*****
Gadis itu tertunduk ketika guru memarahinya. Ia mendekap dirinya sendiri begitu erat. Sesekali tangan kanannya mengelus pergelangan tangan kiri yang tertutup jaket. Poninya yang telah panjang yang terselip pada daun telinga jatuh menutupi mata. Mata itu terpejam kala guru menjatuhkan perintah untuk keluar. Si gadis berdiri kemudian melangkah keluar kelas, masih dengan kepala tertunduk. Serempak suara, "Huuuu..." dari sebagian siswa mengiringi langkah cepatnya.
Lintang nengamati semua, setiap gerak-gerik si gadis tanpa terlewat. Namanya Yulia, si pintar nan penyendiri. Pernah satu hari di hari pertama masuk kelas, Lintang mencoba mengajak Yulia berkenalan, namun si gadis hanya setia menunduk tanpa mau menyambut uluran tangan Lintang. Gadis Tunduk, begitu julukannya.
"Jaket lusuh seperti itu masih juga dipake!" Celetuk salah satu siswi yang duduk di belakang Lintang. Teman sebangkunya pun menanggapi dengan kikikan.
Retno, teman sebangku Lintang membuka buku dengan kasar. Ia jengah dengan sifat kekanakan teman-teman sekelasnya. Begitu ringannya mulut berucap atas nama gurauan. Segala hal sepele dijadikan lelucon, tanpa mereka mau memahami bahwa tindakan tersebut mampu melukai si korban.
"Kau seharusnya menggunakan kuasamu untuk membungkam mereka! Cih, tapi nyatanya sama saja! Mungkin kau terlalu cinta terhadap titel siswi populer! Atau mungkin kau sama seperti mereka, alergi dengan siswa udik yang dekil!" Sindiran itu ditujukan Retno untuk Lintang.
Retno adalah teman sekelas Yulia di tingkat pertama. Ia pernah bercerita padanya bahwa Yulia yang ia kenal sekarang berbeda dengan Yulia si kelas satu. Gadis itu dulu sangat aktif dan ceria. Ia tipe orang yang senang bergaul dan mampu membuat temannya betah mendengarkan ceritanya. Semuanya berubah karena satu siswi populer yang iri. Siswi tersebut menyerang fisik Yulia; kurus, dekil dengan warna kulit gelap. Bak jamur di musim penghujan yang tumbuh subur, cemoohan demi cemoohan berubah menjadi sebuah tren dan tren itu menyebar di tiga tingkat kelas sekaligus. Bullying verbal bak primadona saat ini di lingkup SMP Bakti Negara.
"Lalu, kenapa kau tidak membelanya jika diam adalah salah?" Lintang tak terima jika ia dibebankan satu tanggung jawab yang segitu besarnya. Ia bukan pahlawan dan ia tidak mau menjadi pahlawan.
Retno menatap Lintang dengan mata berkaca-kaca. Ia membuka dua kancing seragam teratas lalu menyingkapnya, memperlihatkan pundak sebelah kanan yang dihiasi sebuah garis panjang. Seperti bekas luka yang sudah mengering.
"Aku ini siapa, Lintang?" Ucapnya menahan tangis.
*****
Rembulan menatap sepatu kets putihnya dengan wajah kesal. Ia baru saja selesai menunaikan shalat dhuhur dan mendapati sepatu yang ia letakan di pojok luar musholla telah berisikan permen karet bekas. "Kalian belum tahu siapa aku ya?" Dumelnya seraya berjongkok guna membersihkan sepatunya.
"Ih, Lan! Kau jorok sekali!" Ucap Lintang yang sudah duduk di sampingnya.