Waktu belum cukup sehari sejak kabar terakhir dari Titin. Rakan dan Kanya terlihat kusut karena pikiran mereka masih berputar-putar, mencari cara untuk menemukan sahabatnya itu. Jati mengajak mereka masuk ke dalam ruang kamar neneknya dirawat. Ketika mengikuti Jati, Kanya memutuskan untuk menanyakan rasa penasarannya yang lain.
"Bagaimana kondisi nenekmu, Jati?" tanya Kanya dengan lembut, mencoba tersenyum meski wajahnya memancarkan kelelahan.
"Sudah membaik. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi dia butuh banyak istirahat," jawab Jati.
Nenek Jati membuka matanya perlahan, merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Jati langsung duduk di sampingnya begitu menyadari bahwa neneknya telah bangun.
"Nek, bagaimana perasaan nenek?" tanya Jati dengan lembut, senyum kecil menghiasi wajahnya.
Nenek tersenyum tipis, matanya penuh kasih sayang. "Jauh lebih baik, Jati. Siapa mereka yang bersamamu?" tanyanya sambil melihat ke arah Rakan dan Kanya yang sudah berdiri di belakang.
Jati segera memperkenalkan mereka. "Nek, ini Rakan dan Kanya, mereka yang Jati maksud dari komunitas Lingkung kemarin. Mereka yang telah membawa kita ke sini, Nek."
Rakan dan Kanya maju, menyapa nenek dengan hormat. "Senang bertemu dengan nenek," kata Kanya dengan senyum lembut.
"Nenek, merekalah orang-orang yang memberikan bantuan untuk biaya perawatan nenek," tambah Jati.
Nenek mengangguk pelan, matanya berbinar penuh rasa syukur. "Terima kasih, kalian berdua. Kebaikan kalian sangat berarti bagi kami. Nenek sedih mengira tidak bakal bertemu kalian lagi untuk menyampaikan rasa syukur kami,"
Mendengar respon neneknya, Jati mulai menceritakan kejadian yang terjadi pada Titin. Suasana menjadi serius seketika. "Nek, jadi Rakan dan Kanya masih di sini karena...," kata Jati, suaranya lebih berat. "Titin, anggota mereka, hilang sejak kemarin."
Nenek Jati terkejut mendengar kabar tersebut. "Hilang? Bagaimana bisa?"
Jati menjelaskan dengan rinci bagaimana Titin menghilang setelah mengirim pesan terakhirnya dan bagaimana mereka sedang men. Nenek mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya menunjukkan kekhawatiran.
"Jati, kau harus membantu mereka mencarinya," kata nenek dengan suara tenang namun tegas."Jati mau bantu mereka, Nek, tapi Jati juga tidak mau meninggalkan nenek sendirian di sini," jawab Jati, ragu-ragu.
Nenek menggelengkan kepala pelan. "Jangan khawatirkan nenek, di sini ada suster yang merawat nenek. Kau sudah melakukan banyak hal untuk nenek. Sekarang saatnya kau bantu temanmu."
Jati merasa terombang-ambing antara tanggung jawabnya sebagai cucu dan kewajibannya sebagai teman. Namun, kata-kata neneknya memberikan keteguhan dalam hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus dia lakukan.
Rakan dan Kanya melihat pergolakan batin Jati. "Jati, jika kau memutuskan untuk membantu kami, kami akan sangat berterima kasih. Tapi kami juga mengerti jika kau lebih memilih untuk tetap di sini," kata Rakan dengan bijak.
Jati menghela napas dalam, kemudian menggelengkan kepala. "Aku akan membantu kalian mencari Titin. Sebagai warga lokal, aku yakin bisa bantu banyak."
Sebelum pergi, Jati memeluk neneknya dengan erat, berjanji akan segera kembali dengan kabar baik.
"Kalau begitu, kami berangkat sekarang, Nek. Aku janji akan kembali secepatnya. Nenek jaga diri baik-baik, ya," bisik Jati sebelum akhirnya mereka bertiga berangkat untuk melanjutkan pencarian.
Nenek tersenyum bangga mendengar keputusan cucunya. "Hati-hati dan semoga temanmu segera ditemukan."
Dengan tekad yang kuat, Jati, Rakan, dan Kanya bersiap untuk melanjutkan pencarian mereka. Sebelum berjalan ke luar dari rumah sakit, Jati menemui seorang suster dan meminta pertolongan untuk menjaga neneknya yang sekarang sendirian.
---
Mereka bertiga telah di atas mobil dan Rakan dan Jati sedang berdiskusi menentukan ke mana mereka akan melanjutkan pencarian.
Kanya, yang sejak tadi tampak gelisah, akhirnya bicara. "Lebih baik kita ke kantor polisi sekarang. Kita tidak harus menunggu 24 jam, aku tidak mau menunggu lebih lama lagi."
Jati setuju dan Rakan segera mengendarai mobil dengan cepat menuju kantor polisi terdekat yang diarahkan oleh Jati. Kanya mencoba menenangkan pikirannya, meskipun rasa khawatir dan cemas terus menghantui. Sementara menunjuk jalan, Jati bertanya.
"Apa kalian punya firasat di mana Titin mungkin berada?" tanya Jati menoleh ke Rakan dan ke Kanya di belakangnya.
Rakan menggeleng. "Aku tidak tahu pasti. Tapi kita harus memberi tahu polisi segala kemungkinan. Mungkin ada sesuatu yang mereka bisa lakukan."
Sesampainya di kantor polisi, mereka langsung diterima oleh seorang polisi yang bertugas. Rakan menjelaskan situasi dengan cepat dan jelas, memberikan semua informasi yang mereka miliki tentang Titin dan terakhir kali dia terlihat. Kanya mendeskripsikan Titin secara lengkap dan memperlihatkan foto terakhir mereka bersama. Kanya memberitahu polisi bahwa dirinya telah mengontak semua keluarga maupun orang-orang terdekat Titin.
"Saya telah menghubungi keluarga Titin di Kupang dan kerabatnya di Jakarta, tidak ada satu pun dari mereka yang mendapat kabar dari Titin sejak kemarin," jelas Kanya bersungguh-sungguh.
Jati ikut menjawab ketika ditanyai polisi untuk memvalidasi kronologi yang dijelaskan.
Polisi mencatat sembari mendengar namun tidak benar-benar memperhatikan. "Laporan kalian akan kami proses nanti. Kami akan memulai pencariannya begitu mendapat informasi lokasi terakhir yang lebih spesifik," kata petugas tersebut.
Jati merasakan campuran antara kelegaan dan kekhawatiran. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyanya.