Sendirian, Kanya duduk di kursi tunggu rumah sakit, matanya sesekali melirik ke arah pintu ruang perawatan Jati dan neneknya. Hatinya masih berat, ragu apakah ia harus menghubungi Indra sesuai arahan Rakan sebelumnya.
Rakan telah pergi lima menit ke lokasi yang polisi minta untuk mendapatkan kabar terbaru mengenai hilangnya Titin. Rakan memintanya untuk menemani Jati sementara ia Kanya merasa terjepit di antara rasa tanggung jawab dan keinginannya untuk segera mengetahui perkembangan situasi.
Akhirnya, setelah lama menimbang-nimbang, Kanya memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada Indra. Dengan jari gemetar, ia mengetik lokasi Rakan untuk dikirim ke Indra. Kanya berharap, setidaknya Indra bisa segera menyusul Rakan, karena mungkin butuh dukungan tambahan.
Tak lama setelah pesan terkirim, pintu rumah sakit berderit pelan, membuat Kanya menoleh. Mata Kanya melebar saat melihat sosok Indra memasuki ruangan dengan langkah tergesa. Namun, yang mengejutkannya, Indra tidak tampak berminat untuk menyusul Rakan seperti yang ia harapkan. Sebaliknya, Indra datang langsung menghampirinya dengan wajah yang tampak serius.
“Indra?” Kanya bertanya dengan nada heran.
“Aku datang untuk jemput kamu,” jawab Indra dengan singkat, tanpa banyak basa-basi.
Kanya mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya. "Jemput aku? Ke mana?" Kanya merasa ada sesuatu yang janggal dari tatapan mata Indra yang dingin dan caranya berbicara yang terkesan terburu-buru.
“Kita harus pergi sekarang,” ucap Indra sambil meraih lengan Kanya. “Jangan tanya apa-apa. Ini mendesak.”
Tangan Indra terasa kasar, terlalu kuat ketika menarik lengan Kanya, seolah ia tidak ingin memberikan kesempatan bagi Kanya untuk menolak. Kanya tersentak, hatinya berdegup lebih cepat. Ada perasaan tidak nyaman yang menyusup ke dalam dadanya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
"Indra, tunggu. Aku tak bisa tinggalkan Jati dan neneknya di sini. Mereka sedang butuh kita." Kanya mencoba menolak dengan lembut, menarik tangannya dari cengkeraman Indra.
Namun, Indra tak mengendurkan pegangannya. Sebaliknya, dia semakin keras menarik Kanya ke arah pintu keluar. "Tidak ada waktu, Kanya. Kita harus pergi sekarang. Ini soal nyawa."
“Nyawa? Apa maksud kamu?” Kanya bertanya dengan panik, tetapi Indra tidak memberikan penjelasan. Tangan Kanya semakin erat digenggam, membuatnya merasa semakin terjebak dalam situasi yang tidak dia pahami. Mata Kanya menyapu sekeliling ruangan, berharap ada seseorang yang memperhatikan, tapi lorong rumah sakit sudah sangat sepi karena sebentar lagi tengah malam.
“Indra, kamu tak boleh seenaknya begini! Aku tak mau pergi,” Kanya mencoba memberontak, tetapi tenaga Indra jauh lebih kuat. Setiap kali ia mencoba melepaskan diri, genggaman Indra semakin keras, semakin membuatnya merasa terkunci.
"Aku bilang jangan tanya apa-apa!" suara Indra meledak. Sorot matanya yang biasanya hangat kini berubah tajam dan penuh otoritas, tidak memberi ruang bagi perdebatan.
Kanya mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketidaknyamanan. Ada rasa takut yang menjalar di punggungnya, merambat hingga ke seluruh tubuhnya. "Indra, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu kayak gini?" Kanya mengeraskan suaranya, mencoba mencari jawaban dari Indra, tetapi tidak ada penjelasan apa pun.
Indra terus menyeretnya keluar dari ruangan, membuat Kanya hampir terjatuh beberapa kali. Hatinya berdegup kencang. Kanya merasa ada sesuatu yang salah, sangat salah. Ia tidak pernah melihat Indra bersikap seperti ini sebelumnya.
Mereka tiba di depan rumah sakit, dan Indra segera memaksa Kanya masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir. Pintu mobil terbuka lebar, dan Indra mencoba mendorong Kanya masuk, tetapi Kanya menahan diri, menempelkan punggungnya ke mobil, menolak masuk. Kanya tahu, jika ia masuk ke mobil ini, ada sesuatu yang mungkin tak akan bisa ia hentikan.
"Indra, hentikan!" Kanya memohon, dengan napas tersengal dan air mata mulai menggenang di matanya.
Indra hanya diam sejenak, wajahnya tampak bimbang, tetapi kemudian ia kembali mendekatkan dirinya ke Kanya. "Kanya, tolong ikut aku. Aku tak mau terjadi sesuatu ke kamu." Indra berkata dengan suara yang lebih lembut, tetapi Kanya bisa merasakan tekanan yang masih sangat kuat di balik kata-kata itu.
