LINGKUNG

Aiman Muin
Chapter #6

Riuh, Marah, Meruah.

Tampak sedang sibuk, Rakan duduk di kursi ruang tunggu, tatapannya fokus pada ponsel, sementara di tangannya tergenggam erat beberapa kartu memori kecil baru yang ditemukan pada saat pencarian. Ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan, dan dia tahu bahwa apa yang ada di dalam kartu memori ini bisa menjadi kunci penting dalam menemukan Titin.

Kanya yang berdiri tidak jauh, memperhatikan Rakan dengan hati-hati. Setelah jeda beberapa detik, Kanya menyadari bahwa Rakan hendak membuka file dari kartu memori itu, tetapi ia ragu-ragu. Ukuran file yang terlalu besar tidak memungkinkan Rakan untuk membuka file di ponselnya.

“Kanya, aku perlu pinjam laptopmu,” kata Rakan akhirnya, suaranya rendah dan berat, mengindikasikan urgensi yang tersembunyi di balik ketenangan palsunya.

Kanya mengangguk, menyadari bahwa tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Tanpa berkata-kata lagi, ia masuk ke kamar nenek Jati, tempat ia sebelumnya meletakkan tasnya yang berisi laptop. Sesampainya di sana, Kanya membuka tasnya dengan cepat dan kembali keluar, setelah memastikan Jati dan neneknya tetap tertidur, sambil membawa laptop yang masih dalam keadaan mati.

Rakan tampak gelisah menunggunya. Saat Kanya kembali, ia langsung menyerahkan laptopnya pada Rakan yang segera menyalakannya. Kanya duduk di kursi yang sama, memperhatikan Rakan yang dengan cepat membuka sistem operasi dan memasukkan kartu memori itu ke dalam lobang di sisi samping laptop.

Butuh beberapa saat bagi laptop untuk membaca kartu memori tersebut. Kanya memperhatikan layar dengan perasaan tak menentu, sementara Rakan terlihat semakin cemas.

Rakan mendongakkan kepala sejenak di kursi lorong rumah sakit, kelelahan tampak jelas di wajahnya. Malam sudah semakin larut, dan lelah mental serta fisik mulai menggerogoti dirinya. Kanya memandangi Rakan dengan penuh simpati. Dia tahu bahwa rekannya itu sudah tertekan dengan semua masalah yang ada hingga ancaman-ancaman yang datang melalui media.

“Kamu harus istirahat, Rak,” Kanya menyarankan dengan nada lembut, melihat Rakan meraih laptopnya, bersiap untuk memeriksa isi kartu memori. “Biar aku saja yang mengeceknya. Kamu sudah cukup banyak menangani hari ini.”

Rakan terdiam, menimbang kata-kata Kanya. Wajahnya tampak menunjukkan keraguan, tapi dia tahu Kanya benar. Hari itu sudah terlalu panjang untuknya, dan pikirannya mulai terasa kabur. Dengan menghela napas berat, dia menyerahkan kembali laptop Kanya.

“Baiklah,” kata Rakan akhirnya, dengan suara yang terdengar lebih berat dari biasanya. “Tapi, hati-hati ya. Kita etidak tahu apa isinya. Bisa saja itu sesuatu yang sensitif.”

Kanya mengangguk paham, lalu meletakkan laptopnya di pangkuan. Dia belum langsung membuka file, merasa perlu mengatur napasnya terlebih dahulu. Ada perasaan tidak nyaman yang mulai merayap ke dalam dirinya—perasaan bahwa apa pun yang tersembunyi di kartu memori itu bisa membawa masalah baru. Tapi, dia tahu ini adalah satu-satunya petunjuk yang mereka miliki sekarang.

Sementara Kanya mempersiapkan dirinya untuk memeriksa file tersebut, Rakan berdiri dan merogoh sakunya. Ia mengambil handphonenya, menatap layar untuk beberapa saat sebelum memutuskan untuk pergi keluar.

“Kamu tidak apa-apa kan kalau sendirian di sini?” kata Rakan masih berdiri seakan mau beranjak.

“Iya, tidak masalah,” Kanya menjawab.

“Aku keluar sebentar ya, kalau ada apa-apa, langsung panggil saja.” katanya sambil menunjuk pintu depan rumah sakit.

“Pasti,” Kanya menjawab singkat. Rakan mengangguk kecil sebelum melangkah pergi, meninggalkan lorong yang mulai terasa lebih sepi dari sebelumnya.

