LINGKUNG

Aiman Muin
Chapter #5

Ada Uang, Ada Curang

Nestapa di wajah Indra belum juga hilang sejak di rumah sakit hingga sekarang saat dirinya mengendarai mobil sewaan Rakan mengikuti intruksi arah dari Jati di sepanjang jalanan Kota Sintang. Dengan sangat gelisah, matanya terus menerus mencari tanda-tanda keberadaan Titin.

"Aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang dia alami sekarang," kata Indra dengan suara serak. "Titin adalah segalanya bagiku."

Jati, yang juga merasakan kekhawatiran yang mendalam, mencoba memberikan dukungan. "Kita akan menemukannya, Indra. Kita tidak akan berhenti sampai kita menemukannya."

Indra mengangguk, meski matanya menunjukkan kelelahan, ada semangat yang tidak padam di dalamnya. "Terima kasih, Jati. Aku, kami sangat menghargai bantuanmu."

Begitu tiba, suasana di sekitar titik pencarian terasa sibuk. Relawan mulai berkumpul, menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan. Selebaran berisi informasi tentang hilangnya Titin telah Indra bagikan, dan di antara relawan yang berkerumun, Indra tampak berdiri di tengah, memberi arahan kepada para relawan. Wajahnya tampak serius, namun tetap tenang di tengah kekhawatiran yang meliputi semua orang.

Jati berdiri di sisi Indra, mendengarkan dengan saksama setiap instruksi yang diberikan. Meski hatinya masih dipenuhi rasa cemas, ia berusaha menenangkan dirinya dan fokus pada misi mereka hari ini—mencari jejak Titin, apapun petunjuk kecil yang mungkin muncul dari pencarian mereka.

Indra mulai membagi tugas. "Kita akan berpencar di sekitar area ini," katanya dengan suara mantap. "Tim pertama akan menyisir area tidak banjir. Fokus pada jalan setapak, rumah-rumah kosong, dan bangunan yang ditinggalkan. Tim kedua, yang lebih sedikit, akan menyisir area yang baru saja surut setelah banjir. Kondisinya masih cukup berbahaya, jadi pastikan untuk berhati-hati."

Jati menatap sekeliling, memperhatikan relawan yang mulai berdiskusi di antara kelompok-kelompok kecil, mempersiapkan diri dengan peralatan seperti senter, peluit, dan kantong plastik besar untuk memungut barang-barang yang mungkin ditemukan.

"Jati," panggil Indra, menghampirinya dengan ekspresi serius namun bersahabat. "Kamu dan aku akan ke area yang masih lembab bekas banjir. Bantu aku memetakan daerah yang belum terlalu lama surut. Kita akan berjalan perlahan, jadi jangan khawatir."

Jati mengangguk, meski ada sedikit ketegangan di bahunya. "Baik, Indra. Kita mulai dari mana?"

Indra membuka peta di tangannya, menunjukkan garis merah yang menandai jalur pencarian. "Kita mulai dari sini, dekat sungai. Kartu memori yang kita temukan kemarin menunjukkan bahwa kemungkinan besar ada petunjuk lain di sekitar daerah ini. Tapi kita harus berhati-hati. Kondisi tanah masih licin, dan ada banyak reruntuhan di beberapa tempat."

Setelah memberikan sedikit arahan terakhir kepada para relawan, Indra menepuk bahu Jati dengan keyakinan. "Kita pasti akan menemukan sesuatu. Yang penting tetap waspada, ya."

Mereka mulai bergerak, meninggalkan kerumunan relawan yang sudah mulai menyebar ke titik-titik yang telah ditentukan. Suasana di sekitar mereka berubah seiring langkah mereka semakin dalam menuju area yang masih basah. Genangan air dan lumpur sisa banjir terlihat di beberapa tempat, menciptakan kesan bahwa alam baru saja mengalami bencana besar.

Jati berjalan dengan hati-hati, langkahnya mantap namun dipenuhi kehati-hatian. Meski pandangannya terus memeriksa setiap detail di sekelilingnya, pikirannya tak bisa lepas dari kecemasan. Bayangan Titin, hilang tanpa jejak, membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu mereka harus menemukan Titin secepat mungkin—setiap detik yang berlalu tanpa kabar membuat rasa khawatir semakin membesar.

Sesekali, Indra memanggil nama Titin, suaranya bergema di antara bangunan kosong dan pepohonan yang berantakan. Jati mengikuti dengan panggilan serupa, berharap suara mereka bisa sampai ke telinga Titin, di mana pun dia berada.

Setelah beberapa jam menyusuri daerah yang masih berlumur lumpur, Indra berhenti sejenak, menatap sekeliling dengan tatapan penuh perhitungan. "Kita coba ke arah sana," katanya, menunjuk ke sebuah jembatan kecil yang tampak rusak di ujung pandang mereka.

Jati menatap jembatan itu dengan ragu. Bagian bawahnya masih terendam air, dan tampaknya cukup berbahaya untuk diseberangi. Namun, jika Indra yakin ada sesuatu di sana, Jati tak akan ragu untuk mengikutinya.

