Lingkaran Popcorn

galih faizin
Chapter #4

4. Gisela #Bagian 1

Aku masuk ke gang kecil, melewati kali yang tampak hitam dan berminyak, melewati beberapa rumah beratap seng, tempat pengumpul barang bekas, sampah-sampah yang menumpuk di pinggir jalan, dan sampailah di rumah kecil dengan satu jendela yang tampak mengkhawatirkan.

Di kontrakannya yang hanya memiliki satu ruangan tidak terlihat ada kompor ataupun wajan. Pakaian yang menggantung di mana saja membuat ruangannya terlihat mengap meskipun pintunya dibiarkan terbuka. Beruntunglah ada kipas angin tua yang setiap beberapa detik sekali berderit. 

“Kakak kira kau akan langsung kerja...”

Aku tersenyum. “Aba dan mak ingin melihat aku jadi sarjana. Dan kebetulan dapat beasiswa.”

“Pintar kamu, Man,” sahut Mas Bayu, kakak iparku. “Bangga Mas sama kamu,” imbuhnya sambil menepuk bahuku.

“Terimakasih, Mas.”

“Hidup di Jakarta tidak enak seperti yang dibayangkan orang-orang, Man. Keras. Seakan-akan semuanya berlomba. Tapi kejujuran dapat menolong kita di mana pun berada. Kamu paham maksud, Mas.”

Aku mangguk.

“Besok, Mas masuk pagi jadi hanya bisa mengantarmu sampai depan. Kamu yakin tahu tempatnya?”

“Aku pernah ke sana, Mas.”

Aku akan tinggal di tempat dulu aba bekerja sebagai tukang. Pemiliknya memberiku gratis sampai kuliah selesai. Dia menganggap itu sebagai balas jasa karena aba sudah lama bekerja di tempatnya, dari awal tempat itu dibangun. Aku tahu untuk tinggal di sana dengan ukuran kamar paling kecil adalah 1,5 juta untuk setiap bulannya. Nominal yang besar (bagi keluarga kami) apalagi jika dikalikan 48. Tetapi begitulah orang, mau kaya atau miskin tetap mempunyai sisi baik yang tidak akan pernah hilang selamanya.

***

Pagi sebelum pergi Kak Rena menjejalkan uang 150rb ke tanganku.

“Tidak perlu, Kak. Aku mempunyai tabungan.”

Ketika SMA aku melakukan pekerjaan sampingan. Sebagian upahnya ditabungkan. Hanya digunakan jika benar-benar kebutuhan penting.

“Ambilah, Man. Kakakmu ini akan sedih jika kamu menolaknya.”

Mas Bayu juga sama. Setelah menurunkanku di tepi jalan raya, ia menjejalkan uang seratus ribu satu lembar.

“Tidak usah, Mas.”

Dia tidak mengindahkan kalimatku. “Jika ada apa-apa hubungi, Mas. Jangan sungkan. Jika Mas bisa, Mas akan bantu.”

***

Aku sampai. Seorang manajer mengantarkanku sambil menjelaskan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh setiap penghuni. Penjelesannya selesai ketika berhenti di depan sebuah pintu kamar, di lantai 3.

“Jika ada apa-apa bisa hubungi saya atau bagian keamanan. Semoga betah.” Kalimat terakhirnya sebelum pergi.

Ketika akan membuka pintu seseorang muncul dari balik pintu depan kamarku. Ada perasaan aneh. Ada getaran yang aku sendiri tidak dapat memahaminya. Dia tersenyum, saat itu waktu seakan berhenti.

“Hay... kamu yang akan tinggal di kamar ini?” tanyanya.

Ingin sekali mengungkapkan kalimat indah tetapi lidahku terasa kaku. Yang bisa dilakukan hanya bengong seakan-akan terkena hipnotis. Atau benar bahwa dia adalah tukang hipnotis.

“Gisela…” Wanita itu sudah mengulurkan tangannya. Aku menoleh pada tangan putihnya yang berbulu, ada jam mungil berwarna hijau yang melilitnya.

