Dia manusia ajaib. Satu-satunya yang kutemui di Bandung atau mungkin di bumi ini. Itu karena kelembutan, ketulusan, dan caranya mencintai.
Ingatan itu tidak mau pergi meskipun sudah berusaha melupakannya, berulang kali, tetap selalu datang. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi padaku, pada mama, pada semua orang, pada semua keluarga.
Semuanya berantakan ketika ayah ditangkap karena korupsi. Rumah dan seisinya disita, mobil-mobil dan koleksi barang mewah ayah. Dan ternyata ayah mempunyai wanita simpanan, asisten pribadi di kantornya. Ayah sudah menyakiti kami, terutama ibu yang tengah malam itu menangis di kontrakan kecil. Dan tidak lama dari itu ibu pergi, benar-benar pergi untuk selamanya dan tak bisa kembali lagi.
Aku menjadi yatim piatu setelah ayah menyusul ibu 3 bulan kemudian. Aku tidak tahu apakah harus bahagia atau sedih mendengar kabar itu, yang aku rasakan hanya... seperti tidak hidup.
Aku pindah ke Bandung ketika ibu pergi. Bu Julia, kakak ibu dengan baik menampungku. Anaknya yang bernama Asep berbagi kamar. Dia satu tahun lebih tua dariku. Aku memanggilnya Bang, tetapi dia ingin dipanggil nama. Aku dipanggilnya Jhon padahal namaku Nando. Dia terlihat aneh, anak laki-laki itu.
Ibu Asep seorang guru SD, ayahnya dosen psikologi, dan kakakya orang-orang yang berprestasi. Dan Asep... Asep adalah Asep.
Asep tidak naik kelas karena sering bolos padahal dia sangat pintar dari caraku melihatnya. Ya, sekolah mempunyai tolok ukur siapa pelajar yang harus naik atau tinggal.
Asep tidak suka jika ada orang yang mengolok-olokku karena suara yang terdengar aneh, sengau, cempreng, atau apa sebutannya karena terlahir dengan bibir tidak sempurna.
Semenjak kami satu kelas Asep semakin sering dipanggil ke ruang BP, dia selalu terlibat perkelahian dengan anak yang mengatai atau menertawaiku. Meskipun aku sering bilang untuk tidak memedulikannya, dia tidak mau mendengar. Alasannya selalu sama.
“Itu bukan lelucon, Jhon!”
***
Kami sekarang SMP. Dan itu tahun dimana pertama kalinya aku melihat Asep menangis. Tahun dimana Asep terlihat berantakan karena ayahnya harus terlebih dulu memenuhi panggilan Tuhan.
“Untuk saat ini aku ingin sendiri,” katanya ketika sedang di kamar, duduk dengan tatapan kosong.
Aku dan Aliya keluar, membiarkan Asep dengan keinginannya. Kami duduk di rumah pohon depan rumah. Aku menoleh pada Aliya. Semenjak kepergian Ayah Asep, Aliya tidak banyak berbicara. Bahkan ketika tadi di kamar dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Aku tahu dia juga tidak baik-baik saja. Terkadang mulut tidak mampu mengungkapkan perasaan seseorang tetapi mata tidak bisa dibohongi.
“Belum pernah aku melihatnya seperti itu,” gumamku.
"Aliya?"
"Aliya?"
Aliya menoleh. “Aku harus pulang,” katannya, dia sudah berdiri. Aliya tersenyum. Senyuman manis yang bisa membuatku dan Asep luluh meskipun Asep tidak mau mengakuinya.
“Percaya padanya. Dia akan bisa melewatinya. Hanya saja untuk saat ini dia perlu sendiri.” Aliya pergi.
***
Asep salah satu lelaki tertampan di sekolah. Beberapa perempuan sering membicarakannya dan aku tahu mereka juga menyukainya. Siapa yang tidak? Laki-laki seperti Asep.
Alexa, salah satu perempuan popular di sekolah kami pernah menyatakan perasaanya pada Asep di depan umum (kantin), tepat dihari ulang tahunnya. Asep hanya menjawab, "Happy birthday Alexa..." Kemudian melanjutkan makannya. Semua orang terdiam, semua mata tertuju pada laki-laki yang pura-pura tidak memperhatikannya.
"Sep?" ulang Alexa.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku?"
Aliya menyikut lengannya dan Asep tetap makan. Cuek. Kemudian Aliya, tetangga yang merangkap sebagai teman satu kelas, menarik Asep ke kelas seperti seekor kambing. Hanya Aliya yang berani berbuat seperti itu, dan anehnya Asep, seorang laki-laki yang ditakuti di kelas tidak berani melawan. Mungkin karena rumah mereka bersebelahan sehingga Aliya dapat mengadukannya tetapi Aliya bukan perempuan seperti itu.
"Apaan, Aliya?" tanyanya.
Aliya menonjok bahunya bertubi-tubi.
"Kamu kenapa?" tanya Asep sambil berusaha menahan lengannya.