Mereka mulai melangkah menuju jembatan tersebut, dengan hati-hati menapaki jalan yang masih becek dan licin. Keduanya tetap diam selama beberapa saat, hanya fokus pada langkah kaki mereka dan sesekali menatap sekitar dengan cemas.

Di tengah keheningan itu, Indra merasa pikirannya berputar-putar, mencoba mencari makna di balik hilangnya Titin. Mengapa dia tiba-tiba menghilang? Apakah ini ada hubungannya dengan investigasinya terhadap kasus korupsi lingkungan? Atau ada alasan lain yang lebih personal, sesuatu yang tak pernah dibicarakan Titin padanya atau pada orang lain?

Tiba-tiba, Indra berhenti. "Jati, lihat itu!" katanya sambil menunjuk sesuatu yang tergeletak di antara puing-puing di dekat jembatan.

Jati memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas. Di antara reruntuhan kayu dan sampah banjir, tampak sesuatu yang terlihat seperti... sebuah tas.

Jati menatap tas yang tergeletak di antara puing-puing. Hatinya seolah berhenti berdetak sejenak. Tas itu terlihat kotor, penuh lumpur yang mengering, tetapi masih jelas terlihat bentuk dan warnanya.

Indra segera meraih tas tersebut, matanya membelalak. “Ini... ini tas Titin,” gumamnya dengan suara tercekik. Dia mengenali betul model tas yang sering digunakan Titin, tas yang selalu dibawanya ke mana-mana ketika bepergian.

Jati mendekat, ikut melihat tas tersebut dengan cermat. “Kosong...” desah Jati setelah memeriksa bagian dalamnya. Tidak ada petunjuk lain yang bisa ditemukan di dalam tas itu, hanya sisa-sisa debu dan lumpur. Namun, penemuan ini, sekecil apapun, memberi harapan baru.

“Ini artinya... Titin pasti pernah ada di sini,” ucap Jati, suaranya penuh kepastian. Ada semacam firasat yang kuat dalam dirinya, perasaan bahwa mereka semakin dekat dengan jejak Titin. Tapi, meski begitu, tidak ada orang di sekitar yang bisa mereka tanyai, tidak ada saksi mata, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan lain di tempat itu.

Mereka berdiri dalam diam sejenak, mencoba memikirkan langkah berikutnya. Hanya suara gemerisik angin yang membawa aroma sisa-sisa banjir yang menyelimuti mereka. Wajah Indra tampak tegang. Meskipun mereka telah menemukan tas Titin, jejaknya seolah lenyap begitu saja di sekitar lokasi itu.

“Apa kita mencari di sekitar sini lagi?” tanya Jati, memecah keheningan.

Indra menggeleng pelan, menghela napas panjang. “Kita sudah menyisir daerah ini cukup lama. Aku tidak yakin ada yang tersisa untuk ditemukan di sini.”

Jati melihat sekitar, merasa frustrasi. Mereka sudah berjalan berjam-jam, menyusuri setiap sudut yang mungkin bisa memberikan petunjuk, tetapi sepertinya keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Tas yang ditemukan itu adalah satu-satunya jejak yang ada, namun, tidak ada tanda-tanda lain yang bisa mereka ikuti.

“Kita sudah mencoba yang terbaik di sini,” lanjut Indra, suaranya sedikit goyah. “Mungkin kita harus mempertimbangkan mencari di tempat lain. Bisa jadi dia dibawa ke tempat yang lebih jauh, atau... mungkin dia berusaha bergerak menjauh dari sini.”

Jati terdiam, menundukkan kepala. Setiap langkah yang mereka ambil seolah membawa mereka semakin dekat, namun di saat yang sama, semakin jauh dari jawaban yang mereka harapkan. Ketiadaan petunjuk membuat semuanya terasa lebih sulit. Jati tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan terburuk. Bagaimana jika Titin terjebak di suatu tempat yang lebih berbahaya? Bagaimana jika mereka terlambat menemukannya?

Indra tampak berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa khawatirnya, meskipun jelas terlihat dari caranya berbicara dan gerak-geriknya bahwa dia cemas. “Jati,” katanya pelan, “aku tahu ini sulit. Tapi kita harus tetap tenang. Kita akan terus mencari sampai kita menemukan sesuatu yang lebih jelas. Jangan menyerah, ya.”

Jati mengangguk, meski di dalam hatinya perasaan putus asa mulai merayap. Namun, dia tahu bahwa menyerah bukan pilihan. Tidak sekarang. Tidak setelah sejauh ini mereka berusaha.

Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di batang pohon besar yang tidak lagi berdaun di dekat reruntuhan. Matahari mulai condong ke barat, memberikan tanda bahwa waktu semakin sore. Jati duduk di atas tanah yang basah, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Dia memandang tas Titin yang masih berada di tangan Indra, seolah benda itu adalah satu-satunya harapan yang tersisa untuk menemukan Titin.

“Jika saja kita bisa menemukan sesuatu lagi,” gumam Jati pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin yang bertiup lembut. “Sekecil apapun, apa saja...”

Indra menoleh padanya, tatapannya penuh simpati. “Kita akan temukan, Jati. Mungkin bukan hari ini, tapi kita tidak boleh berhenti.”

