Namaku Leona, mungkin pikiran pertama yang ada di benak kalian adalah seekor singa. Ya begitu pula kira-kira yang akan ada di pikiranku kalau saja nama ini bukanlah namaku sendiri. Mama memanggilku Leon sejak dulu, begitu pula dengan teman-temanku, memanggilku dengan nama yang sama. Leon hampir terdengar seperti Lion. Seandainya aku bisa memilih namaku sendiri, hal yang paling pertama aku lakukan adalah memohon, mama jangan nama itu, tapi ya sudahlah, nama adalah sebuah doa. Mungkin ini adalah doa dari orangtuaku, agar aku bisa sekuat singa. Tapi meski namaku seperti singa, sama sekali tak ada sedikitpun sifat buas dalam diriku. Selebihnya aku hanya seorang anak perempuan yang sangat perasa. Bahkan aku bisa menangis karena hal kecil. Aku juga hanya seorang anak perempuan biasa yang lahir dari seorang wanita yang pernah terbuang dan hidup di keluarga yang dingin meskipun terlihat seperti keluarga yang hangat. Tak ada yang istimewa dariku kecuali orangtuaku yang ganda. Iya, dua ayah dan dua ibu. Aku sudah terbiasa dengan semuanya, meski kupikir duniaku runtuh saat mama dan papa tak lagi bersama. Amarahku pecah saat itu, aku benci mereka berdua, tapi ternyata cinta yang bertahan di atas pengkhianatan juga tidak baik. Dari itu aku paham, bahwa tetap bersama bukan satu-satunya solusi dari sebuah pernikahan.
Sejujurnya aku tidak bisa mengingat rupa ayahku sendiri, kapan terakhir kali aku melihatnya pun aku tidak ingat. Seingatku mama menikah dengan ayah tiriku sejak aku kecil. Jadi sampai saat ini ayah yang aku kenal hanya ayah tiriku. Menurutku ayah tiriku adalah ayah yang cukup baik untuk menjadi rumah bagi mama dan juga bagiku untuk berlindung. Meski tak banyak pula obrolan yang keluar antara aku dan ayah. Aku hanya takut, takut salah bicara. Aku memang orang yang tak bisa banyak bicara dan banyak basa-basi. Daripada menggunakan lisan, mungkin aku termasuk orang yang jauh lebih banyak menggunakan perasaan. Begitu pun dengan mama, aku juga tak banyak bicara dengan mama. Apalagi membicarakan tentang mantan suaminya. Aku takut pembicaraanku hanya akan membuat lukanya semakin terbuka. Ayah kandungku memang pergi begitu saja. Tanpa ada penjelasan, bahkan tanpa ada kata-kata bahwa dia tak lagi mencintai mamaku. Ini hanya tebakanku saja, sepertinya ayah meninggalkan mama karena aku bukan yang dia inginkan, atau mungkin keberadaanku hanya membuatnya terikat dengan mama. Selain tentang bagaimana cerita ayah meninggalkan mama, ada juga hal yang membuatku begitu ingin tahu, meski sebenarnya akan jauh lebih baik jika aku tidaklah tahu. Ini tentang masa lalu mamaku. Yang aku tahu, mama itu cantik, jadi tidak heran mama akan segera menemukan seseorang yang begitu mencintainya setelah ayah pergi meninggalkannya, bahkan laki-laki itu menikahi mama dan juga menerima aku sebagai ekornya. Selain cantik, mama juga punya kenangan buruk di masa lalunya. Itulah hal yang aku ingin tahu tapi aku juga takut untuk mengetahuinya. Biarlah waktu yang menceritkan semuanya, aku hanya ingin tahu kalau memang aku perlu tahu, seandainya aku tidak perlu tahu, maka aku tidak akan mencari tahu.