Rakan melangkah keluar dari pintu rumah sakit, angin malam yang sejuk menyambutnya ketika ia menekan tombol panggil di handphonenya. Suara dering terdengar sebentar sebelum akhirnya terhubung. Suara lembut dari seberang sana menyapanya dengan penuh kasih, membuat bahu Rakan sedikit mengendur.

"Halo, Sayang?" suara istrinya terdengar.

Seketika itu juga, ketegangan yang menumpuk di dalam diri Rakan selama seharian penuh sedikit menguap. Senyuman kecil muncul di wajahnya, meskipun lelah masih tampak jelas di matanya. Ia mengubah panggilan suara menjadi panggilan video, ingin melihat wajah istrinya yang selama ini selalu memberikan rasa tenang dalam situasi seberat apa pun.

Wajah istrinya muncul di layar, senyum hangatnya menyambutnya. Cahaya di ruangan tempat ia berada tampak temaram, mungkin sudah larut di rumah mereka. Namun, meskipun kelelahan juga terlihat di wajahnya, ia tetap tersenyum lembut kepada Rakan.

"Sayang, kamu kelihatan capek sekali," ucap istrinya sambil mengerutkan dahi. "Gimana hari ini? Ada perkembangan?"

Rakan menarik napas panjang sebelum menjawab, "Capek banget. Masih belum ada kabar tentang Titin... dan sekarang masalah makin rumit dengan konferensi pers dari perusahaan. Mereka mulai menyerang kita di media."

Istrinya menatapnya dengan cemas. "Aku dengar sedikit tentang itu. Kamu baik-baik aja kan? Jangan terlalu memaksakan diri, Sayang. Aku tahu kamu selalu ingin bantu sebisa mungkin, tapi jangan sampai lupa istirahat."

Rakan tersenyum kecil, meskipun kepalanya terasa berat dengan segala pikiran yang menumpuk. "Aku tahu... tapi susah buat etidak mikirin semua ini. Rasanya banyak banget yang harus diselesaikan. Tadi aku sudah rapat online sama Kanya, minta anggota komunitas buat bantu cari informasi... tapi kita masih belum dapat petunjuk yang jelas."

Istrinya mengangguk pelan, memperlihatkan wajah penuh pengertian. "Aku paham, Sayang. Tapi kamu harus ingat juga kalau kamu etidak bisa selesaikan semuanya sendirian. Kamu udah bekerja keras. Sekarang mungkin saatnya buat istirahat sebentar. Aku etidak mau kamu jatuh sakit sementara kondisinya lagi jauh dari kami."

Rakan terdiam sesaat, menatap layar dengan tatapan lembut. Istrinya selalu tahu cara menenangkannya, memberikan nasihat tepat saat dia membutuhkan. Ia merasa bersyukur memiliki seseorang yang begitu memahami bebannya, meski mereka terpisah jarak.

"Kamu pasti kangen ya?" ucap istrinya, sambil tertawa kecil, berusaha meringankan suasana. "Nanti pulang, kita habiskan waktu bareng. Mungkin kita bisa liburan, sekalian kamu rehat."

Rakan tertawa kecil, meskipun hatinya masih berat dengan segala masalah yang melingkupi hari-harinya. "Pasti, aku kangen banget. Rasanya udah lama banget etidak pulang, padahal baru tiga hari."

Mereka berbicara sejenak tentang hal-hal ringan—tentang rumah, tentang rencana yang mungkin dilakukan setelah semua ini selesai. Percakapan yang sederhana namun mampu membuat Rakan merasa sedikit lebih tenang. Seolah-olah, meskipun dunia di sekitarnya penuh dengan kekacauan, ada satu tempat yang tetap memberikan ketenangan dan kehangatan, yaitu keluarganya.

Namun, setelah beberapa saat, suara dari handphonenya kembali mengingatkan Rakan akan kenyataan pahit yang harus dihadapinya.

"Aku dengar kabar di media sosial. Orang-orang mulai menghujat narasumber kalian yang namanya Jati. Apa benar dia diserang seperti itu?" tanya istrinya dengan nada khawatir. "Kamu masih bareng dia kan sekarang?"

Rakan mendesah panjang, beban itu kembali merayap ke pundaknya. "Iya, benar. Mereka bahkan fitnahnya seperti itu... sakit jiwa, hanya karena profesinya sebagai pemulung. Jati baru saja tahu soal ini, dia sedih tapi sekarang sudah lumayan tenang."

Istrinya tampak cemas di layar. "Kasihan sekali Jati. Kamu harus pastikan dia baik-baik saja, ya, Mas. Semoga dia etidak terpengaruh sama fitnah itu."

Rakan mengangguk pelan. "Iya, aku akan segera cek keadaannya lagi setelah ini."

