Zidane POV
5 Juni 2014
Karena Tera hanya mau menjawab pertanyaan kami di tempat sepi, Rein menyarankan untuk mengunakan rumahnya.
“Kau serius, Rein? Dia ini wanita asing, lho!”
“Kenapa? Kau juga tidak akan berani macam-macam dengannya,” balas Rein datar.
“Ya… benar sih,” sahutku. “Tapi buka itu yang aku maksud.”
Sialnya, Tera juga ikut menyetujuinya. Padahal kami baru bertemu kemarin. Dan dia tidak ada rasa khawatir sama sekali tatkala hanya bersama kami berdua yang notabene laki-laki.
***
Seperti biasa rumah Rein selalu dalam keadaan bersih dan rapi. Tentu saja dia melakukan semuanya sendiri. Di balik mukanya yang kaku, tersimpan sifat rajin yang luar biasa.
Kami bertiga duduk di ruang tamu yang tidak terlalu besar. Aku dan Rein duduk berdampingan sementara Tera di seberang meja, menghadap kami.
“Jadi … apa yang ingin kalian tanyakan?”
“Apa maksudmu kau adalah esper?” tanyaku seketika.
“Seperti yang aku katakan sebelumnya. Aku adalah esper, sejenis dengan orang yang menyerang kalian,” jawabnya.
“Tunggu. Darimana kau tahu kami berdua diserang?”
“Saat itu aku tidak sengaja berada di sekitar pabrik tua itu,” papar Tera. “Dan dari kejauhan, aku melihat lampu menyala terang di dalamnya. Jadi aku penasaran dan mendekat. Di dalamnya ada esper dengan kemampuan transformasi yang mencoba membunuh kalian. Setelah mengetahui hal itu, aku pergi menjauh.”
“Kau tidak berniat meminta bantuan?” Rein yang sedari tadi hanya menyimak, kini mengajukan pertanyaan.
“Tidak. Itu adalah aturan mutlak di dunia esper.”
“Jadi kau akan membiarkan kami berdua mati?” bentakku.
“Bisa kau tenang?” ujar Rein.
Meski kuperlakukan demikian, Tera malah tersenyum. Dari dirinya, aku merasakan sedikit penyesalan. Dia terlihat tidak berdaya. Dan bodohnya aku, apa yang kuharapkan dari seorang perempuan yang bahkan tidak kukenal? Ya… aku terlalu memaksakannya. Lagi pula dia sudah menyelamatkan nyawaku kemarin. Itu sudah lebih dari cukup untuk memercayainya.
“Bisa kau jelaskan kenapa manusia yang mengetahui keberadaan Esper harus dibunuh?” sambung Rein.
“Itu karena jika kami tidak melakukannya, maka kami yang akan terbunuh.”
Aku dan Rein tersentak bersamaan. Separuh lagi kebingungan. Fakta dunia macam apa ini? Terlalu gelap untuk menjadi kenyataan.
“Apa maksudmu?” tanyaku bernada tinggi.
“Jika eksistensi kami diketahui oleh manusia, kami akan ditangkap dan dibedah untuk dijadikan subjek penelitian oleh para ilmuwan. Ketika salah satu esper tertangkap, dia pasti akan disiksa dan dipaksa untuk memberitahu keberadaan esper lain. Dan di saat itulah, kami hanya akan menjadi hewan buruan oleh para polisi dan militer.” Ia kembali tersenyum. Namun, kali ini adalah senyum masam. “Keberadaan kami saja sudah merupakan kesalahan.”
“Lalu kenapa kau memberitahu kami bahwa kau adalah esper?” Rein bertanya.
“Satu, karena kalian sudah mengetahui fakta ini lebih dulu dari Leo, dan kalian masih hidup. Sehingga aku hanya memperjelasnya saja. Kedua, karena kalian tidak akan memberitahu orang lain setelah mengetahui alasan kami, para esper membunuh manusia.”
Dia benar. Setelah mengetahui hal ini, aku tidak memiliki niat sedikit pun untuk membocorkan ini pada siapa pun. Baik manusia maupun esper, keduanya sama-sama hanya ingin bertahan hidup.
“Apa kemampuanmu sebagai esper?” Rein kembali bertanya.
“Time leap, ketika di sekitarku ada suatu insiden yang berpeluang menyebabkan kematian seseorang, aku bisa mengetahuinya, dan diperbolehkan untuk mengubah takdir seseorang dengan keputusanku, menyelamatkannya atau membiarkannya.”
“Seperti penglihatan masa depan?” tanyaku.
“Tidak. Ini lebih seperti aku benar-benar mengalami hal itu, kemudian kembali melompat beberapa menit sebelum kejadian,” sahut Tera.
Jadi dengan kekuatan itu dia kemarin menyelamatkanku. Hampir mati oleh esper, kemudian diselamatkan oleh esper yang lain. Ya… takdir benar-benar konyol.
“Apa kau tahu esper yang memiliki kemampuan menusuk jantung manusia?”
“Kenapa kau menanyakan itu, Zidane?” Iren terlihat sedikit bingung karena tiba-tiba menanyakan hal yang sedikti menyimpang jauh.