“Nah. Ketemu,” seru Iren.
Aku berbalik. Bersiap untuk tahap selanjutnya.
Iren memegang tisu yang masih dibungkus plastik. Dia mengeluarkan beberapa dan berjalan mendekatiku.
“Tisu? Untuk apa?” tanyaku bingung.
“Tentu saja untuk menyumbat hidungmu.”
Dahiku mengernyit. "Hidung?" aku mulai meraba bawah hidung, kemudian menyadari ada yang mengalir pelan dari liangnya. Memandangi jariku yang tertempeli cairan merah kental. Ternyata hanya darah. Aku tidak bisa membayangkan jika cairan ini adalah ingus. Pasti malu setengah mati.
Iren menempelkan tisu dengan lembut di bawah hidungku. Kemudian mengambil beberapa lagi dan menyumbat lubang hidungku untuk menghentikan pendarahan.
Saking sibuknya otak berpikir aneh-aneh, aku tak sadar sedari tadi hidungku mengucurkan darah. Ini pasti terjadi karena pingsan dan jatuh dari tangga. Aku benar-benar tidak berguna, berpikir aneh-aneh pada adikku sendiri padahal dia malah mengkhawatirkanku. Gagal sebagai seorang kakak di hari pertama. Dan…. Bagus, sekarang kehabisan kata-kata untuk menggambarkan betapa menyedihkannnya diriku.
“Sekarang bisa kamu antarkan aku ke kamar mandi?”
“Ya," jawabku singkat.
Selama ini dia menahan diri untuk ke kamar mandi karena mencemaskanku. Dan yang kulakukan hanya berimajinasi absurd.
Usai menunjukkan letak kamar mandi. Aku menunggunya di samping pintu sambil termenung menyesal dan memikirkan banyak hal. Kami memang tidak berasal dari rahim yang sama. Tapi darah kami berasal dari ayah yang sama. Hubungan kami tidak boleh berkembang lebih jauh. Akhirnya kuputuskan untuk membunuh perasaanku.
***
Keesokannya, aku bersiap untuk berangkat ke sekolah. Iren sibuk dengan kegiatannya. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya dan memilih untuk tidak mencari tahu. Yang kuinginkan hanyalah menjaga otakku dari pencemaran yang tidak perlu.
Aku duduk di ruang makan sembari mengenakan sepatuku. Pagi ini aneh. Di meja makan selebar meja billyard, tidak ada seonggok makanan pun yang tersaji. Selama aku hidup, baru kali ini Bi Intan, koki pribadi kami telat menyiapkan sarapan. Sehingga kuputuskan untuk menungu sejenak.
Aku mulai lelah menanti, mungkin sebaiknya berangkat sekarang dan langsung sarapan di kantin. Tatkala hendak beranjak, Iren muncul dari dapur dan membawa sepiring nasi goreng dan sebuah kotak bekal.
“Iren?” panggilku menyambutnya.
“Untungnya masih sempat. Aku memutuskan untuk memasak hari ini. Jadi aku minta Bu Intan pulang.” Ia tertawa kecil.
“Meyakinkan beliau butuh waktu lama.”
Aku memandangi nasi goreng di depanku. Uapnya membumbung, sebagian masuk ke hidungku, sebagian lagi terus melayang. Saraf pembauku mencium aroma yang akan memanjakan lidah.
Ini memang hanya nasi goreng. Tapi ini juga masakan Iren. Tidak mungkin menyia-nyiakannya. Aku tersadar waktuku mepet dan akan terlambat. Tapi persetan. Ini kali pertama sarapanku yang masak adalah wanita selain mendiang ibuku dan Bi Intan.
Mengabaikan keterlambatan, aku makan dengan lahap ditemani senyuman Iren di pagi hari. Saking senangnya, aku harap setiap hari berjalan seperti ini.
***