Hari ini, Bandungku masih sama seperti seharusnya. Tetap hangat walaupun dedaunan pun tak selalu diam, ada sedikit angin berhembus sebagai pelengkap sinar matahari agar tak terlalu terik. Jam tanganku terasa berjalan sangat lambat. Bahkan aku sampai lelah menunggu detiknya berputar. Hari ini adalah pertama kalinya aku masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Sebenarnya mamaku selalu berharap aku bisa masuk perguruan tinggi negeri. Tapi apalah daya, otakku tak begitu encer. Yang aku miliki hanya sedikit kecantikan, mereka bilang wajahku sama persis seperti mamaku saat masih muda. Dan aku banyak mendapat kemudahan dari wajahku. Saat aku sekolah dulu, aku selalu dibantu oleh teman laki-lakiku yang pintar untuk mengerjakan tugas. Harga diriku sedikit menunduk saat itu, tapi apalah daya, otaku yang tidak dapat diajak berpikir kadang terpaksa membuatku begitu.
Kelasku lumayan jauh dari gerbang kampus. Aku harus berjalan cukup jauh untuk menuju kelas, ditambah lagi dengan jalannya yang lumayan menanjak. Sepertinya kampusku dulu adalah sebuah gunung atau bukit atau apalah itu, yang jelas jalannya mampu membuat nafasku terengah-engah. Aku memang tak mahir mengendarai motor, apalagi mobil. Mungkin ini karena aku terbiasa di antar jemput oleh mama. Ya si Leona manja memang. Tapi setelah menjadi mahasiswa, aku memutuskan untuk tidak lagi diantar jemput mama, aku ingin belajar mandiri, apalagi antara kampus dan rumahku dilewati oleh bis kota yang cukup nyaman, dan ongkosnya pun tak terlalu mahal. Cocok di kantong mahasiswa sepertiku. Di tengah jalan menuju kelas, tiba-tiba ada seorang mahasiswa menawariku tumpangan di mobilnya, aku tahu dari sinar matanya, itu bukan ikhlas. Tapi itu sinar mata seperti anjing kelaparan yang melihat daging. Aku menolak tumpangan itu secara halus. Aku ingin belajar dengan nyaman disini, bukan hanya untuk dibodohi dan dibuat jatuh cinta dengan laki-laki gombal seperti itu. Dasar buaya darat, pikirku. Mungkin karena ayahku bukan laki-laki yang baik, maka aku selalu berpikiran buruk hampir ke semua laki-laki. Sampai umurku 19 tahun, aku bisa menghitung dengan jari tanganku, berapa kali aku jatuh cinta. Jarang sekali aku mencintai seseorang, selama ini aku hanya mengharapkan manfaatnya, itu saja. Mungkin jika begini terus, aku sama buruknya dengan ayahku. Tapi aku hanya tidak ingin seperti mama, ditinggal oleh laki-laki tidak bertanggung jawab seperti ayahku.
Tak terasa aku hampir sampai di kelas, sekali lagi memastikan agar aku tak salah masuk kelas. Dan di tengah mahasiswa baru yang lain, pandanganku seperti tidak asing. Aku melihat Rani, teman sebangku di SMP dulu. Aku hampir tidak mengenalinya. Dulu rambutnya sedikit keriting, tapi sekarang lurus dan berkilau, apalagi kursinya tepat di bawah jendela dan secara tidak sengaja rambutnya tersinar oleh cahaya matahari. Dulu juga kulitnya agak gelap, tapi sekarang dia lebih mirip seperti Kpop. Wah kagum aku melihat perubahannya. Aku menatap ke arahnya dan memadangi si cantik Rani. Dia membalas pandanganku, aku bisa membaca pikirannya, dia pasti sedang memastikan apakah itu benar-benar Leona. Aku memang tak banyak berubah. Aku masih saja begini, bahkan rambutku masih hitam sepunggung dan ikal di bagian bawahnya. Rani tersenyum sampai aku bisa melihat dia hampir melompat kegirangan saat melihatku. Aku pun sama bahagianya dengan Rani. Aku pikir aku akan bosan di kelas baruku, dan malas rasanya harus berpura-pura santun di hadapan teman-teman baruku. Tapi ternyata aku bersama teman gilaku.
Latar belakang Rani memang tak berbeda jauh denganku, dia sama-sama memiliki orangtua yang berpisah. Sama saja sepertiku. Hanya yang membedakannya adalah ayahnya tidak jahat seperti ayahku. Kebalikannya denganku. Ayahnya yang dicampakan oleh ibunya. Seingatku dulu kata Rani, ibunya pergi karena ayahnya bukan laki-laki yang dicintai ibunya. Dan akhirnya ibunya Rani mengejar laki-laki yang dicintainya dan sekarang sudah menjadi suaminya dan juga ayah tiri Rani. Rani juga pernah membenci ibunya karena hal itu, tapi dia hanya seorang anak yang pada akhirnya akan sama sepertiku. Hanya akan menjadi ekor, yang akan mengikuti kemanapun bergerak. Mungkin karena kehidupan keluarga antara aku dan Rani punya sedikit kemiripan, kami bisa bersahabat lekat. Meski harus terpisah saat SMP Rani harus pindah sekolah ke Surabaya, dia harus ikut neneknya, karena Rani nakal di Bandung. Dia pernah kabur bersama pacarnya saat masih SMP. Agak geli mendengar anak SMP kabur dan berniat kawin lari, memangnya istrimu mau makan cinta?. Untunglah keluarga Rani sigap saat menyelamatkan Rani dari kebodohan masa lalunya. Iya si Rani gila memang gila. Dia pintar tapi bodoh soal cinta. Kadang otaknya tidak berfungsi dan diperbudak cinta. Mungkin itu turunan dari ibunya.
Aku duduk di samping Rani, mungkin bagi mahasiswa lain yang melihat tingkah kami, mereka akan melihat matahari bersinar tepat di atas kepala kami, sampai-sampai kami berdua bercahaya kuning saking terangnya karena bahagia. Rasanya seperti menemukan kotak rahasia yang telah lama hilang. Aku tahu banyak rahasia tentang Rani, begitupun dengan Rani, dia juga bagaikan buku harianku, tahu segalanya tentangku.
Hari ini rasanya niatku untuk kuliah dan belajar dengan sungguh-sungguh hanya sia-sia, aku hanya sibuk tertawa cekikikan tiada henti. Aku ingat betul bagaimana wajah laki-laki yang dulu berniat untuk mengajak Rani kawin lari. Tiba-tiba Rani bergumam, “kumis tipis, hitam manis”. Seketika kami berdua tertawa karena hal receh itu. Aku sungguh bahagia bisa kembali bertemu Rani sahabat gilaku. Setidaknya untuk empat tahun kedepan, hidupku akan penuh dengan kegilaan. Dan aku merasa bahwa keluarga yang pecah bukanlah suatu keanehan dan kesakitan. Jam tanganku yang semula lambat sekarang terasa begitu cepat, matahari Bandungku sudah tak lagi hangat, sekarang terasa semakin meredup, tanda matahari harus segera pulang, dan artinya aku pun harus segera pulang. Jam malamku hanya sampai jam delapan malam. Pulang diatas jam delapan malam, itu artinya aku membawa mala petaka dalam hidupku sendiri. ayah tiriku yang gagah dan seram itu akan menghukumku. Sama seperti adiku, dia tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang dan disiplin antara aku atau adiku, anak kandungnya sendiri. Aku punya dua adik, yang satu perempuan, namanya Arlen dia mirip denganku, yang berbeda hanya rambutnya keriting, turunan ayahnya, dan jangan lupa dia juga anak yang pintar. Selalu juara kelas dan popular karena pintar di sekolahnya. Dia masih kelas 3 SMP, sebentar lagi masuk SMA, dan kerennya dia bisa masuk sekolah manapun yang dia mau, karena prestasinya banyak, bahkan sepertinya sekolah-sekolah yang mendaftarkan diri untuk di masuki adikku. Dan adiku yang terakhir, dia laki-laki, namanya Bagus, tapi aku lebih sering memanggilnya embul.bItu ejekan kasih sayang dari seorang kakak untuk adik gemuknya. Dia baru kelas 6 SD, tapi lebih tinggi dari aku, badannya juga gagah, daripada anak kelas 6 SD, dia lebih mirip seperti anak SMA. Tubuh Bagus mirip ayahnya, dia bilang kalau besar nanti dia ingin menjadi polisi agar bisa jaga dua kaka perempuannya. Sedikit terharu mendengarnya, aku kakak perempuan yang di jaga baik-baik oleh adik laki-laki kecilnya, tetapi dibuang oleh ayah kandungnya sendiri. Aku sangat menyayangi mereka.
