Link of Heart

Strifer Saviour
Chapter #4

Pertemuan Pertama

Rein POV

22 Juni 2014

Suara butiran hujan yang menghantam apapun yang ada di bawahnya memenuhi telingaku. Di kamar yang kelam, perlahan aku menjahit lubang di hati ini. Tidak ada air mata, tidak ada tawa. Hanya saja sesaknya tak tertahankan. Padahal baru kemarin siang kami menghabiskan waktu bersama.

Aku mencintaimu. Kita harus pacaran!

Kalimat yang aneh untuk menyatakan perasaan, tapi itu yang membuatnya sangat khas. Dia memang suka sekali memaksa.

Di hari pemakaman Iren, aku tidak hadir. Hatiku tidak sekokoh Zidane. Mustahil sanggup mengantar perempuan yang aku cintai menuju ke pembaringan terakhir. Sekarang laki-laki pirang itu pasti masih berdiri di pemakaman meskipun para pelayat lain sudah menghangatkan diri di rumah masing-masing. Dia enggan meninggalkan Iren sendirian diimpit tanah yang basah.

Aku berbohong pada Zidane. tidak sibuk sedikit pun. Terbukti dengan apa yang kukerjakan sekarang, berbaring di kasur. itu hanya alasan untuk mendukung kepengecutanku. Aku Lebih memilih untuk bersembunyi di ranjang empukku daripada merobek luka bersama Zidane di sana.

***

23 Agustus 2011

Jam bekerku berbunyi, aku bergegas bangun.

Itu adalah kalimat pembuka paling klise dalam sebuah novel. Dan aku membencinya.

Ketika bekerku mulai berdering, kupastikan sudah berada di dapur. Memasak untuk sarapan dan makan malam nanti. Sialnya, kemarin aku lupa membeli bahan dapur. Yang tersisa di kulkas hanya sebutir telur.

Sepagi ini, tidak ada toko yang buka di daerah sini. Jika menunggu lebih siang, aku akan terlambat sekolah.

Alhasil sebutir telur itu kugoreng untuk sarapan. Cukup menambahkan saus botolan dari kulkas yang kubeli dua bulan lalu. Dalam kesunyian dan remang ruangan, aku mengisi perutku.

Aku aku sudah terbiasa sendirian karena tidak punya banyak teman sejak kecil. Malah bisa dibilang tidak ada. Sendirian bukan berarti kesepian. Aku tidak butuh banyak teman yang hanya datang ketika sedang butuh atau senggang. Jika memang berniat berteman denganku, mereka harus mau saling berbagi rasa sakit. Dan sampai saat ini belum ada yang seperti itu.

Layaknya siswa normal, aku mandi dan mengenakan seragam serta kemudian lekas berangkat sekolah. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di sana sekitar setengah jam dengan sepeda.

Aku tiba di kelas. Orang-orang yang berbagi kelas denganku sudah membentuk kelompok-kelompok sendiri. Membicarakan omong kosong di pagi hari, memalsukan sikap agar terlihat baik dan disukai. Aku melewati mereka begitu saja. Duduk di bangkuku yang nyaman, pojok kiri nomor dua paling belakang. Dari sini aku bisa mengamati tingkah laku makhluk-makhluk itu.

Upacara berlangsung. Aku hanya mengikuti sekelompok orang berseragam yang berdiri di bawah terik matahari. Hanya bergerak sesuai instruksi satu orang yang berjuluk pemimpin upacara Tanpa bisa membelot, tanpa bisa memberi perintah balik.Dilanjutkan dengan mendengarkan pidato yang tidak dipahami konteksnya oleh sebagian siswa.

Akhirnya penyiksaan usai. Aku bisa kembali ke kelas.

Tatkala kakiku menyentuh keramik kelas, mataku menangkap sosok ambut pirang telungkup di meja sendirian. Bisa kujamin dia pasti terlambat masuk dan tidak bisa mengikuti upacara bendera. Sehingga akhirnya pura-pura sakit di kelas. Seingatku dia sudah menggunakan trik yang ini lebih dari enam kali.

“Kau pasti terlambat masuk.”

Dia mendongak, matanya yang semula sempit perlahan melebar. “Ya… aku punya urusan hari ini,” dia menaruh kedua tangannya di belakang kepala pirangnya.

Setelah mengukir kesan lesu beberapa waktu yang lalu, sekarang wajahnya berseri-seri. Aku iri dengan kemampuannya mengubah mimik secepat itu. Mungkin otot wajahnya sangat elastis.

Lihat selengkapnya