“Maju!” Zidane berlari menyongsong makhluk itu dengan pipa besi di tangannya.
Tingginya hanya setara dengan kaki sang singa. Mungkin dari sudut pandang monster itu, Zidane hanya seperti kudapan. Kendati demikian, ia tetap tak gentar.
Keberanian dan kebodohan memang beda tipis.
Aku tetap mematung. Tidak melarikan diri, juga tidak berniat ikut ambil bagian dalamnya.
Jarak antara mereka kian menipis. Hingga berjarak beberapa meter, Zidane melemparkan pipa besi di tangannya dan mengenai tepat di bola mata singa perak itu hingga dia mengaum berat. Menandakan kesakitan. Tak hanya itu, bahkan dia kehilangan keseimbangan dan tersungkur karenanya. Dari pipa besi yang berkilau, darah terus menetes lantaran tetap tertancap dalam pada mata kananya.
Ketika singa raksasa itu tumbang, Zidane menarik belati dari belakang bajunya. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan dia menyiapkannya. Ternyata dia benar-benar siap untuk balas dendamnya. Tidak peduli jika harus membunuh seseorang.
Larinya makin kencang menghampiri singa yang tengah tersungkur itu. Tangannya juga telah siap menusukkan ujung pisaunya.
Naas, dia terhempaskan oleh kaki depan singa yang diayunkan horizontal sekeras-kerasnya. Sementara singa itu bangkit, giliran Zidane terkapar setelah kepalanya membentur dinding sekali lagi. Namun kini lebih parah, darah lekas mengalir dari pelipis dan goresan-goresan ringan di wajahnya mengukir luka baru.
Singa itu mulai mendekati tubuh Zidane. Jantungku berdetak tak karuan. Terbayang tubuhnya tercabik-cabik seperti perempuan itu. Setelah kehilangan Iren, apa sekarang aku juga akan kehilangan Zidane? Aku tidak menginginkan hal itu. Kupaksakan diri untuk menghancurkan ketakutan dan ketidakberdayaanku.
Aku tidak ingin dia meninggalkanku dan membuatku terbebani dengan kesedihan menggunung sementara dia bisa bertemu dengan Iren dan meninggalkanku di dunia terkutuk ini.
Setelah berada di jarak yang memungkinnya menelan Zidan bulat-bulat, ia berujar dalam wujud singa sambil menoleh padaku. “Kau, yang disana!”
Tentu saja yang dimaksud adalah aku. Mengepalkan tangan dan menguatkan rahang, mencoba memanggil keberanian. “Ada apa?”
“Kau pasti bingung dengan situasi yang terjadi sekarang,” lanjutnya. “Kau pasti berpikir bagaimana aku bisa berubah seperti ini, kenapa aku membunuh wanita itu, dan kenapa kalian harus kubunuh.”
Benar. Karena rasa takut telah menguasai, otakku sampai berhenti berpikir. Aku sampai mengabaikan fakta keberadaaanya yang tentu saja melawan logika. Tidak, bahkan melawan hukum alam dan dunia.
“Akan kuberitahu sedikit hal agar kematianmu tenang tidak meninggalkan pertanyaan.”
Kepalanku mulai melemah. Sepertinya aku siap mati sekarang. Iren, Zidane, kita akan bersama lagi.
“Aku adalah esper, manusia dengan berkah dewa sejak lahir. Manusia yang terpilih untuk memiliki kekuatan malaikat. Dan alasanku membunuh kalian adalah karena kalian sudah mengetahui fakta keberadaan kami.”
“Kami? Jadi di luar sana banyak makhluk sejenismu?” tanyaku sedikit takut.
“Tentu saja. Membaur dengan manusia ketika siang, dan buas saat malam.”
“Kenapa kami dibunuh hanya karena mengetahui ini?”
Singa itu menyeringai, menampakkan deretan gigi seruncing tombak. “Itu adalah hukum mutlak di dunia ini.”
“Begitu, ya.”
Aku berlari sekuat tenaga menjauhi singa itu. Aku bisa mendengar sumpah serapahnya dari kejauhan. Sepertinya dia benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan melarikan diri. Padahal beberapa waktu yang lalu terlihat begitu tidak berdaya dan pasrah.
Sebenarnya aku juga tidak berniat memperpanjang waktu hidupku. Namun, karena Zidane ternyata masih hidup dan memberi aba-aba padaku, akhirnya kuputuskan untuk hidup lebih lama. Akan kuhabiskan sisa umurku untuk membantu Zidane mewujudkan tujuannya. Tidak, sekarang itu adalah tujuanku juga.
Dia mengejarku. Menyusul begitu cepat. Derap langkahnya menimbulkan sedikit guncangan di lantai tempat kuberpijak. Dengan ukuran sebesar itu, satu langkahnya saja setara dengan sepuluh kali langkahku sendiri.
Hendak sampai di tangga turun, aku tidak menapakinya satu-persatu. Melainkan langsung loncat hingga berada di dasar, mengakibatkan tungkaiku sedikit mati rasa. Dalam kesempatan itu, aku berusaha mencari persembunyian lagi untuk mengulur waktu agar Zidane punya kesempatan mengamankan dirinya.
Dalam kegelapan yang menyelimuti, memang mudah untuk menemukan persembunyian. Namun, bagian mengulur waktu adalah yang paling sulit. Aku mesti menjaga jarak darinya dan dalam waktu bersamaan juga mengawasi agar dia tidak berbalik ke tempat Zidane.
Singa itu balas meloncat dan mendarat dengan halus, menimbulkan guncangan kecil tatkala keempat tungkainya menapak di lantai pabrik. Aku mengiblatkan lari pada barisan mesin-mesin pengemas. Merundukkan tubuh.
Singa itu mengaum berat karena kehilangan jejakku. Di sinilah aku, meringkuk, mulai mengatur napas dan lekas berpikir.