LINGKUNG

Aiman Muin
Chapter #2

Jauh, Hijau, Hilang.

Jati duduk di teras rumahnya, memandangi langit yang semakin gelap. Hujan deras mulai turun dan angin kencang membuat dedaunan berterbangan. Dalam rumah kecilnya, nenek Jati berbaring di tempat tidur, suara batuk-batuknya terdengar. Jati menghela napas panjang, merasa cemas dengan cuaca yang tidak biasa.

“Nek, hujan semakin deras. Aku mau pastikan semua barang-barang kita aman,” kata Jati sambil mengangkat beberapa benda.

Neneknya, seorang wanita tua dengan rambut putih yang mulai menipis, mengangguk lemah. “Hati-hati, Jati.”

Jati segera bergegas memindahkan barang-barang berharga ke tempat yang lebih tinggi. Rumah kecil mereka terletak di tepi sungai, dan setiap kali hujan deras datang, mereka selalu khawatir akan banjir. Setelah selesai, Jati kembali ke kamar neneknya, duduk di sampingnya dan menepuk lembut bahu yang sedang menghadap ke jendela.

“Ada apa, Nek?” tanya Jati dengan lembut.

Neneknya tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Nenek cuma rindu pemandangan pohon yang dulu ada di sana.”

Jati membalas senyum, meskipun hatinya masih merasa khawatir. Jati merasa harus selalu menemani neneknya.

Malam itu, hujan tidak juga reda. Sebaliknya, semakin deras dan air mulai meresap masuk ke dalam rumah. Jati tidak bisa tidur, merasa cemas dengan situasi yang semakin buruk. Pada dini hari, air mulai menggenangi setinggi lutut mereka.

“Nek, kita harus mengungsi,” kata Jati dengan panik. “Air sudah masuk ke dalam rumah.”

Dengan hati-hati, Jati mengangkat neneknya yang lemah. Ia menggendong neneknya di punggung dan ransel berisi dokumen penting di depan dadanya. Jati berjalan menuju ke tempat yang lebih tinggi. Jalanan sudah tergenang seluruhnya, dan hujan masih terus mengguyur tanpa henti. Jati berusaha keras untuk tetap tenang, meskipun hatinya penuh dengan ketakutan.

Setelah beberapa jam berjalan di tengah air yang semakin tinggi, mereka akhirnya menemukan sebuah gedung bertingkat yang dijadikan tempat pengungsian. Bangunan itu penuh dengan warga desa yang juga mengungsi. Jati meletakkan neneknya di sebuah sudut yang kering, mencoba membuat neneknya senyaman mungkin.

“Kita akan aman di sini, Nek,” kata Jati sambil menyelimuti neneknya dengan selimut.

Neneknya membelai rambut Jati. “Terima kasih, Jati.”

Jati mengangguk, merasa lega bisa menyelamatkan neneknya. Namun, di dalam hatinya, ia takut keadaan makin memburuk.

Hari-hari di pengungsian tentu selalu berat bagi siapapun, tak terkecuali Jati dan neneknya. Bangunan yang dijadikan tempat pengungsian semakin penuh dengan warga yang kehilangan rumah mereka. Banjir yang melanda desa mereka adalah yang terburuk yang pernah terjadi. Air terus naik, merendam rumah-rumah dan arus air menghancurkan apa saja yang di laluinya.

Jati selalu berusaha mencari makanan dan air bersih untuk neneknya. Setiap hari, ia harus mengantri panjang untuk mendapatkan bantuan. Namun, ia tidak pernah mengeluh. Baginya, yang terpenting adalah neneknya tetap aman dan sehat.

“Nek, ini ada sedikit makanan dan air. Minumlah dulu,” kata Jati sambil menyodorkan makanan yang diterima dengan tangan gemetar oleh neneknya.

Meskipun kondisi di pengungsian sangat sulit, Jati selalu berusaha membuat neneknya merasa nyaman. Ia sering berbicara dengan neneknya, menceritakan kenangan masa kecil mereka di desa. Jati ingin neneknya merasa tenang dan tidak terlalu khawatir dengan kondisi mereka di tengah banjir.

Di tengah kesibukan dan kepanikan di pengungsian, Jati mulai mendengar cerita dari para pengungsi lain. Mereka berbicara tentang penyebab banjir yang melanda desa mereka. Jati mendengar bahwa banjir ini bukan hanya karena hujan deras, tetapi juga akibat penebangan pohon secara liar yang dilakukan oleh perusahaan ilegal.

“Semuanya karena mereka menebang hutan tanpa izin,” kata salah satu pengungsi dengan suara penuh amarah. “Mereka merusak alam kita, dan sekarang kita yang menderita.”

Jati mendengarkan dengan seksama. Ia juga menyadari bahwa selama ini aktivitas yang selalu disaksikannya seperti pembakaran lahan juga bisa berdampak sebesar ini. Ia mulai berpikir tentang hutan di sekitar desanya yang semakin gundul. Kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi saat musim kemarau juga berkontribusi memperparah keadaan.

