LINGKUNG

Aiman Muin
Chapter #4

Kalau Kita Tolak

Suasana pagi di rumah sakit sangat hening, Kanya menggulirkan tampilan pada gawainya dan menemukan video yang mengingatkan awal pertemuannya dengan Titin.

Dua tahun lalu yang malah terasa seperti hari kemarin bagi Kanya, sebuah stasiun televisi menggelar acara talk show yang membahas isu-isu lingkungan yang mendesak di Indonesia. Acara tersebut dipandu oleh seorang host televisi yang dikenal karena keahliannya dalam memandu diskusi-diskusi hangat dan informatif.

Di studio yang terang benderang dengan lampu sorot yang mengarah ke panggung, dua tamu spesial duduk berdampingan di sofa. Kanya, seorang dosen baru nan muda yang penuh semangat, dan Titin, seorang jurnalis gigih dan baru saja viral.

Host membuka acara dengan senyuman hangat. “Selamat pagi, pemirsa! Hari ini kita kedatangan dua tamu istimewa yang sangat peduli dengan masalah lingkungan. Di sebelah kiri saya ada Kanya, seorang dosen muda yang berprestasi dan ahli dalam bidang ilmu lingkungan. Dan di sebelah kanan saya, ada Titin, seorang jurnalis yang telah banyak menulis tentang isu-isu lingkungan termasuk yang sedang ramai belakangan ini, krisis air bersih.”

Kanya dan Titin saling mengangguk dan tersenyum ramah. Kanya merasa sedikit gugup karena tidak menyangka dirinya duduk bersanding dengan salah satu reporter terkenal, tetapi di saat bersamaan antusias untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya.

Host terlebih dahulu memandang Kanya, “Kanya, Anda berasal dari Sulawesi, bukan? Bisa ceritakan kepada kita apa saja masalah lingkungan yang dihadapi di daerah asal Anda?”

Kanya mengangguk, mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Benar, saya berasal dari Sulawesi tepatnya Makassar, Sulawesi Selatan. Salah satu masalah terbesar yang kami hadapi di sana adalah pencemaran plastik yang mengotori laut. Banyak industri dan masyarakat yang masih membuang sampah plastik sembarangan, yang kemudian berakhir di laut. Salah satu dampaknya ialah mikroplastik yang tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan manusia.”

Host terlihat penasaran. "Mikroplastik? Bisakah Anda menjelaskan lebih detail?"

Kanya mengangguk pelan. "Mikroplastik adalah partikel kecil dari plastik yang sering kali tidak terlihat dengan mata telanjang. Partikel-partikel ini masuk ke rantai makanan, mulai dari plankton yang memakannya, hingga ikan yang kita konsumsi sehari-hari. Dampaknya terhadap kesehatan manusia belum sepenuhnya dipahami, tetapi penelitian awal menunjukkan adanya potensi risiko besar, termasuk gangguan hormonal dan kerusakan jaringan tubuh. Perlu diketahui juga bahwa penelitian terbaru telah membuktikan adanya mikroplastik di udara yang kita hirup. Inilah salah satu alasan kenapa kita harus mengelola sampah di rumah. Memisahkan sampah organik dan anorganik, serta mendaur ulang, dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang menjadi cikal bakal mikroplastik.”

Host tampak kagum dengan penjelasan Kanya. “Ternyata dampak plastik separah itu! Terima kasih atas penjelasan Anda. Sekarang kita beralih ke Titin. Titin, Anda sebagai jurnalis yang juga pernah menulis tentang masalah laut. Bagaimana pandangan Anda tentang masalah ini di Indonesia? Seperti masalah yang dihadapi di daerah asal Kanya, apakah daerah Anda juga mengalaminya?”