Kanya menatap Indra dengan bingung, masih mencoba mengumpulkan informasi dari situasi yang membingungkan ini. Di dalam hatinya, ada firasat buruk yang semakin membesar, tetapi ia tidak tahu dari mana datangnya perasaan itu.
Dan di tengah kebingungannya, tiba-tiba Kanya ingat sesuatu. Sesuatu tentang pesan yang sempat ia kirimkan ke Indra tadi. Kanya menatap Indra dengan curiga. Bagaimana bisa Indra datang ke rumah sakit ini, padahal ia sudah mengirimkan lokasi Rakan ke kantor polisi?
“Indra, kamu bisa jelaskan ke mana kita pergi?” Kanya memberontak, melepaskan sabuk pengaman dengan cepat, seolah gerakan itu bisa mengurangi tekanan yang dia rasakan di dadanya.
“Kita ke bandara,” jawab Indra tanpa menoleh, pandangannya tetap fokus ke jalan.
“Ke bandara? Kenapa? Aku tak mau pulang. Aku harus cari tahu apa yang terjadi dengan Rakan! Kamu janji akan bantu kami!” Kanya mulai menaikkan nada suaranya, merasa dikhianati.
Indra masih terdiam. Tangannya mencengkeram setir dengan erat, rahangnya mengeras, menunjukkan ketegangan yang perlahan memuncak di antara mereka.
“Kamu tidak denger, ya?!” Kanya berteriak kali ini, marah karena tidak mendapat jawaban. “Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kamu maksa aku pergi? Rakan... Jati... kita tidak boleh tinggalkan mereka begitu saja!”
Indra akhirnya mendesah panjang, kemudian mengeraskan suaranya. “Aku disuruh sama ibu kamu, Kanya. Dia khawatir kamu di sini. Aku cuma menjalankan tugas.”
Kalimat itu membekukan Kanya. Dia menatap Indra, kaget sekaligus marah. Selama ini, dia merasa Indra adalah sosok yang bisa dia percayai—seseorang yang mendukung perjuangannya, seseorang yang peduli pada keselamatan orang lain. Tapi kenyataan sekarang seperti tamparan keras di wajahnya.
“Kamu serius? Semua ini cuma... karena ibu aku nyuruh kamu jemput aku pulang?” Kanya hampir tak bisa mempercayai kata-katanya sendiri.
Indra tidak menjawab, bibirnya rapat, wajahnya tetap tegang.
Kanya merasa seluruh kepercayaannya terhadap Indra runtuh. Ia mengepalkan tangan, amarah menyala di matanya. “Jadi semua yang kamu lakukan ini cuma karena kamu disuruh? Kamu tidak peduli sama Titin, sama Rakan, sama apa yang terjadi dengan mereka?”
Kanya menunggu jawaban, tetapi Indra tetap bungkam.
"Jawab aku, Indra! Apa kamu benar-benar tak peduli?" Suaranya nyaris histeris, tidak tahan lagi dengan semua kebisuan dan kejanggalan ini. Ia merasa seperti telah ditipu selama ini.
Akhirnya, Indra menghentikan mobil dengan tiba-tiba di area parkir yang terletak di belakang bandara. Ia menghela napas panjang dan menoleh ke Kanya dengan mata yang penuh beban, tetapi tidak ada kelembutan di sana. Hanya kemarahan dan frustrasi yang menumpuk. “Cukup, Kanya.”
Kanya tidak mundur, dia terus mendesak. "Kenapa kamu diam? Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu janji akan bantu kami mencari tahu apa yang terjadi dengan Titin!"
Emosi Indra meledak. Dia memukul setir keras-keras, membuat Kanya tersentak. “Titin sudah mati, Kanya! Usaha kita ini sia-sia! Semua ini takkan mengubah apa pun.”
Kanya terdiam sejenak. Suara Indra bergema di kepalanya, memantul-mantul seperti cermin yang pecah berkeping-keping. "Apa?" suaranya serak, hampir tidak bisa dia percayai. "Titin... mati?"
“Ya, dia mati. Dan kamu tahu apa? Itu karena dia terlalu keras kepala. Sama seperti kamu sekarang.” Mata Indra menatapnya dengan tajam, kemarahan terpendam yang selama ini ia tahan meletup begitu saja.
Kanya menggigil. Dadanya terasa hampa. “Jadi... semua ini... kamu tahu dari awal?” Air mata mulai mengalir di pipinya. “Kamu bohong. Kamu tahu tapi kamu tidak bilang apa-apa. Kamu biarkan kita mencari dia, kau biarkan aku berharap...”
Indra hanya mendengus, suaranya rendah dan kasar. “Karena tidak ada gunanya, Kanya! Semua usaha kalian sia-sia. Aku cuma coba melindungi kamu. Rakan dan Jati tidak akan mati. Setidaknya dua orang itu bisa selamat kalau kamu tidak terus ikut campur.”
Kanya terduduk lemas di kursinya, terisak. Kenyataan itu terlalu pahit untuk ia terima. Semua pengorbanan yang mereka lakukan, semua kekhawatirannya tentang Titin, ternyata sia-sia. Indra—orang yang ia percayai—telah menyembunyikan semua ini dari awal.