“Pemerintah tidak pernah peduli,” lanjut pengungsi lain. “Mereka membiarkan perusahaan-perusahaan itu merusak hutan kita. Sekarang, kita yang harus menanggung akibatnya.”

Jati merasa marah dan sedih mendengar cerita itu. Ia merasa tidak berdaya, tetapi juga merasa ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Ia tahu bahwa neneknya membutuhkan perawatan yang lebih baik, dan ia tidak ingin melihat desanya terus menderita akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Sepekan berlalu, dan kondisi nenek Jati semakin memburuk. Banjir yang melanda desa mereka membuat neneknya semakin lemah. Jati berusaha keras mencari obat-obatan dan makanan bergizi untuk neneknya, tetapi persediaan di pengungsian sangat terbatas.

Begitupun juga masalah air bersih di pengungsian yang menjadi semakin pelik. Akses bantuan semakin sulit karena jalan-jalan yang terendam. Antrian untuk mendapatkan air minum semakin panjang, dan sering kali bantuan yang datang tidak mencukupi kebutuhan para pengungsi. Jati harus berjuang keras untuk mendapatkan air bersih dan makanan bagi neneknya.

“Nek, maaf, Jati belum dapat obat untuk Nenek,” kata Jati sambil memegang tangan neneknya.

Neneknya berusaha senyum. “Tidak masalah.”

Jati menahan air mata. Ia merasa putus asa melihat neneknya yang semakin lemah. Namun, ia bertekad untuk terus berjuang demi neneknya dan desanya. Ia tahu bahwa banjir ini adalah peringatan bagi mereka semua untuk lebih peduli terhadap lingkungan.

Malam itu, Jati duduk di samping neneknya yang terbaring lemah. Ia berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini. Di tengah kegelapan, Jati berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apapun untuk melindungi semua yang dia cintai dan apa yang menjadi miliknya.

Selama di pengungsian, Jati semakin menyadari bahwa yang harus disalahkan adalah perusahaan dan industri sekitar hutan yang kerap merusak untuk keuntungan mereka tanpa melakukan pemulihan. Pemerintah sendiri semakin jelas tidak berpihak pada masyarakat sekitar sehingga terjadi bencana besar seperti ini. Ia mendengar banyak cerita dari para pengungsi lain yang berpendapat sama karena menyaksikan hal serupa. Banyak desa yang hancur akibat ulah perusahaan ilegal dan kelalaian pemerintah.

“Kita harus bersatu melawan mereka,” kata seorang pengungsi. “Jangan biarkan mereka terus merusak hutan kita.”

Jati merasa terdorong untuk ikut berjuang. Ia mungkin bukan orang yang pintar, tetapi ia memiliki tekad yang kuat untuk melakukan apapun demi kebaikan desanya.

Hingga tiba saat di mana salah seorang relawan memberi kabar bahwa bantuan medis akan segera datang. Jati merasa sedikit lega mendengar kabar itu. Ia berharap neneknya bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik dan pulih dari penyakitnya.

“Nek, bantuan obat akan datang. Kebutuhan obat nenek sudah kulaporkan ke relawan,” kata Jati dengan suara penuh harap.

Jati merasa semangatnya kembali bangkit. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus hidup dalam keadaan seperti ini. Dia harus berjuang, dimulai bertahan bersama neneknya. Dan dengan begitu, Jati bisa bertindak lebih optimal dalam memperjuangkan tanah kelahirannya dengan melawan pelaku penyebab banjir.

---

Ketika kondisi pengungsian semakin sulit dan bantuan semakin jarang datang, Jati dan beberapa perwakilan warga desa memutuskan untuk pergi menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Mereka berencana mengarungi banjir yang belum juga surut padahal hampir dua pekan. Jati tahu bahwa ini adalah langkah berisiko, tetapi ia merasa tidak ada pilihan lain.

“Kita harus menuntut keadilan,” kata Jati dengan tegas mengajak anak muda sebayanya. “Kita tidak boleh membiarkan mereka merusak hidup kita tanpa konsekuensi.”

Namun, sebelum mereka sempat berangkat, datanglah beberapa orang dari perusahaan yang terlibat dalam penebangan liar. Mereka membawa pesan dari pimpinan perusahaan, menawarkan kompensasi kepada para warga yang kehilangan rumah dan harta benda mereka. Syaratnya, para warga harus menandatangani pernyataan bahwa mereka tidak akan melaporkan aktivitas ilegal perusahaan ke pemerintah atau media massa.

“Ini adalah tawaran yang baik,” kata salah satu perwakilan perusahaan. “Masing-masing kalian akan mendapatkan kompensasi cukup besar. Kalian hanya perlu menandatangani pernyataan ini.”

Banyak warga yang tergiur dengan nominal yang dijanjikan. Mereka merasa putus asa dan butuh uang untuk membangun kembali hidup mereka. Namun, Jati tidak senang dengan cara perusahaan yang terkesan ‘membeli’ aspirasi warga desa, Jati menolak tawaran mereka.

“Saya tidak akan menjual kebebasan saya,” kata Jati dengan suara penuh emosi. “Mereka harus dihukum atas apa yang mereka lakukan. Uang tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang.”

