LINGKUNG

Aiman Muin
Chapter #7

Tentang Tumpah Serapah!

RUMAH TITIN DI PUSAT JAKARTA selalu menjadi tempat favorit Indra kunjungi setiap ingin bersantai. Dari segi ukuran, rumahnya memang kecil, tapi terasa cukup bagi Titin yang tinggal sendiri. Hanya saja setiap Indra datang, rumahnya langsung terasa sumpek. Membuka jendela pun percuma karena udara yang masuk sama sekali tidak menyegarkan. Polusi dari kendaraan yang berderu di bawahnya justru membawa lebih banyak panas daripada kesejukan. Indra mengeluh, tubuhnya bersandar lesu ke sofa sementara keringat perlahan membasahi dahinya.

"Jakarta makin tidak masuk akal panasnya, Tin," katanya sambil melambaikan tangannya, mencoba mengusir rasa gerah. "Sudah polusi, panas, belum lagi macet tiap hari. Rasanya ingin sekali kabur dari sini sejenak."

Titin, yang duduk di dekat meja kecil dengan laptop terbuka di depannya, hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Jari-jarinya masih sibuk mengetik, fokus pada tulisan yang sedang ia susun.

Indra meneguk air mineral dari botol yang baru saja ia buka, lalu meletakkannya kembali di meja. "Bagaimana kalau kita liburan ke Solo?" usulnya dengan nada lebih ringan, berusaha mencairkan suasana. "Aku lagi rindu kampung halamanku. Di sana udaranya masih seger, tenang. Kita bisa istirahat sebentar, jauh dari polusi dan hiruk-pikuk ini."

Mendengar kata "liburan", Titin akhirnya berhenti mengetik, namun ekspresi di wajahnya tidak menunjukkan ketertarikan. Alih-alih menganggap serius usulan Indra, ia hanya menatap layar dengan tatapan kosong, lalu menghela napas panjang. Seolah-olah beban pikirannya jauh lebih berat daripada sekadar rasa gerah di Jakarta.

"Aku lagi sibuk, Ndra," jawabnya singkat, tanpa menoleh. Suaranya datar, tidak ada antusiasme sedikit pun.

Indra mengerutkan kening. "Sibuk? Tapi kapan kamu tidak sibuk? Aku mengerti pekerjaan kamu penting, tapi kita juga perlu waktu buat diri kita sendiri. Masa akhir pekan masih tetap kerja juga?"

"Aku sudah bilang, aku lagi ada laporan investigasi yang harus selesai," jawab Titin dengan nada yang lebih tegas, kali ini menoleh ke arahnya. "Dan ini tidak bisa aku tunda. Liburan bisa nanti, tapi kerjaan ini harus selesai segera."

Indra menatapnya dengan rasa frustrasi yang perlahan mengembang di dadanya. Sudah berapa lama dia merasa seolah kehilangan bagian dari Titin? Wanita yang dulu selalu hangat dan perhatian, sekarang seolah lebih jauh, terjebak dalam dunianya sendiri.

"Kamu berubah, Tin," gumam Indra pelan, meskipun suaranya tetap terdengar jelas dalam keheningan ruangan. "Dulu kamu selalu bisa seimbang antara kerjaan dan kehidupan pribadi. Sekarang kamu kayaknya cuma peduli sama kerjaan, sama investigasi, sama…"

Titin mendadak menghentikan aktivitasnya. Tatapannya yang semula dingin berubah, kini ada kilatan sinis yang muncul dalam matanya. Ia menutup laptopnya dengan bunyi yang sedikit lebih keras dari yang diharapkan, lalu berbalik menatap Indra.

"Apa maksud kamu?"

Titin menatap tajam ke arah Indra, kemarahannya mulai memuncak. Kedua tangan yang semula ada di pangkuannya kini dikepalkan erat, seolah menahan sesuatu yang sudah lama mengganjal di hatinya.

Indra tersentak, tak siap dengan perubahan drastis dalam nada suara Titin. Dia terdiam sejenak, tidak tahu harus merespons bagaimana. Namun sebelum sempat berkata apa pun, Titin melanjutkan dengan nada yang semakin tajam.

"Siapa yang berubah?" Tatapannya tidak lagi kosong, kini penuh kemarahan. "Kamu sendiri yang berubah, Ndra. Kamu yang tidak pernah jujur dari awal."