Titin, yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama, mengangguk dan mengambil alih pembicaraan dengan penuh semangat, “Masalah pencemaran plastik di laut adalah masalah besar yang kita hadapi di banyak daerah maritim, termasuk juga daerah asal saya NTT. Selain itu, laut kami juga menghadapi masalah-masalah lain yang seringkali terjadi seperti tumpahan minyak yang tidak ditangani dengan baik, sehingga menyebabkan kerusakan yang sangat besar pada ekosistem laut. Diperparah masalah sampah plastik tadi yang mencemari laut, maka potensi rusaknya ekosistem semakin tinggi dan mengancam kehidupan biota laut.”

Host mengangguk, menghadap ke kamera. “Kemarin, dunia maya ramai dengan tagar #KrisisAirBersih, kampanye lingkungan yang diinisiasi oleh Titin dan mendapat perhatian media internasional. Titin, berkat kampanye Anda tersebut, kita jadi tahu di NTT sedang mengalami krisis air bersih. Bisa Anda ceritakan lebih banyak?”

Titin menjawab tanpa ragu. “Benar sekali. Krisis air bersih di NTT adalah masalah yang sangat serius. Air adalah sumber kehidupan, tetapi di banyak daerah di NTT, akses terhadap air bersih sangat terbatas. Di beberapa desa, setiap musim kemarau, orang harus berjalan berjam-jam hanya untuk mendapatkan air, dan sering kali air yang mereka dapatkan tidak layak konsumsi.”

Host terlihat terkejut dengan penuturan Titin. “Apakah tidak ada upaya pemerintah untuk mengatasi hal tersebut?”

Titin menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan sekaligus kemarahan yang tertahan. "Ada beberapa upaya, tapi tidak cukup. Infrastruktur pengairan yang dibangun tidak pernah bertahan lama karena kurangnya perawatan, dan setiap ada dana yang seharusnya dialokasikan untuk pemeliharaan infrastruktur, perbaikan, justru menguap entah ke mana."

Kanya menatap Titin dengan rasa kagum yang mendalam. Keduanya saling memahami semangat dan kepedulian yang mereka miliki terhadap lingkungan, namun Titin tampak lebih berani dan tidak segan-segan berbicara keras menuntut perubahan.

Suara Titin mulai terdengar lebih tinggi, menggema di seluruh studio. “Yang lebih mengkhawatirkan adalah kurangnya perhatian serius dari pemerintah. Setiap tahun kita mendengar janji-janji tentang pembangunan infrastruktur air, tetapi kenyataannya, banyak wilayah masih tertinggal. Saya pikir sudah saatnya kita menuntut komitmen nyata dari pemerintah untuk tidak hanya menyediakan akses air bersih, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan di daerah-daerah kami.”

Host tampak sedikit terkejut dengan nada kritis Titin, tetapi tetap memberikan ruang untuknya melanjutkan.

“Saya tahu, kita selalu berbicara tentang pembangunan ekonomi dan investasi besar-besaran, tapi apa artinya semua itu jika masyarakat kita tidak memiliki kebutuhan dasar seperti air bersih? Banyak wilayah di NTT yang sudah mengalami kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya. Sumber mata air mengering, hutan-hutan gundul, dan aliran air terganggu. Jika ini terus dibiarkan, bukan hanya lingkungan yang hancur, tetapi juga kehidupan manusia yang bergantung padanya.”

Saat Titin menyelesaikan kalimatnya, Kanya merasa ada persamaan yang kuat di antara mereka. Mereka mungkin berasal dari daerah yang berbeda, tetapi mereka berbagi visi yang sama—mereka berjuang demi masa depan yang lebih baik untuk lingkungan.

Host kemudian bertanya lebih lanjut kepada Kanya, “Sebagai dosen, bagaimana Anda melihat peran pendidikan dalam mengatasi masalah-masalah lingkungan seperti tadi?”

Kanya menunggu sejenak sebelum menjawab. “Pendidikan memainkan peran yang sangat penting. Di kampus, saya selalu menekankan pentingnya kesadaran lingkungan kepada mahasiswa saya. Saya percaya bahwa dengan pendidikan yang baik, generasi muda akan lebih peka dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.”