Namun, suara Jati tenggelam di tengah kesepakatan yang dicapai oleh warga lainnya. Nyaris semua warga menandatangani pernyataan itu, lalu menunggu pencairan kompensasi yang ditawarkan. Jati sendirian bahkan dicemooh aneh dan sok jual mahal, alhasil Jati sering dihinggapi rasa ragu hingga rasa takut.

“Aku tidak boleh menerima uang dari mereka,” kata Jati dengan suara bergetar. “Aku berjuang untuk keadilan, bukan untuk uang.”

Meskipun merasa kecewa dengan keputusan para warga lain, Jati tetap bertekad untuk melanjutkan perjuangannya. Ia tahu bahwa jalan yang dipilihnya adalah jalan yang sulit, tetapi ia tidak akan menyerah. Jati percaya bahwa dengan keteguhan hati dan keberanian, ia bisa membawa perubahan yang lebih baik untuk desanya dan generasi yang akan datang.

---

Pekan ketiga di pengungsian semakin penuh tekanan. Tiap hari, banyak wartawan dan reporter media datang untuk meliput korban banjir yang melanda. Jati diawasi ketat oleh para warga agar tidak berbicara pada siapapun. Mereka takut jika Jati membuka mulut, perjanjian mereka dengan perusahaan akan gagal dan mereka kehilangan kompensasi yang dijanjikan.

Jati tetap merawat neneknya yang semakin parah di ruangan khusus pengungsi yang sakit. Setiap hari, ia merasakan tekanan dan kekhawatiran yang semakin besar. Namun, ia tetap berusaha tegar dan menjaga neneknya dengan penuh kasih sayang.

Di hari yang lain, Jati didatangi oleh dua orang asing berpakaian rapi. Mereka ialah Rakan dan Kanya. Sepasang laki-laki dan perempuan yang ingin mengobrol banyak dengan Jati.

“Jati?” kata Rakan sambil mengulurkan tangan. Jati menyambut uluran tangan itu dengan ragu. “Iya, ada apa?” tanyanya.

Rakan tersenyum. “Perkenalkan, saya Rakan, dari Komunitas Lingkung. Komunitas kami bergerak di bidang riset dan jurnalistik yang terkait dengan permasalahan lingkungan. Ini Kanya, anggota kami, seorang dosen dan ahli dalam ilmu lingkungan. Kami sangat peduli dengan isu yang sedang terjadi dan ingin membantu.”

Kanya tersenyum ramah. “Senang bertemu denganmu, Jati. Kami sedang menyelidiki penyebab banjir di sini dan membutuhkan pendapatmu karena kami mendapat informasi bahwa kamu salah satu warga yang sangat peduli terhadap lingkungan di desa ini.”

Jati merasa ragu. Ia tahu bahwa para warga akan marah jika ia berbicara dengan orang lain. Namun, ia juga merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk mengungkap kebenaran.

Rakan melanjutkan, “Masih ada satu lagi anggota kami, namanya Titin, reporter Lingkung, dan sekarang sedang meliput bencana banjir di luar. Kami bermaksud menjadikanmu narasumber utama untuk diwawancara. Apa kau bersedia?”

Jati merasa semakin bimbang. Di satu sisi, ia ingin mengungkap kebenaran. Namun, di sisi lain, ia khawatir meninggalkan neneknya dalam kondisi yang semakin parah.

Kanya kemudian memperlihatkan video dan beberapa gambar di handphone-nya kepada Jati yang tampak ragu. “Lihat ini, Jati. Ini adalah video klarifikasi dari kepala daerah dan menteri yang mengatakan bahwa penyebab banjir adalah hujan yang tidak berhenti. Mereka mencoba menyembunyikan kebenaran.”

Jati melihat video itu dengan penuh perhatian. Kemudian, Kanya menunjukkan gambar-gambar artikel pencitraan palsu oleh perusahaan yang membagikan foto mereka menanam pohon dan menyebut masyarakat sering membuang sampah sembarangan.

“Perusahaan-perusahaan ini mencoba menutupi jejak mereka dengan menyalahkan masyarakat,” kata Kanya dengan nada serius. “Kami tahu pasti masyarakat di sini peduli dengan kebersihan.”

Jati merasa emosinya semakin memuncak. Sebagai pemulung, Jati tahu betul bagaimana bersihnya lingkungan daerah dia berkerja setiap hari selama bertahun-tahun. Tuduhan bahwa masyarakat membuang sampah sembarangan adalah fitnah.

“Itu semua tidak benar. Saya tahu karena saya yang membersihkan lingkunganku dari sampah,” kata Jati dengan suara gemetar. “Lagipula, kami rutin melakukan kerja bakti setiap bulan. “

Rakan dan Kanya saling berpandangan, lalu Rakan berkata, “Kami mengerti perasaanmu, Jati. Itulah mengapa kami ingin kau menjadi narasumber. Kau satu-satunya yang menolak kolusi dengan perusahaan ilegal itu. Kau tidak akan melanggar apapun jika bersaksi.”

Jati awalnya ragu.

Lihat selengkapnya