Masih terhubung dalam panggilan video dengan istrinya, namun kali ini senyumnya lebih lebar Rakan bertanya, "Bagaimana kabar anak-anak? Dia sudah tidur belum?"

Istrinya tersenyum, sedikit menggeleng. "Belum, nih. Dia masih main-main di kamar, kayaknya susah tidur malam ini. Tunggu sebentar ya, aku panggilin."

Suara langkah-langkah kecil terdengar dari speaker ponselnya, dan beberapa saat kemudian, layar berganti wajah ceria dua anak laki-laki kecil, yang langsung menyapanya dengan antusias, "Ayah!"

Rakan tersenyum lebar, perasaan hangat menjalar di dadanya begitu mendengar panggilan ceria itu. "Halo, Nak! Kalian lagi apa, belum tidur juga?"

Kedua anaknya, yang terlihat masih mengenakan piyama bergambar hewan-hewan lucu, menggoyang-goyangkan tubuhnya di depan kamera, memperlihatkan boneka kesayangannya. Anaknya yang lebih tua menjawab, "Kita lagi main sama Boneka Gajah, Ayah. Dia etidak mau tidur juga!"

Rakan tertawa kecil, matanya melembut saat menatap wajah polos anaknya. "Oh, jadi Boneka Gajah-nya yang etidak mau tidur? Hmm... mungkin karena kamu belum cerita dongeng buat dia, ya?"

Si paling kecil, seakan paham dengan pertanyaan ayahnya, mengangguk semangat padahal hanya mengikuti kakaknya yang lebih dulu mengangguk, mata sang kakak berbinar penuh kegembiraan. "Iya! Ayah, cerita dong! Cerita buat aku dan Boneka Gajah!"

Rakan menatap istrinya yang juga tertawa kecil di sudut layar, sebelum kembali fokus pada anaknya. "Oke, Ayah ceritain ya. Tapi habis itu kalian harus tidur, setuju?"

Kedua anaknya tersenyum lebar, mengulang anggukan yang sama dengan heboh. "Setuju, Ayah!"

Rakan mulai menceritakan sebuah kisah pendek tentang seekor gajah kecil yang berani menyeberangi sungai besar untuk menemukan padang rumput hijau yang lebih luas. Kisah itu dipenuhi dengan petualangan sederhana, namun dalam cerita tersebut, Rakan menyisipkan pesan-pesan penting tentang keberanian dan persahabatan.

Anaknya yang sudah besar mendengarkan dengan mata besar yang terfokus, sesekali mengangguk atau mengajukan pertanyaan dengan suara polosnya. "Kenapa gajah kecilnya etidak takut, Ayah? Padahal sungainya besar!"

Rakan menjawab dengan sabar, suaranya lembut, penuh kasih sayang. "Karena dia percaya kalau dia bisa melakukannya. Kadang, kalau kita percaya pada diri sendiri, hal-hal yang sulit jadi kelihatan lebih mudah."

Waktu terasa berjalan lambat saat Rakan melanjutkan kisahnya, dengan sesekali diselingi oleh tawa kecil dari anaknya yang senang mendengar petualangan gajah kecil tersebut. Setiap kata yang Rakan ucapkan terasa seperti momen-momen berharga yang menghubungkan dirinya dengan anaknya, meskipun mereka dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh.

Setelah beberapa menit, Rakan menyelesaikan ceritanya dengan lembut, memastikan kisahnya berakhir dengan bahagia. "Dan akhirnya, gajah kecil itu berhasil menemukan padang rumput hijau. Dia bermain bersama teman-temannya dan tidur nyenyak di bawah bintang-bintang."

Anaknya tersenyum lebar, mata kecilnya mulai tampak lelah. "Wah, gajahnya hebat, Ayah! Aku juga mau tidur kayak gajah kecil."

Anak bungsu Rakan sudah tertidur pulas lebih dulu dan sudah tidak terlihat lagi di layar ponsel Rakan.

Rakan tersenyum, merasa lega bahwa cerita itu telah membantu menenangkan anaknya. "Nah, kalau begitu, sekarang waktunya kamu juga tidur, ya? Boneka Gajahnya sudah tidur kan?"

Anaknya mengangguk lagi, matanya mulai mengantuk. "Iya, Ayah. Aku mau tidur. Tapi... kapan Ayah pulang?"

Pertanyaan itu membuat Rakan terdiam sesaat, dadanya terasa berat. "Masih ada yang harus Ayah bereskan di sini, Nak. Tapi Ayah janji, begitu semuanya selesai, Ayah akan pulang dan kita bisa main-main lagi, oke?"