“Saya juga sering mengajak mahasiswa untuk terjun langsung ke lapangan, melihat dan merasakan sendiri apa saja dampak dari semua bentuk dan jenis pencemaran lingkungan.” Sambung Kanya.

Host kemudian beralih ke Titin. “Titin, sebagai salah seorang reporter, menurut Anda, bagaimana media jurnalistik berperan dalam mengatasi masalah lingkungan di negeri kita?”

Titin menjawab dengan semangat, “Media memiliki peran yang sangat penting dalam mengungkap kebenaran dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Sebagai jurnalis, telah menjadi tugas saya untuk menyuarakan isu-isu lingkungan yang sering kali diabaikan. Saya selalu memberikan informasi yang akurat dan mendalam, agar masyarakat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Saya juga bekerja sama dengan berbagai komunitas dan organisasi lingkungan untuk memperjuangkan kebijakan yang lebih baik.”

Host tersenyum melihat antusiasme kedua tamunya. “Ini adalah diskusi yang sangat menarik. Terima kasih Kanya dan Titin atas pandangan dan informasi yang sangat berharga ini.”

Kanya dan Titin saling memandang dengan senyuman. Kanya berkata, “Titin, saya sangat mengagumi kerja keras Anda sebagai jurnalis. Anda dengan berani menyuarakan kebenaran dan mengungkap isu-isu penting yang sering kali diabaikan.”

Titin balas tersenyum, “Terima kasih kembali, Kanya. Saya juga sangat mengagumi pekerjaan Anda sebagai dosen. Anda berusaha mencerdaskan generasi muda dan membekali mereka dengan pengetahuan dan kesadaran lingkungan. Saya berharap kita bisa bekerja sama lebih banyak lagi di masa depan. Ada banyak topik yang ingin saya bahas lebih lanjut dengan Anda, terutama yang tidak sempat kita bicarakan di sini.”

Kanya mengangguk setuju. “Saya juga berharap demikian, Titin. Saya yakin kita bisa melakukan banyak hal jika berkolaborasi demi kebaikan untuk lingkungan kita bersama.”

Host menutup acara dengan mengatakan, “Terima kasih banyak, Kanya dan Titin, atas waktu dan wawasan berharga kalian. Semoga kalian terus sukses dalam upaya menjaga lingkungan kita.”

Setelah sesi talkshow yang intens dan menginspirasi, suasana di belakang panggung terasa lebih santai. Namun, di antara para kru dan tamu lainnya yang sedang berkemas untuk pulang, Kanya dan Titin tampak asyik berbincang. Mereka memutuskan untuk duduk sejenak di ruang tunggu stasiun TV, melanjutkan percakapan yang belum usai.

Kanya memulai percakapan dengan suara yang lebih lembut dan hangat, “Aku benar-benar kagum dengan caramu berbicara tadi,” kata Kanya, menatap Titin dengan rasa hormat. “Kamu begitu vokal, dan aku bisa merasakan betapa besar kepedulianmu terhadap lingkungan.”

Titin tersenyum, menatap Kanya dengan penuh rasa persahabatan. “Terima kasih, Kanya. Setiap diundang tampil di TV seperti talkshow tadi, aku selalu berniat memanfaatkannya sebaik mungkin untuk menyuarakan perjuangan lingkungan.”

“Dan kamu melakukannya dengan luar biasa, seperti kampanye krisis air bersih yang kamu suarakan juga sampai disorot media internasional sehingga memaksa pemerintah untuk turun tangan.”

“Terima kasih, Kanya. Sebenarnya, aku hanya berjuang untuk kampung halamanku. Masalah air di NTT sangat mendesak dan benar-benar menyakitkan bagiku, sehingga aku merasa harus melakukan sesuatu. Banyak sekali yang menderita karena kekurangan air bersih, dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Ketika kita berhadapan dengan masalah besar seperti itu, kita harus berani untuk bersuara, meskipun harus melawan arus.”