Indra mengerutkan kening, bingung dengan arah pembicaraan ini. "Kamu bahas apa sih, Tin?" tanyanya hati-hati, masih mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.

Titin berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan ke arah jendela, membelakangi Indra. "Kamu tidak pernah cerita soal perjodohan kamu?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit bergetar. "Dan ternyata kamu mengaku masih jomlo ke orang lain. Begitu?"

Indra merasa seluruh tubuhnya seakan disambar petir. "Apa?" katanya, matanya melebar karena terkejut. Dia benar-benar tidak mengerti bagaimana Titin tahu soal itu.

"Perempuan yang mau dijodohkan dengan kamu," lanjut Titin, masih membelakangi Indra, "Kanya, Ndra, sahabatku sendiri."

Detik itu juga, darah di wajah Indra terasa surut. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak pernah mengira Titin akan mengetahui hal itu, apalagi secepat ini. Dan yang lebih buruk, perempuan, anak atasannya, yang akan dijodohkan dengannya ternyata Kanya, sahabat Titin dari pacarnya. Semua itu membuat situasinya jauh lebih buruk dari yang dia kira.

"Tin… Aku tidak tahu... Aku tidak tahu kalau itu Kanya," kata Indra dengan nada panik, berusaha memperbaiki situasi yang sudah semakin memburuk. "Aku sumpah, aku tidak tahu kalau dia sahabat kamu."

Titin berbalik dengan cepat, ekspresinya sudah tak bisa lagi disembunyikan. "Bukan itu masalahnya, Indra!" Suaranya nyaring, menggema di ruangan. "Masalahnya, kamu tidak pernah cerita ke aku! Kalau saja kamu tidak mengaku jomlo juga, rencana perjodohan itu tidak bakal terjadi."

Indra terdiam, gelagapan. "Aku belum sepenuhnya setuju dengan perjodohan itu, Tin. Kebetulan ibunya Kanya itu salah satu bos aku di kantor. Aku merasa susah untuk menolak."

"Kenapa kamu tidak bilang dari awal? Kenapa kamu biarkan aku bertanya-tanya?" Suara Titin bergetar, emosinya kini benar-benar meluap. "Aku selalu tanya ke kamu soal ini, tapi kamu selalu menghindar. Sekarang aku baru tahu, ternyata kamu menutupi semuanya."

Indra menundukkan kepala, merasa terpojok. "Aku tidak tahu harus ngomong apa waktu itu, Tin. Aku tidak mau kamu salah paham. Aku tidak mau kehilangan kamu."

Titin tertawa sinis, nadanya penuh sarkasme. "Kamu tidak mau kehilangan aku? Kamu justru udah bikin aku merasa hilang, Ndra. Aku pikir kita selalu bisa jujur satu sama lain, tapi ternyata kamu tidak lebih baik dari yang lain."

Indra mencoba maju mendekati Titin, tetapi dia mengangkat tangan, menandakan agar dia berhenti. "Titin, dengerin aku dulu. Aku minta maaf. Aku serius. Aku tidak pernah berpikir buat terima perjodohan itu. Aku pasti pilih kamu."

Titin memutar matanya, tak bisa lagi menahan kekesalannya. "Setelah semua ini, kamu masih bilang kalau kamu pilih aku? Kamu tidak pernah mikirin perasaan aku selama ini, Ndra."

Titin menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, namun emosi yang menggelayut di dalam dadanya terlalu kuat untuk diabaikan. Dia melirik Indra, yang masih berdiri tak jauh darinya, wajahnya penuh dengan rasa bersalah.

 

"Aku sadar sejak awal, hubungan kita ini tidak baik untuk dilanjutkan," Titin membuka suaranya, nada bicaranya mulai melunak, tetapi amarah masih terdengar jelas. "Kita sama-sama tahu, Ndra, bahwa semuanya berawal dari urusan pekerjaan."

Indra mendengarkan, tubuhnya sedikit tegang, dia tahu ini akan menjadi pembicaraan yang sulit.

"Kamu ingat?" lanjut Titin. "Kamu dulu cuma perwakilan dari perusahaanmu, dan aku hanya seorang jurnalis yang butuh akses untuk investigasi." Dia tertawa getir, mengenang masa-masa awal mereka. "Awalnya, semua itu cuma urusan profesional. Aku butuh informasi, dan kamu butuh publikasi positif. Kita menjalin hubungan karena ada keuntungan di baliknya."

