sadar munyunggingkan senyum tipis. Sampai Mili berbalik dan menghilang di telan pintu, Deon merasa setidaknya ini tidak terlalu buruk. Ditambah empat amplop putih yang sekarang terlerai di depannya. Dan inilah yang ia tunggu.
Tak butuh waktu lama setelah bu Rani mempersilahkan untuk keluar, Deon dan tiga sahabatnya melangkah pergi. Sebelum langkah Deon mencapai pintu, ia harus menahan kepalan tangannya agar tidak menghancurkan amplop putih dalam genggamannya ketika suara bu Rani mengalun lembut, namun menyimpan hujaman batu runcing tak kasat mata. “ Sebenarnya apa yang Kamu lakukan ini tidak akan berarti apa-apa, selama ini Kamu hanya melakukan hal yang merugikan diri Kamu sendiri, Nanta.”
Deon tak suka ikut campur urusan orang lain. Begitu juga sebaliknya. Apa yang ia lakukan tidak memberi hak orang-orang untuk ikut mengendalikan hidupnya. Jalan yang ia pilih hanya dari keinginan hatinya. Bukan dari mulut wanita itu ataupun orang lain. Tak cukup dengan selalu menyalahkan hidupnya, wanita itu sengaja menambahkan nama yang ia benci untuk disebut. Sepertinya, wanita itu benar-benar ingin membuat Deon lepas kendali. Jika saja seseorang di belakangnya itu bukanlah seorang wanita, Deon tidak tahu apakah semua meja di ruangan ini bisa baik-baik saja tanpa terbalik dengan kacau.
Butuh perjuangan bagi Deon untuk bisa menahan amarahnya. Setelah langkahnya benar -benar melewati pintu, nyatanya pertahanan Deon hanya bertahan sepersekian menit sebelum sebuah bunga yang tergantung di tepi atap koridor jatuh berserakan di lantai paving. Deon tidak peduli dengan pandangan beberapa siswa yang tanpa sengaja melihat perbuatannya itu. Deon lebih peduli dengan apa yang terjadi selanjutnya jika langkahnya tak cepat-cepat membawanya pergi.
#####
Mili berjengit ketika sebuah suara mengganggu indra pendengarannya. Ketika berbalik, Mili menyayangkan bunga anggrek yang semula tergantung indah, kini sudah hancur berserakan di lantai paving. Kemudian, ketika lebih memperhatikan bentuk pot dan letaknya semula, Mili melotot.
“Itu kan bunga gue!” jeritnya.
Mili ingat, bunga itu sengaja ia minta dari oma. Saat itu mili meminta pak Tinto untuk menggantungnya di sana. Bersama bunga gantung lain. Bunga anggrek adalah tanaman kesayangan oma yang ia minta dengan harus merengek terlebih dahulu untuk mendapatkannya. Meskipun oma punya banyak tanaman itu bahkan mengoleksi berbagai jenisnya, oma paling pelit jika ada yang meminta anggreknya, termasuk Mili sendiri. Oleh karena itu, ketika netranya beralih untuk mendapati seseorang berpenampilan urakan yang ia yakini pelaku atas hancurnya bunga angrek itu, Mili tak segan untuk berteriak menyuruhnya berhenti, tetapi sepertinya tidak didengar oleh cowok itu. Sebelum ia melangkah untuk mengejar, sebuah tangan menghentikan niatnya.
“plis, jangan. Hari-hari lo selanjutnya lebih berharga dari bunga itu. Jadi, kalau sekarang lo ngejar tuh cowok buat marah-marah,gue nggak yakin besok-besok lo bisa aman tanpa masalah,”
Dahi Mili berkerut menatap cekalan tangannya, lalu naik untuk mendapati raut serius dari wajah cantik dengan polesan make up. “Maksudnya?”
Nikta melepas cekalannya, menunjuk pecahan pot dengan matanya. “Gue yakin lo mau ngejar cowok itu karena udah jatuhin bunga lo. Tapi karena gue peduli sama lo, Mil. Gue saranin nggak usah berurusan sama Deon.”
Mili berbalik untuk melihat sosok punggung yang mulai menjauh. Ia menelisik lebih jelas hingga potongan peristiwa dan percakapan malam itu muncul meski samar-samar diingatannya.
“Cowok itu... namanya Deon?”