Jati duduk di atas dipan bambu di teras rumahnya. Pandangannya jauh melayang, menatap langit yang pekat menyimpan amarah. Hujan mulai jatuh dengan deras, mencambuk atap genting rumah yang sederhana. Angin bertiup kencang, menggugurkan dedaunan, membuat cabang-cabang kecil berputar di udara, seolah meronta dari sesuatu yang tak terlihat. Di dalam, neneknya terbaring, batuknya terdengar menggema di ruangan sempit itu, mengiringi dentuman hujan yang tak kunjung henti.
"Nek, hujan makin deras. Aku mau periksa barang-barang kita," ujar Jati dengan suara serak, cemas merayap dalam nadanya.
Neneknya, perempuan renta dengan rambut serupa kapas usang, mengangguk pelan. Sorot matanya sayu, seperti tengah menatap masa yang sudah lama berlalu. “Hati-hati, Jati,” jawabnya dengan suara yang hampir tenggelam dalam deru hujan.
Jati bergegas ke sana kemari, memindahkan benda-benda berharga ke tempat yang lebih tinggi. Rumah kayu mereka berdiri di pinggir sungai, tempat yang selalu menjadi ancaman setiap kali hujan turun deras seperti ini. Ancaman banjir bukan hal baru, tapi rasa was-was itu tak pernah benar-benar bisa diusir. Setelah selesai, ia kembali ke samping ranjang neneknya. Tangannya terulur, menepuk bahu tua itu dengan lembut.
"Ada apa, Nek?" tanyanya perlahan, mencoba mengusir kecemasan yang menyelinap di antara mereka.
Nenek tersenyum tipis, senyum yang penuh kenangan. "Pohon besar itu, Jati. Dulu, Nenek suka duduk di bawahnya, menikmati angin sore. Sekarang, pohon itu sudah tak ada."
Jati ikut tersenyum, namun pikirannya terombang-ambing antara rindu neneknya dan ketakutan akan hujan yang tak henti. Di luar, malam makin gulita, dan air mulai merayap masuk, membasahi lantai. Jati tak bisa tidur, hatinya bergemuruh seperti langit di atas mereka. Ia tahu, malam ini tak akan baik-baik saja.
Dini hari, air sudah setinggi lutut. Tak ada lagi waktu untuk menunda. "Nek, kita harus pergi sekarang," bisiknya dengan panik. "Air sudah naik."
Dengan susah payah, Jati mengangkat neneknya yang lemah, menggendongnya di punggung. Ransel kecil di depan dada berisi beberapa barang penting yang sempat ia selamatkan. Langkah demi langkah, ia melangkah keluar, menembus genangan air yang dingin dan dalam. Jalanan desa yang dulu dikenalnya kini lenyap di bawah banjir. Hanya sisa-sisa atap rumah yang terlihat di kejauhan, seperti pulau-pulau kecil di lautan yang mengamuk.
Hujan tak juga berhenti, seolah langit telah membuka seluruh air matanya. Setelah berjam-jam berjalan, Jati tiba di sebuah gedung bertingkat, tempat pengungsian darurat. Di sana, sudah penuh dengan warga desa, wajah-wajah yang sama cemasnya, sama letihnya. Ia menurunkan neneknya perlahan, mencari sudut kering, lalu membaringkannya di sana dengan hati-hati.
"Kita aman di sini, Nek," ucap Jati, menyelimuti tubuh tua itu dengan kain lusuh yang ia bawa.
Neneknya membelai rambut Jati dengan tangan yang keriput. "Terima kasih, Jati," bisiknya lirih, penuh kasih.
Jati mengangguk, namun dalam dirinya, ketakutan tetap bersemayam. Bukan hanya banjir yang ia khawatirkan. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, yang menunggu.
---
Hari-hari di pengungsian, seperti siklus yang tak ada akhir, membawa beban bagi siapa pun yang terseret ke dalamnya. Jati dan neneknya terjepit dalam kerumunan, di antara dinding-dinding beton yang kini menjadi tempat berlindung bagi mereka yang kehilangan segalanya. Gedung pengungsian itu kian sesak, berjejal oleh wajah-wajah yang kehilangan harapan. Banjir yang melanda desa mereka bukanlah banjir biasa. Ini adalah air yang datang membawa kehancuran—meredam rumah-rumah, mematahkan apa saja yang dilewatinya. Arus itu bukan sekadar air, melainkan kekuatan alam yang membabi buta.
