2 Juni 2014
Upacara pemakaman Iren. Hujan deras meski masih musim kemarau. Satu persatu pelayat meninggalkan makam hingga hanya tersisa aku dan tetesan air yang terjun dari langit. Mungkin Jika Rein tidak sibuk hari ini, aku tidak akan sendirian dan kami pasti berdiri di sini sampai petang. Di dasar payung, aku menyembunyikan tubuhku dari angkasa seraya menatap dalam pada nisan bertulis 'Iren Prissila', wanita yang sangat berharga untukku.
Mendadak angin bertiup begitu kencang. Menerbangkan payung yang kupegang. Kini tubuhku dijatuhi butiran-butiran air hujan. Mematung. Tak ada niat sedikit pun untuk mengambil tadah hujan itu untuk melindungi diri dari air langit.
Membiarkan tubuhku merasakan dingin hujan yang menusuk di tengah makam sendirian. Aku mendongak. Langit hari ini berawarna abu-abu gelap. Sangat berbeda dengan pertama kali aku bertemu dengannya.
***
22 Agustus 2011
Tidak seperti biasanya aku ingin dirumah seperti ini. Hanya bersantai sambil mengelap motor kesayanganku. Di rumah besar namun hampa ini, aku tinggal sendirian. Terkadang beberapa pembantu datang untuk bersih-bersih dan memasak, kemudian pulang saat tugas mereka sudah selesai. Saat ini aku benar benar sendiri. Aku berjanji pada Rein akan mengantarnya ke toko buku nanti malam sebagai balasan untuk mengerjakan tugas Bahasa Inggrisku.
“Zidane!” suara berat memanggil namaku dari luar.
“Aku di garasi,” sahutku.
Itu ayahku. Aku sedikit terkejut karena dia pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Aku menghampirinya ke depan dengan lap motor masih di tangan. Mobilnya terparkir di depan rumah, lekas keluar dari pintu mobil dan membiarkan terik matahari menyerang kulit dan rambut yang mulai beruban.
Mataku terpaku pada sesosok wanita muda yang nampaknya sebaya denganku. Ia datang bersama ayah. Mengenakan dress merah lengan pendek. Memberi kesan anggun. Aku berani taruhan bahwa dia bukan sekretaris atau asisten. Ayah tidak pernah membawa orang kantor ke kediaman pribadi kami.
Kami bertiga masuk rumah demi terhindar dari matahari yang membakar.
“Siapa, dia?”
“Oh. Ini Iren, istri baru ayah.”
Seketika perutku panas. Bagaimana bisa dia menikahi wanita yang sebaya dengan anaknya sendiri? Ibu memang sudah meninggal 4 tahun yang lalu. Tapi tidak pantas jika dia melakukan hal semacam itu. Jarang pulang, sekalinya pulang malah bawa istri baru. Padahal aku saja belum pernah pacaran selama 17 tahun ini.
Tanganku mengepal dengan sendirinya. Ingin kupukul wajah pria di depanku ini. Persetan dengan gelar kedudukannya sebagai ayah kandungku.
“Oh. Ayolah. Jangan pasang muka yang penuh nafsu membunuh seperti itu! Ayah hanya bercanda,” ujarnya sambil tergelak.
Aku dan wanita itu sama-sama diam mematung melihat tingkah pria paruh baya satu ini. Ketika tawanya terhenti, ia mendorong punggungku dan mendekatkan kami satu sama lain. Kini jarak kami hanya sekitar dua jengkal. Aku bahkan bisa mencium wangi tubuhnya. Mungkin berasal dari parfum, atau mungkin juga dari sampo.
Di jarak sedekat ini, wajahnya makin nampak cantik. Kulit putih berseri, Bibir mungil, rambut lurus terawat, dan yang menurutku paling indah dari itu semua adalah matanya.
Sadar terlalu lama memandang wajahnya, aku
memalingkan pandangan agar dia tidak berpikiran aneh-aneh padaku di pertemuan pertama kami.
“Iren, ini Zidane, anakku, atau kamu bisa mulai memanggilnya 'kakak'. Zidane, dia adikmu sekarang."