Indra hanya bisa diam, matanya mengikuti setiap gerakan Titin yang kini kembali duduk di kursi, menatap kosong ke depan. Dia tahu Titin sedang membuka luka lama, dan ia merasa semakin terpojok.

"Tapi perlahan...," Titin melanjutkan, suaranya mulai bergetar lagi, "perasaan kita berubah. Aku mulai merasa ada yang lebih dari sekadar pekerjaan di antara kita. Kamu juga, aku tahu kamu merasakan hal yang sama."

Indra mengangguk, matanya sendu. "Iya, Tin. Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu. Ini bukan soal pekerjaan lagi."

Titin tertawa, kali ini lebih dingin. "Cinta, ya? Tapi ternyata, seiring waktu, kamu tetap memilih untuk tidak jujur padaku."

Indra menghela napas, menundukkan kepala, merasa bersalah. "Aku memang salah, Tin. Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak pernah main-main soal perasaan ini. Aku benar-benar cinta sama kamu, dan aku tidak mau kehilangan kamu."

Titin menatapnya dalam, matanya penuh dengan campuran emosi—marah, kecewa, dan sedih. "Cinta, Ndra? Kalau memang cinta, kenapa kamu tidak bisa jujur dari awal? Kamu tahu aku selalu menghargai kejujuran. Tapi kamu memilih untuk menutupi soal perjodohan itu."

"Aku takut, Tin," jawab Indra pelan, suaranya penuh penyesalan.

Indra mendekat, kali ini dia benar-benar tak ingin Titin merasa tersakiti lebih jauh. "Tin, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku janji, aku tidak akan menyembunyikan apa pun lagi. Aku cuma butuh kesempatan sekali lagi. Kita bisa perbaiki ini semua. Kita bisa mulai dari awal."

Titin menggeleng pelan, tatapannya kini penuh kesedihan. "Kesempatan?" Dia berhenti sejenak, menatap Indra dalam-dalam. "Kamu minta kesempatan padahal kamu tahu aku tidak suka disakiti. Dan kamu tahu... ini bukan pertama kalinya kamu menutupi sesuatu dari aku."

Indra merasa dadanya sesak. "Tin, aku tahu aku salah. Aku benar-benar menyesal. Tapi aku serius, aku tidak mau kehilangan kamu. Aku sayang sama kamu."

Indra ingin bicara, ingin mengatakan sesuatu untuk mengubah pikiran Titin, tapi kata-kata itu tak kunjung keluar. Sementara itu, Titin perlahan menghela napas panjang, seolah mencoba menguatkan diri untuk sesuatu yang sudah ia putuskan.

"Ndra...," Titin akhirnya membuka suara lagi, kali ini suaranya lebih tegas, seolah ia sudah menemukan ketenangan dalam dirinya. "Aku pikir... aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini."

Indra tertegun. Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. "Apa? Jangan, Tin. Tolong, jangan ambil keputusan ini sekarang. Kita bisa bicarakan lagi."

Titin menggeleng, dan kali ini dia terlihat mantap dengan keputusannya. "Aku udah terlalu banyak bertahan, Ndra. Aku tidak bisa terus menutup mata. Hubungan kita tidak sehat. Kamu selalu menutupi hal-hal penting dari aku, dan aku... Aku tidak bisa hidup dengan ketidakjujuran seperti ini."

"Tin, tunggu..." Indra mencoba mendekat, tapi kali ini Titin mengangkat tangan, menahannya.

"Ndra, aku capek," kata Titin, suaranya rendah, tapi jelas. "Aku udah terlalu sering terluka, dan kali ini... aku harus berhenti. Kita... tidak bisa lanjut lagi."

---

Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasinya yang tengah memasukkan barang-barang terakhir ke dalam ranselnya. Ia menarik napas dalam, sedikit berharap bahwa itu bukan Indra, tetapi nalurinya tahu lebih baik. Dengan berat hati, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Benar saja, di depan pintu berdiri Indra, dengan wajah serius namun penuh harap.

"Titin, kita bisa bicara sebentar?" Indra bertanya pelan, nadanya lembut tapi memohon. Mata mereka bertemu, dan di sana ada banyak hal yang belum terucap.

Titin hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya ia tahu ini bukan percakapan yang ia inginkan saat ini. Indra masuk, dan mereka berdua berdiri di ruang tamu kecil apartemen itu, suasana canggung seakan memenuhi ruangan.

