25 Agustus 2011
“Kau senggang malam ini?” tanya Zidane duduk di mejaku.
Aku yang tengah membaca, merespon tanpa menoleh,“Ada apa?”
“Ada pasar malam yang baru buka,” jawabnya. “Ayo kita pergi bertiga!”
“Kenapa kau tidak pergi berdua dengan Iren saja?” saranku. “Aku punya buku yang ingin kuselesaikan malam ini.”
“Kau kan bisa membacanya di sana.”
“Aku tidak suka membaca di tempat ramai.”
“Ayolah!”
Aku menyerah. Keras kepala Zidane berada di tingkatan yang berbeda. Jika tidak segera diiyakan, dia akan terus merayuku hingga aku kehilangan waktu membacaku yang berharga. Dengan berat hati, terpaksa kuturuti ajakannya.
Seorang berandal yang ditakuti dan kutu buku penyendiri yang sulit didekati. Kami sama-sama sendirian. Bertolak belakang, namun saling berbagi perasaan. Dan mungkin itu yang menyatukan kami.
***
23 Februari 2011
Toilet belakang sekolah. Tempat paling sepi dan tidak terawat. Aku bersama empat kakak kelas. Ditandai bet yang berwarna merah, menandakan mereka semua sudah tiga tahun menyandang status sebagai murid di sekolah ini. Sementara aku baru saja selesai MOS kemarin.
Di dalam ruangan yang gelap ini, mereka mengelilingiku. Satu bertubuh gempal, satunya memiliki luka jahitan di dahi kiri, satu lainnya memiliki tubuh tegap terlatih, dan yang terakhir kurus berjenggot tipis.
“Kau yakin dia orangnya?” tanya si kurus pada salah satu kawannya.
Yang ditanya maju beberapa langkah dan kami berhadapan. “Gak salah lagi. Dia Rein.”
“Dia gak keliatan kayak perebut pacar orang,” si gemuk meragukan.
“Jadi gara-gara dia kau putus dengan pacarmu?” si bekas luka menimpali.
Dia mendekatkan wajahnya. Tinggiku hanya setara dengan dagunya. Otot-otot di dahi laki-laki ini terlihat menyembul. “Kau akan membayarnya di hari pertama ini.”
Dalam sekejap aku kesulitan bernapas. Uluh hatiku dihantam oleh kepalannya sekuat tenaga. Aku memegangi perutku dan perlahan merosot turun hingga tertelungkup di lantai kamar mandi yang kotor.
Sementara laki-laki yang mengaku putus karenaku itu menginjak-injak kepalaku, tiga temannya hanya tertawa melihat betapa murkanya dia.
“Mantan ketua OSIS kalah saing dengan anak yang baru,” ucap si kurus meremehkan.
Aku terus melindungi tengkorakku yang di dalamnya ada otakku yang berharga.
Secercah cahaya muncul. Serangan beruntun padaku juga turut berhenti. Segenap tenaga, kucoba untuk membuka mata dan melihat cahaya apa itu.
Ternyata itu adalah pintu yang terbuka perlahan dari luar. Ternyata mereka lupa menguncinya. Dan aku harap itu adalah guru atau tukang kebun. Sehingga aku bisa diselamatkan.
“Bodoh! Kenapa tidak ada yang mengunci pintunya? Tamat riwayat kita kalau sampai kepala sekolah mengetahui ini.”
Harapanku muncul. Dengan begini aku bisa segera keluar dari sini dan melanjutkan buku yang kubaca sejak tadi pagi.
Sesosok siluet terlihat cemerlang karena membelakangi pintu sebagai satu-setunya sumber cahaya. Pemilik siluet itu ternyata hanyalah siswa baru sepertiku. Dengan baju SMP lamanya dan tas ransel yang masih tergantung di punggungnya, aku pikir dia terlambat.