Sore ini adalah pulang kuliahku yang pertama, aku tidak tahu bahwa bis kota akan sesesak ini di sore hari. Tapi beruntungnya aku masih bisa duduk, tak terbayang rasanya jika harus berdiri berdesakan di dalam bis, kakiku sudah cukup lelah setelah naik turun bukit di kampus tadi. Seperti biasa, aku mencari lagu kesukaanku, kudengarkan sambil menemani perjalananku pulang ke rumah. Kuamati satu persatu penumpang disekelilingku. Tampak guratan-guratan kelelahan di wajah mereka. Tiba-tiba saja pandanganku berlabuh pada seorang laki-laki muda dan anak perempuannya yang kira-kira masih berusia 5 tahun. Perhatian anak perempuan itu tercuri pada sebuah toko sepeda, dia bilang, “ayah, aku mau sepeda itu.” Lalu pandangan si ayah pun meredup lirih memandang anak perempuannya, tanpa mengucap satu katapun, sang ayah hanya memeluk putrinya dan membetulkan posisi sepatu merah sang putri di kakinya yang mungil. Seketika pikiranku menerka-nerka tentang apa yang sebetulnya dikatakan oleh sang ayah dalam hatinya. Tapi hanya satu yang dapat aku simpulkan dari tatapan mata itu, rasa kasih sayang yang begitu besar tak mampu disembunyikan oleh kedua bola mata sang ayah. Walaupun bibirnya mengatup, tapi matanya yang berbicara. Tiba-tiba aku iri dengan sang anak perempuan kecil itu. Seandainya aku didekapan ayah, aku tidak akan marah. Aku hanya ingin ucapkan rindu untuknya. Marahku sudah habis sekarang, yang tersisa hanyalah rindu, itu saja.
Aku turun dari bis kota tepat di depan komplek rumahku, seperti biasa si embul adik gantengku sudah setia duduk diatas motor untuk menjemputku. Walaupun dia masih anak-anak, tapi sudah jago bawa motor, walaupun hanya boleh di dalam komplek, tapi antar jemput teteh merupakan hal yang dia tunggu setiap harinya. Si adik bongsorku itu paling rajin di suruh ke warung. Walaupun hanya 100 meter dia selalu bawa motor. Mama tidak pernah marah akan hal itu. Kata mama itu kesenangan Bagus dan hobinya bawa motor juga cukup membantu. Segera aku menghampiri Bagus, kusembunyikan tanganku di balik badan, agar dia menerka-nerka apa yang di bawa tetehnya. Dan setelah melihat wajahnya, di balik badannya yang besar, adiku tetaplah anak-anak. Senyumnya begitu tulus, dan membahagiakannya cukup sederhana. Hanya dengan sekeresek gorengan, dia bisa berubah menjadi adik yang sangat manis dan bisa di suruh-suruh.
Sesampainya di rumah aku langsung mencari mama, berharap wajah mamaku terlihat sedikit berseri hari ini. Tetapi nyatanya tidak. Mamaku terlihat sedikit lebih tua dibanding usianya sekarang. Mungkin mama kelelahan menjadi jantung untuk rumah kami. Apa mungkin kami terlalu sulit di atur, atau mungkin luka di hati mama masih menganga sampai saat ini. Entahlah, hanya mama dan Tuhan yang tahu. Aku memeluk mama, semakin lama pelukanku semakin longgar di tubuh mama. Aku sedih melihat ini. Mama seperti memliki semuanya, 3 orang anak, seorang suami yang begitu menyayangi. Tetapi mama terlihat hanya seperti cangkang.
