Lingkaran Popcorn

galih faizin
Chapter #3

3. Catatan Tentang Asep #Bagian 2

Ada beberapa hal yang berubah ketika kami SMA terutama pada Aliya. Cewek itu menjadi popular. Beberapa kali seorang lelaki mengiriminya pesan, menelpon atau langsung berbicara dengannya. Asep, aku sangat tahu laki-laki itu tidak suka dengan mereka yang dipikirnya hanya modus. Menjijikan. Atau dia bilang kekanak-kanakan. Selama ini aku dapat menyimpulkan bahwa Asep menyukai Aliya, lebih dari kata 'kita adalah teman' tetapi aku tidak berani menanyakannya dan tidak pernah menanyai privasinya. Asep bagiku adalah kakak, seseorang yang dikagumi, hormati, dan sayangi. Jika ada sesuatu dariku yang diinginkannya, akan kuberikan. Aku juga tahu bahwa dia sangat menyayangiku. Selain dari sikapnya selama ini, dulu, ketika aku pindah ke rumahnya, aku tidak sengaja mendengar percakapan dia dengan orang tuanya.

“Kamu selalu bertanya bagaimana rasanya mempunyai adik. Sekarang Tuhan menjawabnya. Sayangi Nando seperti menyayangi diri kamu sendiri.”

Ayahnya menimpali, “Jaga dia. Hormati... jangan karena kamu lebih tua, kamu dapat berbuat apa saja padanya, kamu yang paling tahu, paling benar... harus adil, Nak!”

Dengan suara lantang dan yakin aku mendengar Asep menjawab, “Siap.”

Asep juga menjadi popular karena ketika MOS, dia orang yang sering dipanggil ke depan. Tak jarang para senior mengerjainya. Tetapi Asep tidak pernah marah akan hal itu. Dia sebenarnya sabar, hanya marah jika ada orang yang menggangguku atau Aliya. Pernah –sering- ketika SMP dia tidak melawan ketika kakak kelas dengan sengaja menjahilinya. Tetapi ketika itu terjadi padaku atau Aliya, tidak ada yang bisa menghentikan kebrutalannya.

Kami bertiga berada di kelas yang berbeda. Terkadang di kelas masih ada yang menertawakanku ketika sedang berbicara, atau menahan tawanya. Jika Asep melihat atau mendengar itu, dia akan mendatangi mereka layaknya seorang ayah yang merasa anaknya sudah dilecehkan. Aku tidak pernah menceritakannya meskipun dia sering bertanya, “Ada yang mengganggumu?”

Aku tidak mau namanya memenuhi daftar orang yang dipanggil ke ruang BP. Aku takut itu akan mempengaruhinya dalam belajar. Aku ingin sekali melihat Asep juara umum atau mendapat penghargaan dari sekolah, itu mudah baginya jika dia tidak sering bolos dengan alasan pelajarannya membosankan. Asep seperti yang pernah aku bilang, dia aneh atau terlalu cerdas. Sampai sekarang kebiasaan setiap akhir bulan membeli buku-buku tidak pernah hilang dari kehidupannya. Karena dia percaya, di dalam buku ada berjuta-juta pengetahuan dan kita takkan pernah menjadi orang 'berpikiran' sama ketika sudah menemukannya.

Malam itu di rumah pohon Aliya mencurahkan isi hatinya, “Kenapa selama aku berpacaran tidak pernah sampai 2 minggu. Apakah ini sebuah kutukan?”

Asep mengupas kulit kacang kemudian memakan isinya. Aku memperhatikannya sampai dia sendiri sadar. Aku tahu penyebab hubungan Aliya dengan pacar-pacarnya tidak pernah langgeng, itu karena Asep. Ketika mendengar Aliya sudah mempunyai pacar, Asep akan berubah menjadi detektif. Dia akan mengawasi pacarnya sampai ketika menurutnya ada yang tidak cocok, akan langsung memperingatinya untuk menjauhi Aliya. Sampai sekarang Aliya tidak pernah tahu akan hal itu. Aku pernah menanyakannya, kenapa?

“Aliya perempuan baik. Dia pantas mendapatkan laki-laki baik juga.”

“Menurutmu si Arial tidak baik?”

Arial adalah cowok berkaca mata dengan rambut selalu rapi dan terlihat mengkilat. Dia terbilang cowok popular karena kepintarannya. Tetapi terlihat cupu di mata Asep.

“Dia gak bisa menjaga Aliya.”

“Menurutmu harus laki-laki yang seperti apa?”

Asep tidak terpancing. Dia malah bercanda dengan menjawab, “Seperti Batman.”

“Kutukan karena kamu selalu menerima laki-laki begitu saja,” jawab Asep. Suaranya terdengar puas.

“Terus sebelum menerima aku harus bagaimana?”

“Cari tahu dulu tentangnya. Tokoh favoritnya apa. Kalau Voldemort sudah fix kalau dia bukan laki-laki baik.”

Aliya mendengus kesal karena jawaban Asep tidak pernah benar jika berhubungan dengan perasaan.

“Kalian tidak pernah pacaran. Apakah kalian gay?” ceplos Aliya membuat aku tersedak. Cewek itu sudah biasa menceploskan kata-kata aneh.

Asep ingin menjambak Aliya, giginya terlihat digertakan. Tetapi hal itu tidak pernah dilakukannya meskipun Aliya sering menoyor, jambak, bahkan memukulnya. Asep hanya menjabak rambutnya sendiri.

“Bicara apaan, sih, Aliya,” jawabku.

“Itu benar, kan. Kalian gak pernah pacaran.”

Sekonyong-konyong hening. Aliya memang benar. Tetapi andai dia tahu bahwa aku menyukainya dan siapa yang tidak. Aliya cantik, sangat cantik, pintar, baik meskipun kadang kasar pada kami. Tetapi aku tahu diri, tidak mungkin Aliya menyukai laki-laki sepertiku, laki-laki biasa saja. Aliya terlihat cocok dengan Asep, orang yang menyayanginya, lebih dari teman. Aku juga tahu, Aliya pun sebaliknya. Dari sikapnya dia, rasa khawatirnya, bahkan marahnya dia adalah rasa sayang pada Asep. Aku heran, kenapa kedua orang itu tidak pernah menyampaikan perasaanya satu sama lain. Atau mungkin karena sudah nyaman seperti itu sampai tidak mau merusaknya, entahlah.

“Belum ada yang cocok,” jawab Asep ketus.

Alesan! Si Amel sering nanyain kamu, kalau kamu bukan gay, coba deketin dia.” Aliya menantang Asep.

***

“Si Amel bilang telepon dan pesannya gak pernah dijawab. Berarti benar kamu gay.”

Asep tampak marah. “Terserah kamu.”

Aliya menoyor bahunya. “Marah?”

Refleks Asep memegang kedua lengan Aliya, terlihat kasar, hal yang tak pernah dilakukannya. “Aliya, perasaan itu tidak bisa dipaksakan.”

Wajah mereka jaraknya hanya beberapa senti. Aliya terlihat gugup. Asep melepaskanya kemudian pergi meninggalkan kami berdua.

Aliya terdiam. Aku tidak dapat menebak apa yang ada di kepalanya, tetapi 2 menit kemudian dia pulang tanpa sepatah kata pun.

***

Lihat selengkapnya