Kami saling memandang cukup lama. Sebelum akhirnya perempuan itu mulai berbalik dan menghapus air matanya.
“Ya ampun. Ini memalukan sekali,” ujarnya sembari tertawa kecil. Tawa yang jelas sekali dipaksakan. “Orang asing melihat sisi memalukanku. Kamu pasti menertawakanku di dalam hati.”
“Tidak juga,” jawabku. “Jika hari ini kau menangis, belum tentu besok kau akan tertawa. Jadi menangislah hari ini sambil berharap besok tidak ada lagi air mata!”
Dia kembali berbalik dan menatapku senyap. Tersenyum lagi, kemudian tertawa. Kali ini bukan tawa yang dipaksakan. “Bagaimana kamu bisa bisa mengatakan kalimat motivasi dengan muka datar lesu yang tidak mencerminkan semangat sama sekali?”
Ternyata dia bukan tersentuh dengan kalimatku. Melainkan menertawakan wajahku yang fakir ekspresi.
“Aku minta maaf soal itu.”
Kenapa aku harus minta maaf?
“Tidak-tidak! Seharusnya aku yang minta maaf. Pasti kamu bingung dengan apa yang terjadi,” tolaknya.
Sejujurnya itu tidak benar. Aku tidak bingung. Atau lebih tepatnya tidak ingin bingung. Zidane belum pulang dan seorang perempuan yang tak kukenal menangis di rumahnya. Sebenarnya jika dikerucutkan, ada beberapa kemungkinan.
“Seragam itu… pasti kamu temannya Kak Zidane,” ucapnya lirih.
‘Kak Zidane’? Entah kenapa telingaku sedikit geli ketika mendengarnya. Namun, degan panggilan itu, aku tahu bahwa dia adiknya Zidane.
Aneh sekali. Zidane tidak pernah menceritakannya. Mungkin saja mereka saudara angkat dan dia memintaku datang karena ingin menperkenalkan kami. Itu penjelasan paling masuk akal.
“Bisa dibilang begitu.”
“Mau ngobrol? Sambil menunggunya pulang?”
Jadi dia benar-benar belum pulang. Apa yang sebenarnya dia rencanakan?
“Perpustakaan.”
“Hmm?” adik Zidane bergumam meminta penjelasan.
“Jika kau ingin ngobrol, kita lakukan di perpustakaan.”
Dia termenung sesaat. Satu-satunya gerakan yang bisa kulihat darinya hanyalah beberapa kedipan mata.
“Kenapa? Bukannya lebih nyaman ngobrol di ruang tamu?”
“Ada buku yang ingin segera kubaca,” tukasku.
Mufakat. Kami menuju perpustakaan. Aku mengekor, sementara dia berjalan santai di depanku. Rambut panjangnya melambai pelan tatkala kaki melangkah bergantian.
Kami duduk berseberangan. Di sekitar hanya ada rak-rak kayu yang masih kokoh berisi ratusan buku. Sebagian besar berbahasa inggris karena ibu Zidane selaku pemilik perpustakan ini berasal dari sana.
Dia juga pernah bilang tidak suka membaca karena satu-satunya yang dia warisi dari ibunya hanyalah rambut pirangnya. Hal yang menjadi aksen khusus, membuanya paling mencolok di antara siswa-siswa lain. Dan sesuatu yang sangat dia dilindungi. Dia bahkan bertaruh dengan kepala sekolah untuk itu.
“Sudah berapa lama kalian bersahabat?”
Aku mendiamkan pertanyaan itu. mencoba mengingat-ingat jawabannya seraya mengeluarkan tiga buku yang kubeli dalam perjalanan kemari. “Mungkin sekitar Februari. Sejak ulangan harian pertama.”
“Kalian berdua sangat bertolak belakang, ya,” ujarnya tersenyum.
Aku mulai membuka segel transparan yang membelenggu salah satu buku yang kekeluarkan sebelumnya. Lantas membaca isinya sambil sesekali menjawab pertanyaan perempuan di seberang.
Topiknya hanya berkutat padaku dan Zidane. Dia tidak sedikit pun menceritakan tentang dirinya.
Karena sedari tadi hanya memainkan peran sebagai narasumber, kini aku berinisiatif untuk mengajukan pertayaan.
“Kau sendiri, sejak kapan menjadi saudara angkat Zidane?” tukasku.
“Baru kemarin.”