LINTANG

De Gia MJ
Chapter #1

1

Siang itu, saat jalanan Ibu Kota masih padat-padatnya, gadis pemilik lesung pipit menatap pusara orang yang telah melahirkannya dengan perasaan campur aduk. Tak terasa sudah genap 7 tahun ibu meninggalkannya dengan deretan lara yang belum sembuh sepenuhnya. Bait-bait kisah masih terbungkus rapi dalam kenangan, dia juga tak berniat melupakan meski hanya secuil.

           Tersenyum sebelum menyeka mata. Tatapannya semakin teduh, seperti ada ribuan kata yang ditata serapi mungkin sebelum diutarakan. Namun, hasilnya tetap sama, kebisuan. Iya, meski berulang kali duduk di tempat yang sama, tetap saja tak mampu berutara; seperti ada beban berat yang menghalangi mulut terbuka.

           “Ibu, lain kali Ince ke sini lagi. Maaf, Ince harus pergi.” Hanya kata itu yang mampu terucap—sedari dahulu—setelah doa-doa dilangitkan.

           Dia berlalu, menyusuri ruang kesunyian penuh harapan. Mencari lentera-lentera kecil sekadar menerangi jalan. Namun, tetap saja semua masih sama. Berulang kali mencoba, hasilnya belum sempurna. Kembali menyeka mata, tersenyum tipis melihat deretan bunga ditata rapi. Tetap melaju, netranya gemar menjelajah. Mengamati tiap kejadian dalam dunia fana. Mobil, motor, becak, bus, truk hilir mudik. Pedagang asongan semangat menjual dagangan, tak peduli peluh membanjiri.

           30 menit berlalu, sekitar 2,5 kilometer jalan dilalui. Kali ini kaki gadis itu berhenti di sudut kanan jembatan gantung. Tersenyum, mengembuskan napas penuh syukur. Mengambil botol mineral di saku tas punggung, meneguk air hingga tandas sebelum mengembalikan botol itu di tempat semula. Kali ini tangannya mencari karet rambut di saku tas sebelah kiri, mengikat asal rambut sepinggangnya ke atas agar tak terasa gerah. Kembali melaju, sekitar 1 kilometer lagi sampai di tempat tujuan—Universitas Ibu Kota—tempatnya menuntut ilmu.

           Kemuning jingga membungkus kota. Saat itu Ince baru keluar dari kelas, terlihat dari buku kecil dan pulpen masih di tangan. Tersenyum, lesung pipitnya sangat ketara, menjadikan suasana semakin manis di waktu senja ini. Sore ini dia tak ingin melakukan apa pun selain segera pulang dan mengistirahatkan badan. Rasa lelah menyapa, tak salah, tadi memang ada kuis di kampus.

           Kembali berjalan, tak terlalu jauh, hanya sekitar 2 kilometer untuk sampai di rumah. Alunan musik dari headset di telinga jadi teman sepi. Ince sampai di rumah saat langit sudah gelap. Membuka kunci pintu rumah sebelum menutup kembali. Gelap, hanya sakelar di kamar yang dia nyalakan.

    Mengembuskan napas panjang sebelum menaruh tas dan mendudukkan diri di depan meja belajar. Terdiam cukup lama. Pantulan diri dari cermin membuat otak semakin liar berkelana. Cuit burung di ujung dahan memecahkan keheningan. Mengambil buku kecil yang selalu di bawa ke mana-mana. Mencoret-coret, menuliskan deret aksara yang dia pun tak paham artinya.

           Dunia menuntut daksa menjejak kisah penuh makna, tetapi sukma takut terluka. Semesta ikut bersua memberikan bait elegi tanpa nada, walaupun jiwa menolaknya. Detik ini hanya berujar seperti sedia kala, “Aku lelah Tuhan!”

           Embusan angin malam membuatnya tersadar akan letih yang menyapa. Tersenyum, menatap lukisan di sisi kanan ranjang. Senyum anak-anak berusia 6 hingga 8 tahun membuat batinnya menghangat. Seketika semangatnya kembali membara. Untuk kesekian kalinya, dia putuskan mengabaikan lara.

           ***

           Pagi yang cukup menakjubkan. Mentari telah sepenuhnya menyinari kota, menjadikan hangat menyelimuti daksa. Di ujung kanan jalan, Erum—anak berusia 8 tahun yang memiliki rambut lurus sebahu dan kulit sawo matang—tampak mencari seseorang. Embusan napas panjang terlihat cukup menyedihkan. Lagi-lagi dia ditinggal teman-teman entah ke mana.

           “Aish! Gak seru mereka! Aku selalu ditinggal!” gerutu Erum seraya duduk di pinggir jalan dengan wajah masam.

           Tanpa dia ketahui 3 temannya bersembunyi di belakang tembok sebelah kananya duduk. Mereka berusaha menahan agar tak tertawa melihat wajah masam Erum.

           Dari sisi kanan juga Ince yang berniat mengunjungi mereka menatap penuh tanya, melihat 3 anak bersembunyi di belakang tembok bukan hal yang biasa, terlebih sambil menahan tawa. Biasanya saat dikejar Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) mereka akan panik, kebingungan, takut ditangkap.

Lihat selengkapnya