Aku segera menuju kamarku. Badanku terasa remuk, jarak rumahku dan kampus tidak begitu jauh, tapi mungkin karena laju bis kota yang lambat, jadi aku harus pergi lebih pagi dan pulang lebih sore. Aku menatap langit-langit kamarku. Ada noda bocor disana, bekas hujan lebat seminggu yang lalu. Langit-langit itu sudah kering, hanya saja bekas airnya tidak menghilang. Sama seperti luka hati, terlihat baik, hanya saja tetap meninggalkan luka. Seperti luka mamaku.
Lamunanku tiba-tiba saja buyar, ketika seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku mancium wangi sup dari balik pintu itu, benar saja, ada mama di balik pintu dengan semangkuk sup yang masih hangat dengan uap yang membuatnya terlihat begitu menggoda. Senyuman mama masih sama, masih manis hanya saja sedikit kosong. Mama menyodorkan mangkuk itu untukku. Tentu saja aku sangat menyukainya. Ini sup macaroni dengan rasa merica yang dominan memberikan rasa hangat di tenggorokan. Rasa ini memang selalu sama, asalkan itu buatan mama. Akan selalu terasa lezat di lidahku.
Aku memang terbiasa makan di kamar jika sudah sore. Karena di meja makan ada ayah tiriku. Dia baik, selalu berusaha menjadi ayah yang adil. Hanya saja aku yang selalu memposisikan diriku sebagi orang lain dalam keluarga ini. Bukan tidak ingin bisa dekat dengan ayah. Hanya saja ada sedikit rasa risih yang aku rasakan. Karena aku ini sudah dewasa, dan ayah tiriku tetaplah laki-laki dewasa dan yang lebih jelasnya tentu saja dia orang lain bagiku. Terkadang pikiran jahatku sering merajalela. Terkadang jika kami semua sedang berkumpul, aku sering tidak sengaja melihat ayah sedang memperhatikanku. Bahkan pandangannya tidak pernah beralih walaupun aku sudah membalas pandangannya. Terkadang aku jijik mengingat pandangan itu. Itu bukan pandangan seorang ayah. Tapi lebih mirip seperti pandangan seorang laki-laki. Mungkin karena wajahku sangat mirip dengan mama, lantas ayah tiriku sedang membayangkan mama dalam bentuk muda?. Entahlah aku tidak tahu dan tidak ingin tahu akan hal demikian.
Mama hanya memandangiku sampai sup yang kusantap habis. Lalu mama bertanya bagaimana hariku. Kuceritakan bahwa aku bertemu kembali dengan Rani sahabatku. Kebetulan mama tau dengan semua sahabat-sahabatku. Karena selama sekolah aku selalu di antar jemput oleh mama. Aku tahu bahwa mama seperti tidak mendengarkan semua ceritaku. Bola matanya menatapku tapi tidak dengan pikirannya. Pikiran mama terasa begitu jauh dari kamarku. Aku merasa seperti bercerita pada sebuah boneka yang memiliki bola mata. Menatap tapi tidak mendengar. Tapi aku tidak marah, karena aku sangat menyayangi mama. Aku tahu bahwa beban hidup mama sangat berat. Lalu kualihkan pembicaraanku, berharap mama akan antusias mendengarnya. Kuceritakan bagaimana konyolnya Bagus adiku yang begitu gemar naik motornya. Wajah mama sedikit berubah. Tampak wajahnya sedikit lebih antusias. Mama hanya tersenyum sembari menggenggam tanganku. “terima kasih”, ucap mama. Aku tak begitu paham maksud dari perkataan mama, tapi rasanya lidahku juga begitu enggan hanya untuk sekedar bertanya, terima kasih untuk apa. Aku hanya berusaha menyimpulkannya sendiri.