Setiap hari, Jati berjalan dengan tekad. Ia tahu bahwa kelangsungan hidup neneknya ada di tangannya. Ketika matahari terbit dari balik awan yang tak kunjung cerah, Jati sudah berdiri di barisan panjang, menanti bantuan makanan dan air bersih. Antrian itu panjang, seolah tanpa ujung, namun Jati tak pernah mengeluh. Di hatinya hanya satu hal yang penting: neneknya harus tetap hidup, harus tetap kuat.
“Nek, ini ada sedikit makanan dan air. Minumlah,” ucap Jati pelan, menyodorkan sebungkus makanan dan botol air. Neneknya menerimanya dengan tangan gemetar, tubuhnya makin kurus, semakin renta di bawah beban yang tak kasat mata.
Meskipun segalanya sulit, Jati selalu berusaha menjaga neneknya agar merasa nyaman. Ia sering duduk di samping ranjang darurat mereka, bercerita tentang masa kecilnya di desa. Tentang hari-hari ketika sawah masih hijau, ketika sungai mengalir jernih. Jati bercerita, seolah dengan cerita itu ia bisa menahan aliran waktu, mencegah kekhawatiran neneknya berkembang menjadi ketakutan.
Di sela-sela kekacauan di pengungsian, suara-suara mulai bergema, menyebar dari satu bibir ke bibir lain. Cerita tentang asal-usul bencana ini mulai muncul ke permukaan. Banjir kali ini, mereka bilang, bukan hanya disebabkan oleh hujan deras. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih busuk. Penebangan liar di hutan, yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tak kenal ampun, adalah biang keladinya.
“Ini semua karena mereka menebang hutan sembarangan,” kata seorang pengungsi, wajahnya merah oleh amarah. “Mereka membabat habis pohon-pohon kita, dan sekarang kita yang menanggung akibatnya.”
Jati mendengar semua itu dengan hati yang gelisah. Ia mengingat pemandangan yang sering dilihatnya—pohon-pohon yang tumbang, lahan-lahan yang dibakar dengan rakus. Apa yang dulu hanya kabar burung kini terasa lebih nyata, lebih dekat. Ia mulai memikirkan hutan-hutan di sekitar desanya yang makin gundul, tanah yang merana tanpa penopang. Kebakaran yang kerap terjadi setiap musim kemarau, merusak tanah, menghilangkan keseimbangan, menyiapkan panggung bagi bencana yang lebih besar.
“Pemerintah tidak pernah peduli!” seru pengungsi lain dengan nada penuh getir. “Mereka biarkan perusahaan-perusahaan itu merusak tanah kita. Sekarang, kita yang menderita.”
Kemarahan berkecamuk di dada Jati. Ada rasa tak berdaya, namun juga dorongan kuat yang lahir dari keputusasaan. Ia tahu, ada sesuatu yang harus dilakukan, meskipun ia tak tahu apa. Neneknya butuh perawatan lebih baik, dan ia tak ingin melihat desanya terus hancur di tangan orang-orang yang tamak dan tak bertanggung jawab.
Seminggu berlalu, namun keadaan bukannya membaik. Banjir yang melanda telah mencabut kekuatan dari tubuh nenek Jati, membuatnya semakin lemah. Hari demi hari, Jati berjuang mencari obat-obatan dan makanan bergizi untuk neneknya. Namun, seperti halnya air yang melimpah ruah di luar, persediaan di pengungsian kian menipis.
Masalah air bersih dalam kondisi banjir semakin hari semakin mengiris hati. Bantuan tak kunjung datang tepat waktu, sementara jalan-jalan tertutup oleh air yang menggenang, memutus aliran logistik yang seharusnya bisa meringankan beban para pengungsi. Setiap pagi, antrian panjang berkelok seperti ular, para warga menunggu setetes air minum, namun seringkali bantuan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ribuan orang yang terhimpit di dalam gedung sempit itu. Jati, seperti biasa, berdiri di ujung antrian, matanya penuh tekad, tangannya tak kenal lelah berjuang demi mendapatkan apa yang bisa ia berikan kepada neneknya.
“Nek, maaf, Jati belum dapat obat untuk Nenek,” suaranya pelan saat tangannya memegang jemari tua neneknya. Ada rasa bersalah di sana, meskipun ia tahu ia sudah melakukan yang terbaik.
Neneknya tersenyum, tipis, lemah, namun penuh kasih. “Tidak apa, Jati,” bisiknya, seakan tak ingin menambah beban di pundak cucunya.