"Titin, aku minta maaf," Indra memulai, matanya terlihat lelah, seperti telah memikirkan ini berulang kali sepanjang malam. "Aku tahu kita sempat ada masalah, tapi aku masih cinta sama kamu. Aku tidak mau kita berakhir kayak gini."

Titin menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang kembali gelisah. "Indra, kita udah bicarain ini," jawabnya, suaranya datar tapi tegas. "Aku tidak bisa lagi."

Indra menggigit bibirnya, merasa tidak puas dengan jawaban itu. "Tapi... aku masih ingin kita bersama, Tin. Aku tahu aku udah buat kesalahan, tapi aku beneran nyesel. Aku tidak peduli soal semua itu sekarang. Aku cuma mau kamu balik lagi."

Titin menatap Indra, matanya mulai memanas. "Balik lagi?" gumamnya. "Kamu ngomong seolah-olah tidak ada apa-apa yang berubah. Padahal semuanya udah beda, Ndra."

Indra mengerutkan dahi, kebingungan. "Maksud kamu apa?"

Titin menarik napas dalam, merasa ini saatnya untuk jujur. "Aku... aku dipecat, Ndra," katanya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar. "Aku tidak lagi kerja di media tempat aku dulu bekerja."

Indra terkejut, seakan pukulan besar baru saja menghantamnya. "Dipecat?" ulangnya, hampir tidak percaya. "Kenapa kamu tidak bilang?"

Titin tertawa kecil, getir. "Karena kira tidak ada hubungan lagi. Aku dipecat tanpa alasan jelas. Dan sekarang... kamu tidak bisa lagi berharap ada keuntungan dariku. Aku udah bukan siapa-siapa di sana."

Indra terdiam, merasa semua perhitungan yang ada di kepalanya berantakan. Namun, tatapannya kembali mantap saat ia berkata, "Aku tidak peduli soal itu, Tin. Aku tidak peduli kamu kerja di mana atau kamu dipecat. Aku cuma peduli sama kita. Aku masih mau kamu, aku masih cinta."

Titin menatap Indra dengan pandangan yang lelah. "Ndra, kamu tidak ngerti, kan? Aku tidak bisa lagi terus-terusan hidup dalam bayangan ini. Aku tidak bisa hidup denganmu sambil tahu bahwa kita mungkin tidak pernah benar-benar saling jujur. Kamu bilang kamu cinta, tapi ada banyak hal yang kamu sembunyikan dariku."

Indra meraih tangan Titin, mencoba menggenggamnya erat. "Tolong, Tin. Kita bisa mulai lagi dari awal. Aku janji, aku tidak akan sembunyikan apa pun lagi. Aku tidak peduli sama kerjaan, sama keuntungan, atau apa pun itu. Aku cuma mau kamu."

Titin menarik tangannya perlahan, menggeleng. "Ndra, aku harus pergi sekarang. Aku harus ke bandara. Aku punya pekerjaan yang harus diselesaikan."

Indra menggeleng keras, mulai panik. "Titin, tolong, jangan pergi. Kamu tidak tahu apa yang bakal kamu hadapi di sana. Di sana berbahaya. Kamu tahu gimana kondisi di Kalimantan, apalagi di daerah banjir kayak Sintang sekarang. Kamu jangan pergi ke sana."

Titin mendengus pelan, menatap Indra tajam. "Bahaya? Kamu pikir aku tidak tahu soal risiko ini? Ndra, ini pekerjaan aku. Aku harus melakukannya."

Indra mendekat, suaranya lebih keras, hampir mendesak. "Aku tahu kamu keras kepala, tapi ini tidak main-main, Tin. Kamu bisa hilang di sana, kamu bisa terluka. Aku tidak bisa biarin kamu pergi sendirian. Tolong, dengar aku kali ini. Jangan pergi."

Titin berdiri tegak, suaranya dingin dan tegas. "Kamu tidak bisa halangin aku, Ndra. Ini keputusan aku. Aku harus pergi, dan kamu harus biarin aku melakukan apa yang memang harus aku lakukan."

Indra masih berdiri di tempatnya, terdiam, wajahnya penuh dengan rasa takut dan penyesalan. Dia tahu dia tidak bisa memaksa, tapi hatinya menolak untuk menyerah. "Tin, tolong...," bisiknya sekali lagi, hampir seperti doa.

Lihat selengkapnya