“Aku jadi ingin berbuat lebih banyak juga. Namun, aku berada dalam situasi yang sedikit berbeda. Sebagai dosen di perguruan tinggi negeri, ada banyak batasan yang harus aku hadapi. Jabatan akademis membuatku harus berhati-hati dalam menyuarakan pandangan, terutama jika itu melibatkan kritik terhadap kebijakan pemerintah."

Titin mendengarkan dengan seksama, merasakan beban yang Kanya rasakan. "Aku mengerti, Kanya. Setiap orang memiliki tantangan masing-masing. Tidak mudah untuk berdiri di depan dan berbicara, terutama jika ada konsekuensi pribadi yang harus dihadapi. Tapi kamu tidak sendirian. Lagipula ada cara lain untuk tetap berkontribusi di belakang layar."

Kanya menatap Titin dengan penasaran. "Cara apa maksudmu?"

Titin menjelaskan dengan semangat, "Aku merekomendasikan kamu untuk bergabung dengan komunitas Lingkung. Aku kenal ketuanya dan menurutku komunitas kami cocok denganmu. Komunitas kami terdiri dari berbagai individu yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Kami berkomitmen untuk memantau dan menjaga lingkungan di daerah masing-masing. Di dalam komunitas ini terbagi menjadi dua bidang yaitu divisi riset dan divisi jurnalistik, kamu sangat cocok di bidang riset sehingga bisa menyuarakan isu-isu lingkungan tanpa harus menonjolkan identitas pribadi. Aku sendiri sudah menjadi anggota di divisi jurnalistik, jadi jika kamu mau bergabung, kita akan bekerja bersama sebagai satu suara yang kuat."

Kanya cepat mencerna saran tersebut, dan matanya mulai bersinar dengan harapan. "Ini bisa menjadi solusi yang tepat untukku. Aku masih bisa berkontribusi, masih bisa berjuang untuk lingkungan, tetapi dengan cara yang lebih aman. Terima kasih, Titin. Kamu tidak tahu betapa lega rasanya menemukan jalan keluar seperti ini."

Titin tersenyum hangat, merasakan keakraban yang tumbuh di antara mereka. "Lingkung bukan hanya sekadar komunitas, Kanya. Ini adalah keluarga besar yang saling mendukung. Kita semua punya peran yang penting dalam menjaga bumi kita, dan aku yakin kamu akan membawa banyak kontribusi berharga."

Kanya merasakan dorongan yang kuat untuk terlibat lebih jauh. Mereka melanjutkan obrolan tentang berbagai masalah lingkungan lainnya, berbagi pengalaman, informasi komunitas atau organisasi lain dan ide-ide tentang bagaimana mereka bisa membuat perubahan. Waktu berlalu tanpa terasa, dan mereka berdua semakin akrab.

Beberapa menit kemudian, seorang pria dengan penampilan tenang dan ramah masuk ke ruang tunggu. Tatapannya lembut, dan ketika dia melihat Titin, senyumnya melebar. "Hei, sudah selesai?"

Titin mengangguk lalu bangkit dan memperkenalkan, "Indra, ini Kanya. Kanya, ini Indra, pacarku."

Indra menjabat tangan Kanya dengan hangat. "Senang bertemu denganmu, Kanya. Saat perjalanan ke sini, aku sambil mendengar diskusi kalian berdua, sangat luar biasa."

Kanya mengangguk, "Senang bertemu denganmu juga, Indra. Setelah talkshow tadi, kami bahkan masih melanjutkan diskusi kami."

Indra tersenyum penuh pengertian, "Titin memang senang mengobrol banyak terkait topik lingkungan, apalagi dengan orang-orang yang sevisi dengannya, seperti dirimu."