Jati berusaha menahan tangis. Melihat tubuh neneknya yang kian melemah seperti itu, hatinya perih, penuh rasa tak berdaya. Namun, di balik kepedihan itu, ada bara kecil yang tetap menyala dalam dadanya—bara tekad yang tak mau padam. Ia harus terus berjuang, bukan hanya untuk neneknya, tetapi juga untuk desanya, untuk semua yang ia cintai. Banjir ini, dalam benaknya, bukan sekadar musibah alam. Ini adalah peringatan—panggilan yang menyerukan mereka semua untuk lebih peduli pada alam, pada tanah yang mereka pijak setiap hari.
Malam itu, Jati duduk di samping ranjang darurat neneknya, kedua tangannya terkatup dalam doa, memohon kekuatan yang entah dari mana bisa datang. Di tengah gelapnya malam, di antara suara hujan yang terus memukul atap pengungsian, Jati membuat janji dalam hatinya. Ia akan melindungi neneknya, desanya, dan semua yang menjadi miliknya—apapun yang terjadi.
Seiring waktu berjalan di pengungsian, Jati makin memahami akar dari semua ini. Banjir yang melanda desa mereka bukan hanya hasil dari hujan deras, melainkan ulah tangan-tangan yang tamak. Perusahaan-perusahaan yang menggerogoti hutan demi keuntungan pribadi, merampas alam tanpa memikirkan dampaknya. Pemerintah, seperti biasa, hanya diam—membiarkan tanah itu dihancurkan perlahan-lahan oleh orang-orang yang tidak peduli pada kehidupan di sekitarnya. Banyak dari pengungsi lain yang sependapat, mereka telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana desa-desa mereka hancur oleh kerakusan.
“Kita harus bersatu melawan mereka,” suara seorang pengungsi menggelegar di kerumunan. “Jangan biarkan mereka terus menghancurkan hutan kita.”
Kata-kata itu menyengat hati Jati. Ia bukan orang terpelajar, tak punya banyak pengetahuan, namun tekad itu kini semakin mengeras. Ia tahu bahwa meski langkahnya kecil, ia harus bertindak. Tangan-tangan perusak itu tak bisa dibiarkan merenggut tanah kelahirannya tanpa perlawanan. Seiring bayang-bayang kehancuran, Jati merasa tanggung jawab itu mulai menekan pundaknya.
Lalu, sebuah kabar baik akhirnya hadir, seolah memberi napas di tengah himpitan. Seorang relawan datang dengan berita bahwa bantuan medis akan segera tiba. Jati menghembuskan napas panjang, sejenak merasa beban di dadanya berkurang. "Nek, obat-obatan akan datang," bisiknya pelan sambil menggenggam tangan sang nenek yang makin lemah. "Kebutuhan nenek sudah kulaporkan ke relawan."
Ada harapan yang tumbuh pelan dalam hatinya—harapan yang telah lama lenyap ditelan banjir dan penderitaan. Untuk pertama kalinya sejak banjir merendam kampungnya, Jati merasakan semangat yang kembali mengalir. Ia sadar, tak ada pilihan selain bertahan, setidaknya untuk neneknya. Jika neneknya sembuh, Jati percaya dirinya akan mampu berdiri lebih kokoh, siap untuk melawan siapa pun yang merusak desanya. Melawan demi apa yang seharusnya menjadi milik mereka: tanah, hutan, dan kehidupan yang damai.
Namun, seiring waktu, pengungsian tetap mencengkeram nasib para korban. Hari-hari berlalu, bantuan yang dijanjikan semakin jarang datang. Nyaris hilang ditelan janji-janji kosong yang tak pernah terwujud. Setiap pagi, Jati menyaksikan bagaimana kehidupan mereka perlahan terkikis, tenggelam dalam genangan banjir yang tak kunjung surut. Sudah lebih dari dua pekan, dan tidak ada tanda-tanda air akan reda. Hidup mereka seolah terbenam bersama air yang menggenangi setiap sudut.
Jati tak bisa diam. Bersama beberapa wakil warga desa, ia memutuskan bahwa mereka harus bertindak. Tak ada pilihan lain. Pemerintah yang seharusnya hadir, seolah buta dan tuli terhadap penderitaan mereka. Di tengah kesulitan yang menghimpit, tekad untuk menggugat tanggung jawab pemerintah semakin bulat. Mereka bukan hanya korban banjir—mereka adalah korban ketidakpedulian dan keserakahan.
“Apa kita akan diam saja, membiarkan hidup kita diinjak?” suara Jati tegas, penuh marah, bergetar menyulut semangat pemuda-pemuda yang mendengarnya. “Kita harus menuntut keadilan. Kita tak boleh biarkan mereka menghancurkan hidup kita begitu saja.”
