“Hidup memang selalu memberikan pelajaran. Mungkin dengan bertemu denganmu, aku bisa belajar mengenal rasa?”
Mili menatap jam berwarna biru di pergelangan tangannya. Hari ini terasa begitu lama dari hari sebelumnya. Mili tak bisa menahan fokusnya lebih dari ini. Pikirannya bercabang hingga ia harus meraup wajahnya agar tak kehilangan konsentrasi belajar.
Satu jam berlalalu, tapi hanya sebagian penjelasan dari bu Tika bisa di cerna oleh otaknya. Mili memutar pandangan ke seluruh kelas. Semuanya berlajan dengan semestinya. Bu Tika yang membahas tuntas penyelesaian tugas minggu lalu dan semua siswa di kelasnya yang menyimak, meski ada beberapa yang harus menyangga kepalanya agar tetap tegak. Tidak ada yang mengganggu, tetapi hatinya seolah merasa terusik.
Mili menghela napas, kenapa ia harus memikirkan itu? Semua orang bebas mengekspresikan diri. Mereka yang lebih dulu menyapa dan tersenyum ramah, bukan berarti menawarkan sebuah hubungan. Mereka yang menyerukan semangat dan bertepuk tangan paling meriah saat dilapangan, bukan berarti yang penuh kesadarannya selalu mengulurkan tangan saat dibutuhkan. Hidup memang selalu memberikan pelajaran. Terkadang, kesempurnaan bisa menyamarkan kepalsuan ataupun ketulusan seseorang. “Apakah mereka tulus atau hanya pura-pura?” Mili terlalu naif mengartikannya.
Selama ini ia berusaha untuk terlihat sempurna. Orang pun melihatnya demikian, seolah kekurangan yang pasti dimiliki setiap manusia, tidak berlaku untuk seorang Kamilia. Kaya, cerdas, dan cantik. Seperti itulah orang-orang jika berbicara tentang dirinya, tanpa tahu itu semua tidak didapat Mili secara cuma-cuma.
Mili berasal dari keluarga sederhana. Papa adalah seorang dokter di rumah sakit medika. Seringkali Mili melihat papa harus pulang tengah malam. Tidur beberapa jam, lalu bangun di saat adzan subuh mulai berkumandang. Paginya, papa harus berangkat lebih awal karena harus mengantar Mili lebih dulu ke sekolah yang arahnya berlawanan dari rumah sakit. Berkat kerja keras papa lah Mili bisa menikmati hidup tanpa kekurangan.
Tuhan menciptakan manusia dengan kapasitas otak yang sama. Begitu juga Mili. Beberapa piala yang berjajar rapi di dalam lemari kaca, itu semua butuh perjuangan untuk mendapatkannya. Setelah sekolah usai, Mili tak langsung pulang. Ada pengembangan diri di sekolah yang harus ia ikuti sesuai jadwal dan berbagai les di luar sekolah setiap hari. Ketika hari sudah lelah dan langit menaburkan titik-titik cahaya, barulah ia bisa bernapas lega. Tinggal menunggu papa untuk menjemputnya pulang. Selalu begitu untuk hari-hari selanjutnya. Jadi, kecerdasan tidak bisa didapat secara instan. Mereka hanya melihat dari hasilnya saja, tanpa tahu bagaimana Mili yang sekarang sudah berada di batas titik jenuhnya.
Mili suka menonton vlog kecantikan, mengikuti tutorial-tutorial make up dan perawatan kecantikan natural. Berkat kesukaannya itu, ia gemar mengoleksi alat-alat make up yang dikhususkan untuk usia remaja dan mulai rutin menggunakan skin care. Ia akan mengaplikasikan video yang sudah ia tonton pada malam harinya nanti atau hari libur sebagai refresing. Bisa dikatakan bahwa penampilannya adalah upaya Mili untuk mengabaikan rasa lelah setelah lama mengasah otak seharian.
Kesempurnaan yang disematkan untuknya, nyatannya tidak semenarik seperti apa yang ada dalam bayangan orang-orang.
###
Suara keras dari bantingan pintu mengintrupsi Deon untuk berhenti di ujung tangga. Ia berbalik dan menemukan Wira yang berdiri dengan wajah murka.
“Apa hanya ini yang bisa kamu berikan untuk Ayah!?” wira menghempaskan amplop berkop SMA Renjana. Tanpa membukanya sudah dipastikan bahwa isi amplop itu adalah surat panggilan orangtua lagi.