Angin serasa menampar berkali kali. Mataku menyempit, kelopaknya berusaha melindungi bola mata dari sayatan angin dan debu yang beterbangan. Ini terjadi karena kepalaku alergi pada helm. Sehingga harus merelakan wajah kerenku telanjang tanpa perlidungan.
Sial sekali. Aku lupa hari ini harus ikut remidial sepulang sekolah. Padahal tadi sudah menyuruh Rein untuk datang ke rumahku dan berniat memperkenalkan Iren padanya. Memalukannnya, aku sendiri yang mengundangnya malah telat pulang.
Pikiranku telah dipenuhi berbagai macam kemungkinan. Salah satu kemungkinan terburuk adalah Iren mengira bahwa Rein adalah penjahat, sehingga dia akan berteriak dan berusaha membela diri lalu menusukkan pisau dapur pada Rein. Kemudian Rein menyangka Iren adalah penyusup yang masuk ke rumahku. Dia akan mempertahankan rumah dan melawan balik. Mereka akan saling berkelahi dengan nafsu membunuh. Dan akhirnya mereka berdua tewas karena sama-sama tidak mau mengalah.
“Apa sih yang kupikirkan? Kenapa negatif thinking di saat seperti ini?” bisikku. Nyaris tak terdengar bahkan olehku karena dikalahkan oleh deru angin.
Tunggu. Bagaimana jika yang kupikirkan benar-benar terjadi? Tidak mungkin aku akan sesantai ini. Ya… aku tahu sekarang, bukannya negatif thinking, bisa dibilang ini hanya bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Melesat bak kilat, meliuk layaknya belut. Aku mengerahkan semuanya agar bisa segera sampai dan menyelamatkan mereka berdua. Bodohnya aku, harusnya kuberitahu Rein alasanku menyuruhnya datang ke rumah. Jika begini, mereka yang tidak saling kenal akan salah paham.
Tunggulah, Rein, Iren. Aku mohon jangan mati karenaku!
Sesampainya di rumah, aku langsung berlari dan berteriak, “Iren! Rein!”
Naas, tidak ada jawaban. Mulai menyusuri tiap sudut ruangan bersama pikiranku yang kalut. Mulai dari dapur di lantai satu, kamar Iren di lantai kedua, hingga kamarku di lantai ketiga. Meneriakkan lantang nama mereka hingga bergaung di seluruh penjuru.
Aku memegangi lututku yang gemetar dan mulai lemas seraya bernapas kasar. Keringat mulai mengalir dari ubun-ubun. "Kemana mereka?"
Ketika di ujung keputusasaan, samar-samar terdengar perbincangan santai di perpustakaan. Suaranya amat lirih. Terdengar layaknya sebuah bisikan. Mengatur napas sejenak, kemudian lekas melangkahkan kaki masuk ke asal suara.
Di ruang yang berisi buku-buku kesukaan ibu, Rein dan Iren duduk berhadap-hadapan dibatasi meja panjang. Dengan masing-masing satu buku di hadapan, mereka fokus pada buku di depan masing-masing.
Tidak heran jika tidak satupun dari mereka yang mendengar teriakanku yang menyebut barusan. Perpustakan ini memang dirancang kedap suara agar ibu bisa tetap membaca dengan tenang tanpa ganggguan luar.
Aku terkejut sekaligus bersyukur. Bersyukur karena yang ada di pikiranku tidak keluar menjadi kenyataan. Serta terkejut karena ternyata ada orang yang bisa cocok dengan Rein saat pertama kali bertemu. Biasanya dia akan menjauh jika ada orang asing yang berusaha mendekatinya.
Dan lagi aku baru tahu Iren suka buku seperti Rein. Ya… kabar baiknya, aku tidak harus memperkenalkan mereka. Karena mereka sudah akrab dengan sendirinya. Sekarang tinggal bagaimana caraku memposisikan diri di antara para maniak buku itu.
Aku melangkah mendekat. Ruangan ini jarang sekali kudatangi, namun tetap bersih dan terawat. Ucapan terima kasih selalu kutujukan pada Bi Iyem yang selalu membersihkan ruang favorit ibu ini. Ibu gemar sekali membaca sampai-sampai meminta ayah untuk membangunkan perpustakaan pribadi.
Ya… aku memang tidak mewarisi hobi ibuku yang itu karena satu-satunya yang kuwarisi dari beliau hanyalah rambut pirang ini. Meskipun begitu, setidaknya aku masih menyukai orang yang membaca buku. Mereka mengingatkanku pada mendiang ibu. Entah siapapun, dimanapun, dan kapanpun, orang yang membaca buku selalu telihat sama di mataku. Hening, bola mata bergerak dinamis, jemari membalik halaman satu persatu, dan bisa melakukan hal itu berulang-ulang selama berjam-jam.
“Kak Zidane sudah pulang?” sapa Iren.
Aku tertawa kecil sembari mengobrak-abrik rambutku yang sebenarnya sudah berantakan. “Baru saja sampai.”
Menyembunyikan apa yang baru saja menimpaku tadi. Tentang kecemasan setengah mati yang akhirnya berujung di sini.
“Memintaku datang, tapi kau sendiri justru malah berkeliaran dan tidak segera pulang,” Rein menimpali dengan datarnya.
“Siapa yang berkeliaran? Tadi aku dipaksa ikut remidial.”
“Jadi kenapa kau memintaku ke sini?” tanya Rein ketus.
Aku duduk di kursi sebelah Iren. Kini perhatian mereka terpusat padaku. “Aku ingin memperkenalkan kalian berdua. Tapi ternyata aku terlambat. Kalian pasti sudah berkenalan.”
“Belum kok,” sahut Iren.
“Benarkah?!” Aku tersentak hingga berdiri dari dudukku. “Siapapun yang melihat kalian pasti berpikir begitu. Kalian terlihat sangat dekat.”
“Jangan terlalu cepat menyimpulkan,” ujar laki-laki di depanku.
Seutas senyum tersimpul di wajahku. “Baiklah. Ritual perkenalan akan aku mulai.” Kembali duduk perlahan. Melipat kedua tangan.
“Iren, perkenalkan dia adalah salah satu sahabatku, Rein.”
“Mungkin bisa dibilang aku adalah satu-satunya temannya.” Rein memotong ucapanku.
“Berisik! Kau merusak suasana!”
Rein sialan. Dia memang tidak terlalu banyak bicara, tapi kata-katanya sangat menusuk karena memang kenyataan, bukan sebatas candaan.
Aku berdeham. Membatasi gangguan kecil tadi dengan sambungan dari upacara perkenalan. "lanjut. Dia adalah adikku, namanya Iren dan mulai sekarang dia akan tinggal di sini.”