1999: ANTARA CINTA ANAK MONYET DAN AMBISI
“Peringkat tiga? Bisa-bisanya nilai kamu turun!” Bapak membentak sambil menendang piring berisi nasi dan telur goreng yang baru kumakan sesuap. Butiran nasi berceceran di lantai juga dinding, entah ke mana perginya telur gorengku, mungkin sudah ada di bawah kolong kasur.
“Ma… ma… maaf, Pak.”
Air mataku sudah tidak bisa terbendung, tenggorokan tercekat. Selalu seperti ini jika Bapak mulai marah. Marah kepadaku, marah kepada adik, juga kepada ibu. Sebenarnya Bapak sangat penyayang dan bertanggung jawab kepada anak-anaknya, terlalu sayang hingga lebih mirip manusia menyebalkan yang posesif dan obsesif, gampang sekali emosi, ringan tangan dan minta menang sendiri.
Tidak banyak yang kuingat, saat itu aku kelas empat SD. Kata ibu seharusmya aku mendapat peringkat pertama di caturwulan ke III, tetapi karena hanya anak buruh serabutan, posisiku direbut oleh “Si Pangeran”. Nilainya dikatrol oleh wali kelas yang kebetulan adalah guru Bahasa Indonesia , ibuku tidak terima, beliau protes.
“Kok bisa nilai Bahasa Inggris 10? Apakah sesempurna itu? Sedangkan nilai anak saya seringnya lebih tinggi daripada dia.” Setelah dicek, ternyata guru Bahasa Inggris tidak pernah memberi nilai 10 kepada siswa tersebut.
Akhirnya, nilai Bahasa Inggrisnya kembali normal, tetapi nilai Bahasa Indonesianya dinaikkan satu poin. Memang dasar curang, sudah tidak tertolong lagi. Ibu menyerah, aku dipindah ke SD lain yang lebih bagus kualitasnya. Syukurlah, peringkatku kembali seperti semula, aku menjadi juara kelas, tanpa ada drama kecurangan lagi.
***
“Fian! Jangan iseng!” sebal sekali, baru hari pertama masuk sekolah, aku sudah dikerjai oleh ketua kelas, ah dia lebih cocok kusebut sebagai ketua geng preman kelas. Mentang-mentang anak orang kaya, tampan, berkuasa, dan posturnya yang lebih bongsor dibanding anak seumurannya, dia jadi semena-mena. Hari ini adalah hari pertama pindah sekolah, sudah kelas lima SD. Aku ingat sekali rambutku dikuncir setengah, kalian paham kan maksudku? Iya kunciran seperti pendekar, bagian atas saja, sedangkan bagian bawah dibiarkan terurai, sekarang rambutku lebih mirip sapu ijuk yang mekar mengembang ke atas, karena Fian dengan sengaja melepas karet rambutku dari belakang, setelah daritadi sibuk mengolok-olok. Saat itu aku tidak sadar, ternyata penyebab dia iseng padaku adalah karena naksir, katanya aku cantik, alamak! Masih SD! Pubernya sungguh terakselerasi, maklum anak kota. Begini ceritanya.
***
Pagi itu langit mendung, aku dan Cindy sudah sampai di sekolah. Seperti biasa, aku pasti membawa dagangan makanan buatan Ibu. Ya, meskipun masih kelas lima SD, aku selalu semangat untuk jualan, ada mi goreng, bihun goreng, nasi goreng, lumpia rebung, dan donat kentang, Ibu juga membuat nasi bungkus, terkadang kubawa ke sekolah karena guru-guru dan sebagian teman ada yang memesan, tapi lebih sering ibu menitipkan nasi bungkus di warung-warung pinggir jalan. Hasilnya lumayan untuk tambahan penghasilan sehari-hari. Tidak perlu malu, bukankah kita harus memiliki semangat berwirausaha sejak dini?
“Lin, ada apa itu di mejamu?” Cindy menunjuk sesuatu berbentuk persegi panjang dibungkus kertas sidu. Mataku membelalak kaget, melihat bungkusan itu, tapi aku sudah bisa menebak "sepertinya itu cokelat" , batinku, tapi aku pura-pura tidak tahu dan membalas perkataan Cindy dengan menaikkan bahu dan senyum datar. Kubuka perlahan bungkusan itu dan benar…
“Cokelat Lin! Wah, dari siapa tuh?” Cindy berteriak kegirangan, buru-buru kututup mulutnya dengan telapak tangan. “Sssstttt! Jangan kencang-kencang, aku malu.”
“UNTUK LINLIN”, hanya itu tulisan yang ada di bungkus kertas cokelat misterius, cokelat mahal yang sangat enak, favorit anak-anak SD zaman itu. Entah mengapa bukannya senang, aku malah takut. Takut kepada Ibu. Takut menjawab pertanyaan “dari siapa itu Lin?” Takut dituduh pacaran. Takut dimarahi. Takut dipukul. Jangan salah, meski Bapak galak kepada Ibu, lebih galak lagi ibu jika sudah memarahi anak-anaknya. Aku sudah diwanti-wanti dari jauh hari dengan doktrin, jangan pacaran! harus sukses! jadi profesor! tidak perlu menikah! menikah itu sengsara! Sudah mirip mantra simpai Biksu Tong kepada Kera Sakti yang dibaca dari pagi hingga pagi lagi, setiap hari.