“Aku tidak bisa percaya kamu,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Indra. Kepalanya terasa berat, pikirannya penuh dengan kebingungan yang melumpuhkan.
Tapi kemudian, sebuah tekad muncul. Dia tidak bisa pulang begitu saja. Tidak setelah semua yang ia lalui, tidak setelah semua yang terjadi.
“Indra...” Kanya menegakkan tubuhnya, menghapus air mata di pipinya. “Aku takkan pulang.”
Saat Kanya sibuk mengetik sesuatu di ponselnya, Indra dengan cepat merebut perangkat itu dari tangannya. "Apa yang kamu lakukan?" Kanya terkejut, mencoba meraih ponselnya kembali, tapi Indra sudah memegangnya erat.
“Kamu tidak bisa melawan, Kanya. Mau tidak mau, kamu harus ikut pergi sama aku,” katanya tegas, suaranya bergetar dengan campuran ketegasan dan frustrasi. Tatapan Indra dingin, seakan tidak ada ruang untuk negosiasi.
Kanya tersentak. “Kamu tidak bisa gini, Indra! Aku tak mau ikut! Aku takak bisa pergi begitu saja!”
Namun, sebelum dia sempat melanjutkan protesnya, mobil berhenti di sebuah area terpencil di belakang bandara. Tanpa peringatan, dua pria bertubuh besar yang sudah menunggu di sana mendekat. Kanya mulai panik, tubuhnya tegang, dan napasnya mulai memburu. Ketika kedua pria itu membuka pintu mobil, Kanya meronta, mencoba melawan mereka.
“Lepaskan aku!” teriaknya, namun kedua pria itu lebih kuat. Dengan mudah, mereka memegangi tubuhnya, menyeretnya keluar dari mobil dengan kasar. Kanya menendang dan memukul, mencoba melepaskan diri, tapi sia-sia. Kedua pria itu seperti batu karang yang tak tergoyahkan.
Indra berjalan di belakang mereka, tatapannya datar. “Jangan sia-siakan tenaga, Kanya. Ini demi keselamatanmu.”
Kanya merasakan air mata mulai menggenang di matanya, namun bukan karena rasa takut, melainkan kemarahan yang mendidih. "Keselamatan? Kamu pikir aku aman dengan begini? Kamu bahkan tidak jujur tentang Titin!"
Kata-katanya menggantung di udara, tapi Indra hanya mengabaikannya. Dengan langkah cepat, dia mengarahkan kedua pria itu menuju pesawat pribadi kecil yang terparkir di ujung landasan. Suara mesin pesawat yang sedang dipanaskan terdengar menggema di sekitar mereka. Kanya mencoba melepaskan diri lagi, tapi kekuatan pria-pria itu terlalu besar.
Di bawah bayang-bayang pesawat yang besar dan mengancam, Kanya merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. Dua pria itu memaksanya naik ke tangga pesawat, sementara Indra mengikuti dari belakang. Wajah Kanya basah oleh air mata yang ia coba tahan. Tubuhnya masih bergetar karena panik dan ketidakberdayaan.
Begitu berada di dalam kabin pesawat yang sempit dan pengap, Kanya melihat Indra berbicara kepada pilot. “Kita jadinya ke Denmark, Bisa?” katanya pelan namun jelas. Dibalas anggukan pilot.
Pikiran Kanya berputar, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Tapi tidak ada penjelasan yang masuk akal. Semua ini terasa seperti jebakan yang semakin menjerat, semakin sulit untuk keluar. Dia memandang Indra dengan tatapan penuh kekecewaan dan kesedihan.
Indra duduk di kursi di depannya, pandangan mereka bertemu sejenak. Namun, Kanya lebih memilih melamun ke luar jendela.
Pertanyaan yang diajukan Indra berikutnya menyadarkannya.
"Kanya," Indra dengan nada serius, "Di mana kartu memori? Kau yang menyimpannya, kan?"
Kanya mendadak terdiam, menahan napas sejenak sebelum menjawab. Ia menatap Indra dalam-dalam, matanya menunjukkan kebosanan yang bercampur kelelahan.
“Aku sudah buang,” jawabnya pelan, nyaris tanpa ekspresi. “sepertinya rusak atau mungkin isinya memang kosong” ucapannya dingin, hampir tak peduli.
Indra mengangguk kecil, lalu menjadi keheningan yang tegang di antara mereka. Kanya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tidak ada ruang untuk kabur, tidak ada orang yang bisa menolongnya.
---
Sesampainya di kantor pemerintah, Gunawan langsung berjalan cepat menuju ruangan Wibowo, wajahnya menegang. Kasus hilangnya Titin, seorang jurnalis yang selama ini vokal tentang isu lingkungan, kembali menjadi sorotan publik dan dapat membahayakan posisi mereka. Hilangnya Titin sudah memicu spekulasi di kalangan masyarakat, terutama di lingkaran aktivis lingkungan. Gunawan tahu ini bukan hal yang bisa dianggap enteng karena Wibowo sampai memintanya datang.