Anaknya menatapnya dengan wajah polos penuh pengertian. "Janji ya, Ayah?"

Rakan tersenyum lembut. "Janji."

Setelah itu, istrinya kembali muncul di layar, memeluk anak mereka yang kini sudah lebih tenang dan siap tidur. "Kayaknya dia bakal tidur nyenyak sekarang, Sayang. Terima kasih udah ceritain dongeng buat mereka."

Rakan tersenyum. "Sama-sama. Aku juga senang bisa ngobrol sama mereka."

Istrinya menatapnya dengan penuh kasih. "Kamu baik-baik aja, kan? Etidak apa-apa kalau kamu mau cerita lebih banyak ke aku, kalau kamu butuh."

Rakan mendesah pelan, memalingkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatap layar. "Ada banyak yang terjadi... tapi aku etidak mau ngebebanin kamu dengan semua masalah ini. Yang penting kalian baik-baik saja di rumah."

Istrinya tersenyum kecil, matanya melembut. "Kami baik-baik saja, tapi jangan lupa jaga dirimu sendiri, Sayang. Kamu juga butuh dukungan."

Rakan mengangguk, perasaan campur aduk memenuhi pikirannya. "Aku tahu. Aku akan jaga diriku, aku janji."

Mereka berbicara sedikit lebih lama tentang hal-hal kecil—tentang rumah, tentang anak-anak mereka, tentang hal-hal ringan yang meski sederhana, mampu menenangkan hati Rakan yang sedang penuh dengan beban pikiran. Hingga akhirnya, mereka saling mengucapkan selamat malam dan memutus panggilan video.

Setelah panggilan berakhir, Rakan menarik napas panjang dan menatap layar ponselnya yang kini kosong. Keheningan malam yang sepi kembali menyelimuti sekelilingnya, dan ia tahu, meskipun sebentar tadi ia merasa lega, masih banyak hal yang harus diselesaikan.

Perasaan hampa dan cemas masih menguasai pikirannya, tapi setidaknya sekarang, ia merasa sedikit lebih kuat dan siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya. Rakan berdiri dan menatap langit malam di luar rumah sakit.

Rakan hendak masuk kembali ke dalam rumah sakit, langkahnya perlahan, namun tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

Rakan mengerutkan dahi, menatap layar sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Halo, Rakan di sini."

Dari seberang telepon, suara formal terdengar, berwibawa tapi tak tergesa-gesa. "Selamat malam, Pak Rakan. Saya dari kepolisian. Ada perkembangan terbaru terkait laporan yang Anda buat. Kami butuh Anda untuk segera menuju ke lokasi kami. Sekarang!."

Langkah Rakan tiba-tiba melambat, tapi hatinya berdetak cepat. "Perkembangan? Apa ini tentang Titin?"

Suara polisi di seberang menanggapi dengan hati-hati. "Kami tidak bisa menjelaskan detailnya di telepon, tapi kami menemukan sesuatu yang mungkin relevan dengan kasus ini. Kami akan mengirimkan alamatnya melalui pesan, dan kami harap Anda bisa datang sesegera mungkin."

Rakan merasa dadanya kian berat. Sejenak, ia berpikir untuk berhenti dan meresapi apa yang baru saja didengarnya. Tapi, ia memilih untuk mempercepat langkahnya menuju pintu rumah sakit. "Baik, saya akan segera ke sana."

Telepon diputus. Detik berikutnya, pesan singkat berisi alamat lokasi yang dimaksud langsung masuk ke ponselnya. Rakan menatapnya sekilas sebelum mempercepat langkah lagi, kali ini menuju ruang tempat Kanya berada. Semakin ia melangkah cepat, semakin banyak pertanyaan berputar dalam kepalanya—apa yang ditemukan polisi? Apakah ini benar-benar tentang Titin? Dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya?

Sesampainya di ruangan tempat Kanya berada, ia menemukannya tengah duduk di samping meja, wajahnya tampak serius menatap layar laptop. Kanya masih fokus memeriksa isi beberapa kartu memori tadi, tetapi begitu Rakan memasuki ruangan, ia langsung menyadari kehadirannya.

"Rakan, kartu... Tunggu, ada apa?" tanya Kanya, melihat ekspresi serius di wajah Rakan.

Rakan tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. "Baru saja aku dapat telepon dari pihak kepolisian. Ada perkembangan terkait kasus Titin, dan aku diminta datang ke sebuah tempat."

Kanya terkejut, matanya melebar sedikit. "Perkembangan? Apakah mereka bilang sesuatu yang spesifik?"