Obrolan mereka berlanjut sebentar hingga akhirnya Indra memberi isyarat bahwa sudah waktunya mereka berdua pergi. Sebelum berpisah, Titin dan Kanya bertukar nomor telepon.

"Pastikan kita tetap berhubungan, ya," kata Titin dengan senyum hangat dan menggenggam pergelangan tangan Kanya lembut.

"Tentu saja," jawab Kanya, merasakan ikatan yang kuat dengan Titin, meskipun pertemuan mereka baru saja dimulai. "Aku sangat menantikan kerja sama kita ke depannya."

Titin mengangguk, matanya penuh dengan semangat. "Aku juga. Aku tunggu kamu bergabung di komunitas Lingkung."

Dengan itu, mereka berdua berpisah. Kanya merasa hatinya ringan dan penuh harapan, tidak hanya karena pertemuan yang menginspirasi ini, tetapi juga karena dia telah menemukan sahabat baru yang berjuang di jalur yang sama. Dalam hatinya, Kanya tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang mereka dalam memperjuangkan lingkungan dan membuat perubahan nyata.

---

Kanya masih merenung, mengenang pertemuan pertamanya dengan Titin. Meskipun situasi sekarang sangat berbeda, kenangan yang masih segar di benaknya itu memberinya semangat baru untuk terus mencari sahabatnya tersebut. Dia merasa bahwa persahabatan mereka telah menjadi lebih dari sekadar kolaborasi profesional; itu adalah ikatan yang mendalam yang didasari oleh komitmen yang sama terhadap lingkungan. Dia tidak akan menyerah, tidak setelah semua yang mereka mulai bersama, tidak peduli seberapa berat tantangan yang mereka hadapi.

Di ruang tunggu rumah sakit, cuplikan talkshow yang Kanya tonton terus berulang hingga ponsel di tangannya itu berbunyi memecah keheningan. Kanya melihat layar ponselnya, dan nama yang muncul membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Itu adalah Indra.

Dengan ragu, Kanya menjawab panggilan itu, suaranya terdengar tenang meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran. "Halo."

Suara Indra terdengar tegang dan penuh kekhawatiran dari seberang telepon. "Kanya, aku sudah di bandara. Aku tidak bisa diam saja setelah melihat videomu. Kenapa kau tidak mengabariku? Kamu di mana sekarang? Aku ingin segera bertemu."

Kanya menghela napas, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Maaf Indra, entah karena panik atau bingung, aku jadi lupa mengabarimu. Aku dan teman-teman sedang di rumah sakit. "

Indra tidak menunggu lebih lama lagi. "Oke, aku ke sana sekarang. Tolong beritahu aku lokasi pastimu."

Kanya memberikan alamat rumah sakit dan menutup telepon. Dia lalu menoleh ke Rakan dan Jati, yang mendengarkan percakapan itu dengan penuh perhatian.

"Indra sudah tiba di bandara. Dia akan segera ke sini untuk bergabung dengan kita," kata Kanya, suaranya sedikit bergetar. "Kita harus segera menyusun rencana untuk mencari Titin."

Rakan mengangguk setuju. "Baiklah. Sebelum bertindak, kita perlu mengobrol dengan Indra sebentar, semoga saja ada petunjuk baru dari Indra, apalagi dia mengenal Titin lebih baik daripada kita."

Jati, yang mendengarkan dengan serius, merasa ada harapan baru. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu rumah sakit, menanti kedatangan Indra. Kanya merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Dia tahu sesuatu yang belum bisa dia beri tahu orang lain.

Tidak butuh waktu lama, suara langkah kaki cepat terdengar mendekat. Seorang pria dengan raut wajah cemas dan tegang memasuki koridor menuju kursi ruang tunggu. Itu adalah Indra, dengan matanya yang penuh kekhawatiran.

"Kanya" panggil Indra, suaranya terdengar putus asa.

Kanya berdiri dan menunggu Indra mendekat, Rakan dan Jati ikut berdiri dan bergantian mengulurkan tangan untuk bersalaman simpati.

