4 Juni 2014
Kami kembali menunggangi motor Zidane. Aku benar-benar merasakan dinginnya malam. Selain karena memang makin larut, juga lantaran tidak memakai baju sekarang. Meskipun masih terbungkus jaket, tetap saja dinginnya menusuk.
“Mau mampir ke taman sebentar?”
“Terserah,” sahutku.
Zidane benar-benar mengarahkan motornya ke taman, salah satu tempat di mana kami bertiga sering menghabiskan waktu bersama-sama. Aku tidak tahu apa tujuannya dengan membawaku ke sana setelah apa yang terjadi. Dan bagaimana orang ini bersikap seperti tidak terjadi apa-apa? Padahal barusan kami hampir mati.
Dari kejauhan, terdengar sirine polisi. Kami pun berpapasan dengan para polisi tersebut. Tapi aku tidak terlalu peduli.
***
Tempat ini berada di pusat kota dan banyak lampu-lampu taman yang tinggi berdiri kokoh. Tapi jarang sekali ada yang kemari malam-malam. Mungkin karena hawa dingin yang menggangu. Wajar saja karena banyak tanaman yang melakukan transpirasi.
“Apa tujuanmu mengajakku kemari?” aku bertanya.
Zidane duduk di salah satu kursi taman berbahan besi dan tanpa sandaran. Sementara aku masih berdiri menunggu jawabannya.
“Ternyata memang sangat berbeda.” Setetes air jatuh dari sudut matanya tatkala ia berucap.
Mungkin aku adalah orang yang beruntung karena bisa melihat berandal yang dijuluki ‘roh kematian’ menangis dua kali. Pertama ketika melihat mayat Iren. Dan yang kedua adalah sekarang, kala mengenang saat-saat bersamanya.
Meskipun terkenal liar, hatinya benar-benar rapuh. Terbukti saat ini.
Saat melihatnya menangis, aku juga ingin menangis. Aku berbalik, berjalan beberapa langkah memungungi Zidane Agar ketika air mataku jatuh, dia tak melihatnya.
“Padahal kemarin lusa dia masih tertawa di sini,” ucapnya masih sesenggukan.
Mendengar itu membuat air mata ini nyaris tak terbendung Sekuat tenaga aku menahannya. Akan konyol jika menangis dengan wajah tanpa ekspresi seperti ini.
Dalam isakan tangis Zidane yang mendominasi pendengaran, mataku tertuju pada gadis yang mengenakan jaket putih berbulu yang berlari ke arah kami.
Dia melewatiku dan mendorong Zidane sehingga dia terjengkang dan jatuh sekitar satu meter dari kursinya. Wanita itu turut jatuh bersamanya dan menindih tubuh Zidane.
Aku hanya memandangi adegan itu tanpa berkata apapun. Mungkin saja wanita itu menyimpan dendam karena pacarnya adaha salah satu orang yang pernah dipukuli Zidane. Aku tak mempedulikannya karena si pirang itu pasti bisa mengatasinya jika si wanita mencoba mencelakainya.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan?” tanya Zidane bingung dengan tingkah wanita yang membebani tubuhnya itu.
Beberapa saat setelahnya, lampu taman yang berdekatan dengan kami tiba-tiba roboh. Jatuh menimpa kursi yang diduduki Zidane beberapa saat yang lalu hingga hancur. Jika saja dia tetap pada posisinya tadi, Zidane sudah mati atau setidaknya koma karena kepalanya pecah.
Perlahan wanita itu bangkit, kemudian disusul Zidane. Aku dan dia hanya terpana melihat apa yang terjadi barusan. Tentang nyawa Zidane yang nyaris melayang beberapa detik yang lalu. Sementara itu, wanita asing yang belum kami ketahui namanya tengah santai membersihkan pakaian.
“Sebelum kau menjawab pertanyaan Zidane, bisa kau jelaskan bagaimana kau tahu tiang lampu itu akan roboh?” tanyaku.
“Ha?” Wanita itu tersentak setengah kebingungan, terbata-bata. Dia juga mengalihkan pandangannya saat hendak bicara padaku.
“A-a-aku tadi melihat tiangnya oleng. Iya, tadi oleng.”
“Mustahil,” aku memotongnya. “Aku yang berada paling dekat dengan tiang dan tidak melihatnya. Satu lagi, setelah kau mendorong Zidane, masih jeda beberapa detik sebelum akhirnya miring kemudian roboh,” kilahku.
Dia nampak terkejut dengan kalimatku.
“Ini seperti kau mengetahui semuanya sebelum terjadi,” sambungku.