Menunggu bel masuk berbunyi dengan membaca buku adalah kegiatan terbaik yang bisa kulakukan. Semua akan sempurna jika penghuni kelas lain tidak berada di sini. Atau setidaknya lebih tenang. Mereka merusak suasana membacaku.
“Rein!” Zidane yang baru sampai langsung menyapa, menghampiriku.
Siswa-siswa dengan radius kurang satu meter dari Zidane akan menjauh darinya dan mengambil jarak aman. Seakan merasa terancam jika berdekatan dengannya.
“Apa?”
Dia berhenti sejenak. Menggaruk belakang kepalanya dan membuang muka sembari berucap, “Bagaimana jika hari ini kita ke makam Iren?” ucapnya lirih dan.
“Kau benar. Aku harus menemuinya.”
Dia sumringah mendengar jawabanku.
***
Jam sekolah terasa monoton seperti biasa. Kecuali untuk bagian imbauan dari kepala sekolah untuk tidak keluar rumah pada malam hari. Mengingat tadi pagi ada berita bahwa dua orang tewas mengenaskan di pabrik tua tempat Iren terbunuh.
Tentu saja aku dan Zidane terlibat dalam kasus itu semalam. Kami sudah membunuh seseorang. Sayangnya aku tidak mendengar penjelasan dari polisi karena jarang sekali menonton siaran berita. Dan sekarang baru menyesalinya. Aku hanya berharap kami tidak dipenjarakan mengingat itu adalah bentuk membela diri seperti yang dikatakan Zidane.
“Jadi sekarang apa?
“Apanya yang apa? Itu hanya imbauan. Bukan larangan. Kita akan tetap pergi malam ini.”
Seperti yang diharapkan dari seorang Zidane. Dia tetap akan meneruskan penyelidikan.
***
Waktu pulang sudah tiba. Aku menuntun sepeda sedangkan Zidane jalan kaki di sampingku. Hari ini dia diantar sopirnya karena kedapatan terlambat kemarin. Hal seperti ini sudah biasa terjadi. Biasanya besok lusa atau besoknya lagi dia baru mulai boleh berangkat sendiri.
“Rein! Lihat! Lihat itu!” Zidane berucap panik sambil menampar punggungku berkali-kali. meninggalkan rasa panas di tempatnya. Setelah beberapa detik mengelus bekas tamparan, aku melihat ke arah yang ditunjuknya.
Aku sedikit terkejut. Ya, sedikit. Setidaknya tidak reflek menampar balik Zidane. Dari kejauhan, aku tahu bahwa itu adalah Tera. Kesepuluh jari berikatan, kedua kaki rapat, celingak-celinguk. Dia pasti tengah menunggu seseorang, tentu saja orang itu adalah Zidane. Sebagian besar siswa yang berpapasan dengan Tera menatap heran. Bagaimana tidak? Dengan seragam sekolah lain, dia berdiri linglung di gerbang sekolah kami.
Dia sangat hebat untuk ukuran gadis pemalu. Menunggu seseorang yang baru dia selamatkan kemarin malam di depan gerbang sekolah lain. Dia sepertinya benar-benar mencintai Zidane. Menyadari keberadaan kami, Tera menundukkan pandangannya.
Aku menghampirinya. Sementara Zidane mengekor dengan terpaksa. “Darimana kau tahu kami sekolah di sini?” tanyaku datar.
“Aku kan kemarin sudah bilang kalau aku dan Zidane pernah bertemu. Lagipula aku juga sudah bilang akan memberitahu hal yang ingin kalian ketahui.”
“Tapi maaf, Tera. Aku dan Rein akan pergi ke makam Iren sekarang. Mungkin kita bisa membicarakannya besok,” potong Zidane. Dengan nada bicaranya, itu seperti dia mencoba menjauhi Tera. entah apa alasannya.
***
Kami diantar ke makam Iren dengan mobil Zidane. Mobil berjalan dengan kecepatan normal. aku bahkan bisa menghafalkan beberapa plat nomor kendaraan di depan. Di dalam sini begitu tenang. Tidak ada percakapan antara kami berempat.
Ya, kami berempat, aku Zidane, sopir, dan Tera. Wanita itu memaksa ikut meskipun Zidane sudah bersikeras melarangnya.
Aku duduk di depan bersama sopir sementara Zidane di belakang bersama Tera. Aku memang terbiasa tidak banyak bicara. Tapi jika Zidane tiba-tiba ikut terdiam, itu adalah keganjilan.
Aku menoleh ke belakang. Terlihat pemuda itu menatapku dengan kesal. Mukanya seakan berkata, Kenapa kau malah duduk di sana, Rein? Cepat tukar tempat duduk dengan Tera!
Dia terlihat sangat gugup dan terganggu dengan Tera di sampingnya. Aku meresponnya dengan muka datar kemudian memutar leher kembali tanpa menggubrisnya.
Zidane yang gugup, ragu-ragu karena ini adalah kali pertamanya dikejar-kejar seorang gadis, dan Iren yang malu-malu. Tidak heran jika di belakang sangat senyap.
***
Kami tiba di pusara Iren. Aku memandanginya dalam-dalam, berlutut, kemudian mengelus lembut batu nisannya.
Sudah kuduga ini akan sangat menyakitkan. Kesedihan seketika menjalar ke setiap jengkal tubuhu. Dan sekali lagi … aku harus menahan air mataku di sini.
Setitik air mata menetes dari sudut mataku.
Ternyata tidak semenyakitkan yang aku bayangkan.
Meski kubilang demikian, air mataku malah makin deras mengalir. Aku tak kuasa menahannya. Hingga akhirnya menangis dalam diam. Titik-titik air mata menghujani tanah makam Iren. Beruntung mereka berdua berada di belakangku sehingga tidak melihati sisiku yang ini.
“Lihat siapa yang berkunjung, Iren?” Zidane berucap. “Dia si Zombie. Kalian sering membaca buku bersama, kan?”
Zidane pasti juga sangat tersiksa sekarang. Tapi demi mengantarku, dia rela menusuk-nusuk dadanya sendiri lagi.
Samar-samar terdengar isakan tangis. Meski tanpa menoleh, aku langsung tahu itu Zidane. Dan cukup dengan itu, membuatku ingin menggali kembali makam Iren dan tidak masalah jika menukarkan nyawanya dengan kematian seribu orang sekalipun.
Kutu buku dingin dan roh kematian yang ditakuti. Di hadapan Iren, kami hanyalah pemuda biasa yang rapuh. Bahkan di makamnya, aku dan Zidane menangis tersedu, merontokkan harga diri kami sebagai pria.