Rakan menggeleng pelan, tampak ragu. "Mereka tidak memberitahu detailnya. Aku cuma dikasih alamat dan diminta datang sekarang juga."

Kanya terdiam sejenak, wajahnya penuh pertimbangan. "Apakah kamu yakin mau pergi sendiri? Bisa saja berbahaya, apalagi kalau ini berkaitan dengan perusahaan itu."

Rakan mengangguk, wajahnya penuh tekad. "Aku harus tahu apa yang mereka temukan. Ini mungkin petunjuk penting."

"Jati sedang tidur, jadi dia tidak bisa ikut." kata Kanya terasa melegakan bagi Rakan yang tadi khawatir kondisi Jati.

"Hubungi Indra dan minta dia susul aku ke lokasi, ini yang kukirimkan. Sekalian tolong pesankan taksi online untukku sekarang," perintah Rakan pada Kanya.

Kanya berdiri dari tempat duduknya, masih tampak cemas. "Baik, kalau begitu hati-hati. Jangan terlalu gegabah, dan laporkan padaku begitu kamu tahu sesuatu."

Rakan tersenyum tipis, meski ekspresinya masih tegang. "Tentu. Kamu jaga Jati dan neneknya di sini, dan teruskan memeriksa file-file di kartu memori itu. Aku akan segera kembali setelah tahu apa yang terjadi."

Tanpa banyak bicara lagi, Rakan segera melangkah keluar ruangan. Langkah kakinya kini lebih cepat, seolah setiap detik terasa kian mendesak. Rakan melangkah cepat keluar dari rumah sakit, udara malam yang dingin membelai kulitnya. Sesaat ia menoleh ke belakang, memastikan Kanya akan baik-baik saja di sana. Meski ketidakpastian menghantui benaknya, ada satu hal yang pasti: dia tak akan berhenti mencari sampai kebenaran tentang Titin terungkap.

Sesampainya di luar, langkah kaki Rakan makin cepat saat ia mencapai area parkiran rumah sakit. Pikirannya penuh dengan pertanyaan, tapi ia tak punya waktu untuk memikirkannya lebih dalam sekarang. Taksi daring pesanan Kanya datang dengan cepat, dan Rakan masuk ke dalam, duduk di kursi belakang, menatap kosong keluar jendela sementara mobil mulai melaju menuju alamat yang diberikan polisi. Alamat yang ternyata terletak di bagian lain kota, agak jauh dari rumah sakit.

Perjalanan itu terasa begitu panjang, bukan hanya karena jarak sebenarnya yang jauh, melainkan karena setiap detik yang berlalu membuat Rakan makin gelisah. Ia terus memikirkan Titin. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat dan cerdas bisa menghilang begitu saja? Dan sekarang, ada informasi baru dari pihak kepolisian. Apakah ini benar-benar petunjuk yang akan mengungkapkan apa yang terjadi pada Titin, atau hanya ilusi lain yang akan membawa mereka lebih jauh dari kebenaran?

Telepon genggam Rakan bergetar di sakunya, namun ia enggan memeriksanya sekarang. Fokusnya sepenuhnya tertuju pada tempat yang dituju. Pikiran-pikiran berputar dalam kepalanya—apakah polisi menemukan petunjuk dari pihak perusahaan yang mereka curigai? Atau, lebih buruk lagi, apakah ada yang terlibat lebih dalam dari yang mereka bayangkan?

Mobil terus melaju melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu jalan berkelip pelan, menciptakan bayangan panjang yang menari di sisi-sisi jalan. Rakan memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang mulai bergejolak. Namun, bayangan Titin terus hadir di benaknya. Senyuman terakhir yang ia ingat darinya, semangatnya saat membicarakan lingkungan dan investigasi yang sedang ia kerjakan.

"Kita sudah hampir sampai, Pak," suara sopir taksi daring memecah keheningan.

Rakan mengangguk, membuka matanya dan melihat ke depan. Lampu-lampu di depan tampak lebih terang, menandakan mereka hampir tiba di lokasi. Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan bangunan tua yang terlihat sunyi, hampir tersembunyi di antara gedung-gedung lain di sekitarnya.

"Terima kasih," ucap Rakan sambil keluar dari mobil. Suasana di tempat itu terasa dingin dan menekan, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia memandang sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan polisi atau orang yang akan menemuinya.

Langkah kakinya terdengar jelas di jalanan yang sepi saat ia mendekati bangunan yang ditunjukkan di alamat. Di depan pintu, seorang pria dengan seragam polisi berdiri, menyapanya dengan anggukan kecil.

Lihat selengkapnya