Namun, sebelum rencana mereka terwujud, muncullah utusan dari perusahaan. Perusahaan itu, pelaku penebangan liar yang telah merampas hutan mereka, kini datang menawarkan "kompensasi." Mereka membawa pesan dari pemimpin perusahaan, memaksa warga untuk menandatangani pernyataan, syaratnya: jangan laporkan aktivitas perusahaan ke siapapun, termasuk ke media massa.
"Ini tawaran yang sangat baik,” kata seorang utusan dengan senyum dingin. "Kalian akan mendapat sejumlah uang besar, cukup untuk memulai hidup baru. Hanya perlu tanda tangan."
Desas-desus segera menyebar. Banyak warga mulai tergoda, hati mereka yang semula keras kini luluh oleh angka yang menggiurkan. Hidup mereka berantakan, dan tawaran ini tampak seperti harapan yang mustahil didapatkan dari tempat lain. Tapi tidak bagi Jati yang selalu menurut apa kata neneknya. Jati mengingat tahun-tahun sebelumnya ketika neneknya masih sehat, beliau selalu menolak setiap tawaran dari orang yang mengaku perwakilan dari perusahaan. Jati teringat sorot mata neneknya menyala marah setiap dipaksa tandatangan suatu dokumen yang bahkan tanpa perlu dibaca apa isinya. Begitupun Jati sekarang, hatinya mendidih melihat cara perusahaan yang mencoba 'membeli' hidup mereka. Jati menolak mentah-mentah.
“Saya tak akan menjual harga diri saya,” katanya dengan nada getir, penuh tekad. “Mereka harus dihukum atas apa yang mereka lakukan. Uang ini takkan bisa mengembalikan hutan kami, atau masa depan yang mereka renggut.”
Namun, kata-kata Jati tenggelam di antara suara-suara warga lain yang berbondong-bondong menandatangani pernyataan itu. Hampir seluruh warga menyerah, menunggu kompensasi yang dijanjikan. Jati sendiri kini terasing. Cemoohan dan sindiran tajam sering menghujani dirinya, dianggap aneh, dianggap sok suci.
"Tidak, aku tak boleh menerimanya," gumam Jati pada dirinya sendiri, suaranya bergetar, tapi hatinya tetap. "Aku memperjuangkan keadilan, bukan uang."
Di tengah rasa kecewa dan kesendirian, Jati tetap teguh. Meskipun jalan yang ia pilih penuh duri dan kelam, ia percaya pada satu hal: keberanian dan keteguhan hatinya suatu hari akan mengubah segalanya, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk desanya di masa yang akan datang.
---
Pekan ketiga di pengungsian semakin terasa mencekam bagi Jati. Setiap harinya, rombongan wartawan datang silih berganti, membawa kamera dan mikrofon, mencatat setiap keluhan, setiap wajah penuh derita yang terpaksa meninggalkan rumah. Tapi bagi Jati, bukan banjir atau hujan yang menjadi momok paling menekan—melainkan tatapan dingin warga yang semakin mengawasinya. Mereka takut, takut kalau Jati membuka mulut, perjanjian mereka dengan perusahaan akan hancur lebur. Mereka sudah terikat dengan kompensasi yang dijanjikan, dan semua akan hilang jika ada satu suara yang berbeda.
Neneknya kian hari kian lemah. Jati, yang merawatnya di ruang khusus pengungsi sakit, tak pernah lelah menyeka keringat di kening neneknya, menyuapkan air hangat, atau sekadar mengelus tangannya yang semakin ringkih. Tapi di benaknya, tekanan terus menumpuk. Setiap kali ia melihat ke luar tenda pengungsian, setiap kali ia mendengar gumaman tak percaya dari warga yang lewat, ia tahu: kejujuran, jika keluar dari bibirnya, bisa membuat segalanya berubah.
Suatu sore, saat langit berawan dan pengungsian kembali dipenuhi hiruk-pikuk, Jati didatangi oleh dua orang asing. Pakaian mereka rapi, terlalu rapi untuk situasi seperti ini. Seorang laki-laki dan perempuan mendekat. “Jati?” panggil si laki-laki sambil mengulurkan tangan.
Jati ragu sejenak, lalu menyambut uluran itu. “Iya, ada apa?”
“Saya Rakan,” ujarnya ramah, “dari Komunitas Lingkung. Kami komunitas yang fokus pada riset dan jurnalistik di bidang lingkungan. Ini Kanya,” ia menoleh pada perempuan di sebelahnya, “seorang dosen dan ahli ilmu lingkungan.”
