Lintang Kelana

Imajinasiku
Chapter #2

2.Sepucuk Surat Dari Bapak

Keesokan harinya, di sore yang temaram, mendung masih menggelayut di langit. Matahari terbenam dalam selendang kelabu. Sejak pagi, cahayanya masih malu-malu menatap kehidupan. Bunga-bunga di taman rumah terlihat murung. Burung-burung menari dengan wajah sedih. Pepohonan yang berbaris di sepanjang jalan bermuram durja. Rerumputan meringkuk dalam dingin yang membawa aroma kematian. Pemuda itu duduk menyendiri di balkon kantor dengan ditemani secangkir kopi panas sambil menatap renjana yang dibalut gerimis halus. Tampak dua pasang kupu-kupu memadu cinta sambil bermain hujan-hujanan. Hati tak hirau apa pun meski tubuh basah kalau sedang dilanda kasmaran sungguh menyenangkan. Ia mengangkat gagang cangkirnya, lalu diseruputnya kopi panas itu perlahan. Tenggorokannya menjadi basah hingga meresap ke dalam jiwanya. Ditatapnya kembali halaman kantor tersebut yang kini menjadi basah. Gerimis halus berubah menjadi rintik-rintik hujan yang memainkan kaki-kaki kecilnya di tanah.

Untuk yang kesekian kalinya ia kembali merasa nyeri di pantatnya. Hanya dirinya yang dapat merasakan sakitnya. Orang lain hanya bisa berkomentar dengan mengatakan pasti akan sembuh juga asal rutin mengonsumsi obat. Penyakit datangnya dari Tuhan, dan manusia hanya bisa pasrah dan menerima dengan lapang dada. Ah, orang lain pasti menduga kalau penyakit ambeyen cukup bisa disembuhkan dengan cara mengonsumsi obat. Tidak kuat lagi menahan rasa perih, ia meraih obat yang diletakkan di sebelah cangkir dan meletakkannya di lidah. Didorongnya obat tersebut dengan menyeruput kopi. Entah berapa ribu butir obat lagi yang harus ia telan. Ia sudah bosan mengonsumsi obat. Kalau ia biarkan dengan tidak meminum obat, maka penyakitnya seperti dicubit-cubit kepiting. Kadang sampai mengeluarkan nanah yang rasanya panas. Kalau tidak masuk kerja sih masih mending tidak dilihat orang. Tapi ini di kantor. Malu kalau ketahuan sama kawan-kawannya. Terutama kawan perempuan. Ia akan dikira sedang menstruasi.

Setelah menghabiskan waktu sore sejenak dengan menyeruput kopi, pemuda itu kembali ke ruangannya. Di tengah jalan ia berpapasan dengan karyawati yang sedang beres-beres hendak pulang. Sudah waktunya pulang ke rumah. Ia melihat jam di tangannya. Sudah pukul 16.45. Ia membalas sapa karyawan dengan mengangguk dan mengulum senyum. Posisinya yang sebagai editor dalam jajaran redaksi membuatnya cukup disegani. Apalagi usianya masih muda, 30 tahun. Belum lagi karya artikelnya yang melanglang buana dan banyak dijadikan referensi tulisan oleh mahasiswa dan dosen.

Saat ia hendak memutar gagang pintu ruangannya, seorang pemuda mengenakan kemeja lengan panjang warna putih dan celana hitam memanggilnya. Pemuda itu berdiri tidak jauh darinya. Di tangannya pemuda tersebut memegang berkas.

“Lan, kamu belum pulang?” Pemuda itu bertanya dengan mengulum senyum. Lantas berjalan menghampirinya.

“Belum. Masih ada kerjaan. Aku harus menyelesaikannya sore ini juga.”

“Ooo...”

“Kamu, kenapa belum pulang?” Pemuda itu memegang gagang pintu.

“Ya ini aku mau pulang. Tapi sebelum itu aku harus memberikan ini sama Pak Hendro.”

Pemuda itu mengangguk.

Sorry, ya! Semalam aku musti menceritakan soal Alifah lewat telepon. Tidak bilang ke kamu secara langsung.”

“Tidak apa-apa.” Pemuda itu tersenyum getir.

“Aku sih juga tidak sengaja memergoki dia lagi gituan di salah satu kamar apartemen di mana aku tinggal. Soalnya selama ini aku tahu kalau kamu menyukai dia dan aku tidak ingin kamu dikecewain sama dia. Makanya aku langsung menelepon kamu pas aku lagi melihatnya.” Pemuda itu menjelaskan dengan memasang wajah prihatin.

“Tidak apa-apa. Yang paling penting aku sudah tahu siapa Alifah.”

Lihat selengkapnya