Indra mengangguk, "Terima kasih telah menunggu."

Setelah basa-basi perkenalan satu sama lain secara singkat, Indra yang penuh rasa cemas tapi ada semangat dan tekad di matanya, "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?"

Rakan dan Kanya langsung masuk ke pembicaraan serius. Mereka menceritakan kronologi lengkap hilangnya Titin—mulai dari terakhir kali dia mengirim pesan, hingga mereka menemukan kartu memori yang diduga milik Titin di pinggiran kota. Indra mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sesekali mengangguk, tetapi banyak diam.

“Indra, kita menemukan kartu memori Titin yang berisi rekaman video bukti pembakaran hutan dan wawancara Jati,” kata Rakan sambil menatap wajah Indra. “Kita pikir mungkin ini ada hubungannya dengan hilangnya Titin. Kita juga sudah mengunggah video itu ke media sosial untuk menarik perhatian masyarakat.”

Indra terdiam sejenak, wajahnya tampak semakin serius. “Kartu memori itu... mungkin sengaja dibuang oleh Titin,” katanya pelan namun tegas. “Sepertinya dia tidak ingin video itu terpublikasi.”

Kanya dan Rakan saling berpandangan heran. “Apa maksudmu mengatakan seperti itu?” tanya Kanya sedikit ketus, merasa tegang dengan arah pembicaraan ini.

Indra mengangguk pelan. “Sebelum Titin berangkat, aku sudah melarangnya pergi. Ada ancaman yang datang, teror demi teror menghantuinya—panggilan telepon tak dikenal, pesan ancaman. Semua itu bermula sejak dia mencoba mengungkap kasus korupsi besar beberapa bulan lalu. Itu sebabnya aku sangat khawatir ketika dia memutuskan untuk melakukan investigasi yang jauh seperti di sini.”

Jati, yang mendengarkan dari sisi lain, akhirnya bersuara menebak, “Kasus korupsi tambang timah,” Jati mengusap rambut dari dahinya, “Bukannya itu terjadi di Sumatra dan semua pelaku sudah ditangkap?”

Indra mengangguk dan menghela napas. “Belum semua, dan ada kemungkinan suruhan mereka mengikuti Titin. Setiap berpergian bersamanya, dimanapun, selalu saja ada yang mengikuti kami selama di Jakarta. Bahkan terakhir ketika kami liburan ke Solo, aku masih merasa tidak aman. Sebenarnya Titin juga sadar akan bahaya tersebut, tetapi dia terlalu berani. Sayangnya, sifatnya itu menarik perhatian oknum yang tak ingin kebenaran terungkap.”

Rakan merenung sejenak, lalu menyadari sesuatu, “Berarti video yang kami unggah bisa saja malah membahayakan Titin di luar sana.”

Kanya yang tampak kaget menoleh ke arah Rakan miris.

Indra langsung memperingatkan, “Ya, bisa dibilang begitu. Potensinya sangat berbahaya. Orang-orang yang terlibat dalam kasus ini pastilah memiliki power besar dan tidak akan tinggal diam. Jadi, bahaya bukan hanya terhadap Titin tetapi kalian juga bisa saja menjadi target mereka. Oleh karena itu, kita harus lebih waspada.”

Peringatan Indra membuat semua yang ada di ruangan itu merasa genting. Ada ketegangan yang menggantung di udara. Kanya merasa hatinya semakin cemas. Semakin ia memikirkan sahabatnya, semakin besar rasa takutnya bahwa ini bukan sekadar kasus hilang biasa.

Namun, di sisi lain, Kanya juga merasa bahwa tindakannya mengunggah video bukti kecurangan lingkungan sudah tepat. Jika bukti tersebut dia tahan, maka pembakaran hutan yang menyebabkan banjir akan terus berlangsung tanpa ada yang mengetahuinya.

Lihat selengkapnya