Kanya tersenyum lembut. “Senang bertemu denganmu, Jati. Kami dengar kamu adalah salah satu warga yang peduli dengan keadaan lingkungan di desa ini. Kami ingin mendengar lebih banyak dari kamu.”
Jati merasa dadanya bergetar. Perasaan ragu menyeruak, seolah semua tatapan warga kini beralih padanya. Mereka, para warga, tentu tidak akan suka kalau ia berbicara dengan orang luar. Perjanjian itu—kompensasi yang dijanjikan perusahaan—terlalu penting bagi mereka yang sudah kehilangan rumah dan tanah. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Kanya dan Rakan yang membuat Jati merasa ingin bicara, ingin mengungkap kebenaran yang selama ini hanya terpendam.
“Kami ingin menjadikanmu narasumber utama dalam penyelidikan kami,” ujar Rakan lagi. “Kami tahu ada lebih dari sekadar hujan yang menyebabkan banjir ini. Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Kanya merogoh handphone dari tas kecilnya, memperlihatkan sesuatu pada Jati. “Lihat ini, Jati,” ujarnya, memperlihatkan video pendek. “Ini klarifikasi dari kepala daerah dan menteri. Mereka bilang banjir ini murni karena cuaca buruk, karena hujan tak berhenti. Tapi, kita tahu ini tidak sepenuhnya benar.”
Jati menatap layar dengan penuh perhatian. Suara pejabat itu terdengar datar, dingin, seolah bencana yang menghancurkan rumah-rumah itu hanya sekadar angka di laporan. Setelah itu, Kanya menunjukkan gambar-gambar lain—artikel-artikel dari perusahaan yang menebarkan pencitraan palsu. Foto-foto mereka dengan bangga menanam pohon, disertai tuduhan bahwa masyarakat yang tak peduli lingkunganlah yang menyebabkan bencana.
“Mereka menuduh masyarakat karena membuang sampah sembarangan,” kata Kanya pelan. “Padahal, ini semua karena mereka merusak hutan.”
Kata-kata itu menusuk hati Jati. Ia tahu benar apa yang terjadi di desanya, bagaimana perusahaan-perusahaan itu menebang hutan tanpa belas kasihan, membiarkan tanah-tanah gundul tak terurus. Tapi berbicara, berarti menghadapi kemarahan seluruh warga. Di sisi lain, diam berarti mengkhianati nuraninya sendiri.
“Nek...” gumam Jati, menoleh ke arah neneknya yang masih terbaring lemah. Di sanalah dilema terbesar Jati: di antara perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesetiaannya pada keluarga serta desanya yang sedang terhimpit derita.
"Perusahaan-perusahaan itu menutupi boroknya dengan menyalahkan rakyat," Kanya berbicara pelan, tetapi nadanya tegas. "Kami tahu, orang-orang di sini tidak pernah lepas tangan soal kebersihan."
Kata-kata itu membuat Jati tersentak. Ia tahu benar kebohongan yang sedang dijalankan. Sebagai pemulung yang setiap hari bergelut dengan sampah, Jati lebih dari siapa pun paham bagaimana desa ini dipelihara. Ia menghabiskan hidupnya untuk membersihkan, menyusuri gang-gang, mengumpulkan sampah yang tercecer, dan memastikan setiap sudut tidak dibiarkan kotor. Tuduhan bahwa masyarakat membuang sampah sembarangan adalah fitnah keji yang tidak bisa diterima.
“Tidak benar itu,” suara Jati gemetar, tapi jelas. "Saya sendiri yang tiap hari membersihkan lingkungan di sini. Kami bahkan kerja bakti tiap bulan."
Rakan dan Kanya saling pandang. Di wajah mereka, Jati melihat kelegaan, mungkin juga harapan.
“Kami mengerti perasaanmu, Jati," Rakan berkata. "Itulah sebabnya kami ingin kamu jadi narasumber. Kau satu-satunya yang tidak terlibat dalam kolusi dengan perusahaan-perusahaan itu. Kau akan aman jika bersaksi. Ini bukan pelanggaran apa pun.”
Jati diam sejenak. Keraguan menghinggapi hatinya. Ia tahu keputusan ini bukan hal kecil. Masyarakat sudah memperingatkannya. Mereka takut kehilangan kompensasi. Tapi, di sisi lain, kebenaran ini terasa mendesak untuk diungkap. Ia juga harus memikirkan neneknya yang semakin lemah, terbaring tanpa daya.