Hujan membasuh jantung Ibu Kota. Jalanan basah. Rerumputan basah. Gedung-gedung pencakar langit basah. Pepohonan yang berbaris di sepanjang jalan basah. Sesekali pucuk daunnya dihempus oleh tangan-tangan angin. Satu-dua daunnya yang kering terpelanting dan jatuh ke aspal. Air hujan yang menggenangi jalan berlarian menuju drainase. Membawanya kembali ke lautan. Tempat asal-muasal mereka sebelum menguap ke angkasa. Jalanan tidak begitu ramai. Kendaraan masih ramai seperti hari-hari biasanya. Meski tidak semacet beberapa tahun yang lalu. Lengking klakson bertalu-talu. Salak-menyalak sehingga memekakkan telinga.
Seseorang menginjakkan sepatunya tepat pada genangan air yang berkubang di jalan sehingga cipratannya mengenai ujung celana hitamnya. Lalu pemuda itu berdiri di tepi jalan yang berada di depan sebuah gedung kantor surat kabar tersebut. Menunggu taksi yang datang. Gerimis masih melayang-layang di langit yang terbalut kelambu hitam. Mendung berputar-putar menuju utara. Bintang-gemintang belum menampakkan dirinya. Bulan sabit tampak temaram disaput awan kelam. Selang beberapa jurus kemudian, sebuah taksi biru muda melaju ke arahnya. Ia melambaikan tangan untuk menghadang. Taksi tersebut menepi dan berhenti. Bannya berdecit. Pemuda itu masuk melalui pintu belakang. Ia duduk di belakang sopir setengah baya yang melihatnya di kaca spion.
“Mau ke mana, Mas?” Sopir melirik ke arahnya dengan bertanya ramah.
“Antarkan saya ke apotek Medika Farma, Pak.” Pemuda itu melepaskan tas cangklongnya dan meletakkan di kursi sebelah.
“Baik, Mas.” Sopir taksi mengangguk. Lalu kembali menyetir taksinya menuju ke pinggiran kota. Sesekali sopir itu memperbaiki posisi duduknya. Kadang tubuhnya seperti menari. Pemuda itu menatapnya dengan aneh.
“Kenapa, Pak?”
“Saya cari posisi duduk yang sekiranya nyaman. Kalau terlalu minggir, rasanya sakit. Terkadang panas.”
“Memangnya sampeyan punya penyakit apa?”
“Ambeyen, Mas.” Sopir menginjak pedal gas untuk menambah kecepatan taksi. Di depan taksi tampak sebuah mobil sedan warna merah darah melaju pelan. Lalu sopir taksi menyalip mobil tersebut.
Pemuda itu mengangguk.
“Sudah berapa tahun sampeyan ambeyen, Pak?” Pemuda itu mengeluarkan ponsel android-nya.
“Ini sudah mending, Mas. Artinya sudah sedikit mengecil. Beda dengan lima belas tahun yang lalu. Benjolannya besar. Saya sangat tersiksa sehingga saya sering tidak masuk kerja. Untungnya majikan saya pengertian.”
Pemuda itu kembali mengangguk.
“Memang ada obatnya yang bisa membuat ambeyen mengecil, Pak?” Pemuda itu memasang muka penasaran. Sebab dirinya juga menderita penyakit paling menyiksa itu.