Gisela menarik tangannya kembali. “Semoga betah.” Dan pergi.

Tolol. Aku menghardik diri sendiri.

Aku masuk ke kamar. Masih tercium bau karbol, tampaknya baru di pel. Kasur terlihat rapi dengan alas karpet berwarna maroon. Aku membiarkan koper butut dan ransel tergeletak begitu saja. Kemudian membaringkan tubuh di atas kasur. Pikiranku kembali pada kejadian tadi. Kenapa aku tidak bisa mengungkapkan kata walau hanya nama sendiri. Dan kenapa Gisela terlihat sangat memesona, padahal dia… dia memang memesona. Aku benci dengan getaran bodoh tadi sampai membuat lidah tidak bisa mengungkapkan satu kata pun.

Sekonyong-konyong aku ingat mak dan aba. Sebelum pergi ke Jakarta aku mencium punggung tangannya yang tampak tipis dan keriput termakan usia. Mereka bukan orang yang bebas bergerak seperti dulu lagi. Tetapi orang tua yang hanya mampu melakukan hal-hal terbatas. Ada sedikit rasa berat ketika meninggalkannya, kalau saja tidak ada kakak iparku yang menemaninya di kampung -Cirebon-, aku pasti tidak akan mengambil beasiswa ini.

"Jadilah orang terpelajar yang dicintai orang-orang. Bermanfaat. Tetap baik meskipun orang tidak baik pada kita,” pesan aba.

Aku melupakan nama, sosok, sampai senyumnya. Tujuan ke Jakarta untuk belajar, menyelesaikan pendidikan yang harus selesai dalam waktu yang tepat. Tetapi sialnya nama wanita itu selalu muncul. Gisela. Senyumnya. Dan entah sejak kapan menjadi permanen di kepala.

***

Seminggu sudah aku di tempat baru ini. Dan selama itu juga selalu bertemu dengannya di jam-jam yang sudah tercatat di kepala. Tetapi selama itu juga aku belum pernah mengatakan satu kata pun padanya, bahkan walau hanya tersenyum. Sementara dia, 3 hari pertama selalu menyapaku dengan kalimatnya yang terdengar menghipnotis sampai akhirnya sapaan itu hanya tinggal anggukan dan senyum sewajarnya. Laki-laki macam apa aku ini? Tetapi… iya, lelaki macam apa aku ini.

“Tunggu!”

Itu kalimat pertamaku padanya ketika malam setelah dua minggu berlalu. Dia membalikan badan. Sungguh luar biasa cantik. Mengagumkan. Dan sekonyong-konyong aku seperti mendengar lagu paling romantis di dunia ini.

Aku menyerahkan gantungannya yang terjatuh.

“Oh, terima kasih,” katanya sambil tersenyum.

Rambut, halis, mata, hidung, pipi, bibir, bahkan giginya dapat aku tangkap dengan cepat dan jelas kemudian tertanam permanen di kepala. Terlihat tidak ada kekurangan sedikit pun. Bedak, lipstik, blush on, eyeshadow, atau apa pun itu namanya hanya membuat dia melebihi batas sempurna meskipun dioles dengan tipis dan terlihat natural. Ternyata ada manusia seperti itu. Kata-kata cantik di dunia pun tidak akan dapat menggambarkan kerupawanan Gisela. Walaupun ada akan terdengar salah.

“Sama-sama,” jawabku terbata-bata.

“Hah?”

“Sama-sama,” ulangku. Dia tidak tahu bahwa jantung ini akan lepas karena berdetak lebih kencang dari biasanya. Dan keringat dingin pun mulai muncul.

Gisela sekonyong-konyong tertawa. Jika bisa, untuk saat ini, aku ingin memintanya untuk berhenti, karena tawanya berhasil membuatku lemas. Tawa yang terlihat lebih indah daripada lukisan mana pun dan terdengar lebih merdu daripada alunan musik mana pun.

Lihat selengkapnya