Pak Gerald terperanjat. “Apa maksudmu? Kamu menolak?”
“Begitulah.”
“Kamu akan diberi potongan SPP selama satu semester. Bahkan sekolah akan memberi tunjangan padamu. Kamu berubah pikiran, kan?”
“Tidak.”
“Begini saja. Katakan apa yang kamu inginkan, kami akan mengabulkannya.”
Aku mengajukan keinginanku, “Kalau begitu tolong cari orang lain untuk mewakili sekolah ini.”
Pak Gerald geram. Namun, mencoba tetap bersikap tenang. “Ada apa denganmu? Kenapa kamu menolak sampai sejauh itu?”
“Saya tidak suka melihat sekumpulan orang saling mengadu pengetahuan demi sebuah kemenangan,” ucapku. “Zaman dahulu pengetahuan digunakan untuk mempermudah kehidupan. Ilmu yang kita pelajari sekarang hanyalah pengembangan dari buah pikiran para filsuf terdahulu. Dan filsuf-filsuf itu menciptakan pengetahuan bukan untuk diadu karena tiap manusia punya kapasitasnya masing-masing”
Beliau terdiam beberapa saat. “Jika kamu tidak mau ikut, kamu tidak akan naik kelas!” Ternyata beliau mengancamku.
“Jika satu saja siswa tidak naik kelas, maka pandangan masyarakat pada sekolah ini akan buruk. Mereka pasti akan mempertanyakan sistem pembelajaran yang diterapkan sekolahnya. Apalagi sekolah ini terkenal dengan prestasi akademiknya. Jadi ancaman anda barusan sangat kecil kemungkinanya untuk diwujudkan.”
Perdebatan lembut kami berlanjut. Guru-guru sibuk dengan urusan masing-masing. Sehingga tidak mempedulikan Pak Gerald yang mulai merah telinganya.
Samar-samar aku mendengar perbincangan kepala sekolah dengan pirang sekelasku.
“MOS sudah berakhir, dan kamu masih belum menghitamkan rambutmu?” tanya pria matang berkumis tebal bergelar kepala sekolah itu.
“Tapi ini warna asli rambut saya, pak. Saya tidak mewarnainya sedikit pun.”
“Tapi orang-orang di luar sekolah tidak menganggapnya begitu. Nama sekolah ini dipertaruhkan.”
“Kenapa anda harus memikirkan perakataan orang lain? Dan kenapa mereka hanya menilai seseorang dari penampilannya saja? Apakah rambut pirang selalu membuat masalah dan menjadi berandal?”
“Kau memang pembuat masalah, Zidane. Kamu sudah memukuli OSIS panitia MOS di hari pertama.”
“Ya… anu… itu….”
“Memang apa susahnya mewarnai rambutmu agar seragam dengan siswa lain?”
“Bapak tidak tau apapun tentangku. Lebih baik aku memotong jariku daripada mengubah rambutku.”
Perbincangan mereka terhenti beberapa waktu ke depan. Kepala sekolah seperti terpukul dengan ucapannya.
“Bagaimana jika kita bertaruh, pak?” sambung siswa itu.
“Bertaruh?”
“Salah satu masalah di sekolah ini adalah toilet a yang kotor. Terutama toilet laki-laki. Jika saya bisa membuat toilet sekolah bersih selama satu bulan penuh, bapak harus membiarkan saya dengan rambut ini. Jika gagal, saya tidak hanya akan menghitamkan rambut saya, tapi juga akan potong cepak. Setuju?”
“Sepakat.”
mereka berjabat tangan tanda kedua belah pihak mencapai mufakat.
Sepertinya kepala sekolah tak memiliki opsi lain. Lagi pula taruhan itu memang kemungkinan akan dimenangkan beliau mengingat lawannya hanyalah berandal yang bahkan terlambat di hari pertama dan sudah berkelahi dengan OSIS saat MOS. Tentu saja dia tidak memiliki kedisiplinan. Dia pasti menyerah di beberapa hari ke depan.
Beberapa saat kemudian, perdebatanku dengan Pak Gerald juga usai. Dengan hasil akhir beliau menyerah dan akan mengadakan seleksi untuk kandidat dari kelas 11
***
Satu minggu setelah perjanjian Zidane dan kepala sekolah dibuat. Para siswa mulai ragu untuk ke kamar mandi. Itu dikarenakan dia selalu berkeliling dari kamar mandi satu ke kamar mandi yang lain. Dia akan menjaga toilet tetap bersih dengan cara menyiramkan air pada siapapun yang mengotorinya.
Jika diumpamakan, Zidane adalah kesatria, dan toilet itu adalah kerajaan yang harus dilindunginya.
Dia benar-benar serius dengan apa yang dia ucapkan. Padahal jika dipikir, dia hanya perlu menggunakan color spray ketika berangkat dan membilasnya dengan shampoo ketika pulang. Sehingga dia tetap pirang ketika di rumah.
Zidane bahkan dijuluki roh kematian penunggu toilet. Mungkin dia dipanggil roh kematian karena sebelum ini Zidane sudah terkenal karena memukuli kakak kelas di hari pertama.
Berandal, atau mungkin bahasa kerennya adalah badboy. Namun, bukan seperti cerita-cerita murahan yang digemari gadis-gadis. Dia lebih realistis. Bukan pemimpin geng terkenal dan bukan idola di kalangan siswi. Karena di kehidupan nyata, berandal lebih sering dibenci ketimbang dikagumi.
Meskipun begitu, dia sangat menghormati guru dan berbicara sopan pada mereka. Tidak seperti di cerita-cerita pasaran, di mana badboy sering melecehkan gurunya agar terlihat keren dan makin populer. Itu adalah khayalan yang paling tak masuk akal dan klise dalam cerita.
Aku menyukainya yang tidak goyah jika sudah membuat keputusan. Dia rela berlarian dari toilet satu ke toilet lainnya yang berjumlah tujuh unit dan tersebar di penjuru sekolah.
***
Ulangan harian pertama. Zidane baru saja datang disusul Pak Gerald yang membawa setumpuk kertas HVS A4 yang sudah ada tinta print di atasnya. Aku yakin itu adalah lembar soal.