Saat itu, Jati memikirkan Neneknya yang sedang menunggu kabar di rumah sakit, Kanya yang mungkin juga tengah cemas, dan Titin, yang nasibnya masih misteri. Meskipun penemuan tas itu sebuah kemajuan, kekosongan yang mereka hadapi setelahnya hanya memperkuat kekhawatirannya. Rasanya seperti dinding tinggi yang tidak bisa mereka lewati, seolah-olah mereka dihadapkan pada jalan buntu.

Indra menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang lelah. “Kita istirahat sebentar, Jati. Sudah waktunya kita kembali dan bertemu dengan yang lain. Kita lihat apakah mereka menemukan sesuatu yang lebih berarti.”

Jati mengangguk pelan, tubuhnya terasa berat. Kelelahan fisik yang dia rasakan kini semakin menyatu dengan beban mental yang menumpuk. Mereka berdua mulai berjalan kembali ke titik awal pencarian, di mana relawan-relawan lain menunggu. Ketika mereka mendekat, Jati melihat sosok Rakan yang sudah lebih dulu tiba di sana, menatap ke arah mereka dengan ekspresi serius.

Rakan langsung mendekat, memperhatikan Jati dengan seksama. Ada kegelisahan dalam matanya, seolah-olah dia ingin memastikan Jati baik-baik saja. Namun, Jati bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam pandangan itu—kekhawatiran Rakan bahwa Jati mungkin telah melihat berita buruk tentang dirinya yang tengah beredar di internet. Tanpa mengatakan apa pun, Rakan hanya menepuk bahu Jati, seolah memberinya kekuatan tanpa harus mengungkapkan kata-kata.

Mereka bertiga bergabung dengan para relawan yang telah menyebar dan kini kembali berkumpul. Beberapa dari mereka membawa barang-barang yang mereka temukan selama pencarian. Ada yang membawa tas kecil, sepatu, hingga potongan pakaian yang terlihat usang dan kotor. Semua barang itu tampak mencurigakan, tapi bisa jadi hanya sampah yang terseret banjir.

Indra mengambil tas kecil yang ditemukan salah satu relawan dan mengamatinya dengan teliti. Dia mencoba mencari tanda-tanda yang mungkin menunjukkan bahwa barang itu milik Titin, namun seiring waktu, dia mulai ragu. “Aku... aku tidak yakin,” katanya pelan sambil memandang Rakan dan Jati. “Tas ini mungkin milik siapa saja.”

Rakan mengambil giliran mengecek barang-barang lainnya. Dia memeriksa sepatu usang yang ditemukan di sekitar genangan air. Namun, sepatu itu terlalu rusak untuk bisa diidentifikasi dengan pasti. “Bisa jadi milik Titin, tapi bisa juga tidak,” gumamnya. “Kita tidak tahu. Semuanya bisa saja terbawa arus banjir.”

Jati memandangi barang-barang tersebut satu per satu, berharap bisa menemukan sesuatu yang lebih pasti. Tapi setiap kali dia mencoba mencari petunjuk, dia semakin merasa tenggelam dalam ketidakpastian. Rasanya semua barang itu bisa saja milik siapa pun. “Semua ini... mungkin hanya sampah,” katanya akhirnya, suaranya lemah.

“Jangan menyerah, Jati,” ucap Rakan, mencoba memberikan semangat. “Mungkin barang-barang ini bukan milik Titin, tapi kita tidak akan menyerah. Setiap detail kecil bisa membawa kita lebih dekat pada jawabannya.”

Namun, Jati hanya terdiam. Meskipun dia tahu mereka harus terus mencari, harapan yang sempat tumbuh ketika menemukan tas Titin kini mulai memudar lagi. Kelelahan dan frustasi semakin membebani pikirannya. Rakan kembali menatap Jati, dan tanpa bicara, dia tahu Jati berada di ambang batas.

Hari yang panjang dan pencarian yang melelahkan belum memberikan hasil yang pasti. Belum ada petunjuk pasti tentang keberadaan Titin, dan semangat yang semula tinggi mulai meredup di antara mereka.

Namun, salah satu relawan yang masih tampak bersemangat datang dengan beberapa kartu memori yang ditemukan di dekat area pencarian sebelumnya. Ia menyerahkannya kepada Rakan, wajahnya penuh harapan.

"Ini... kami yakin ini milik Titin," kata Rakan dengan nada penuh keyakinan. "Katanya, ditemukan tidak jauh dari lokasi kami menemukan kartu memori kemarin."

Indra mengambil kartu-kartu memori itu dan menatapnya dengan seksama. Ada rasa waspada di matanya. "Kita tidak tahu pasti, tapi kita harus segera memeriksanya," katanya sambil memandang Rakan dan Jati.

Jati, yang sedang memetakan temuan-temuan dari para relawan di atas peta, mendekat untuk melihat kartu-kartu memori itu. Ia mengangguk perlahan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Kita bisa berharap ini petunjuk yang lebih kuat daripada yang lain," katanya, meskipun suaranya tetap terdengar ragu.

Lihat selengkapnya