Aku kembali ke kamarku. Menurutku inilah surga duniaku. Semua dinding ini bagaikan sahabat yang selalu mendengar segala keluh kesahku, tanpa menyalahkan dan tanpa mentertawakan kemalanganku. Tempat tidur bagiku seperti padang hijau yang sejuk namun tak terlalu dingin menusuk. Tempat tidurku berlapis kain sprei berwarna hijau. Warna kesukaanku. Aku berbaring disana, melepas segala lelahku hari ini. Tulangku terasa terhimpit lelah. Aku mencoba memejamkan mata. Dan kali ini bukan hanya gelap yang kulihat. Tetapi aku seperti melihat sebuah senyuman yang baru saja kulihat, dan aku tersadar bahwa senyuman itu adalah senyuman yang mewarnai perjalanan pulangku tadi. Senyuman itu hanya senyuman biasa saja, tapi bagiku itu sangat menenangkan. Sampai akhirnya aku teringat bahwa namaku saja aku tak sempat ucapkan kepadanya. Untuk pertama kalinya aku merasa seaneh ini.
Seperti biasa aku menatap langit-langit kamarku. Dengan pola lukisan yang sama. Lukisan alam yang dicoretkan oleh sang hujan. Entah kenapa aku sangat suka itu. Bagiku langit-langit yang ternodai oleh bekas air hujan yang tak sengaja membasahi kamarku terlihat begitu unik. Seperti pola yang indah. Dan tiba-tiba saja lamunanku pecah karena seseorang di balik pintu memanggil namaku. Aku tahu itu mama. Jadwalnya memang selalu rutin membawa sup itu setiap hari. Hanya saja isi dari sup itu selalu berbeda setiap harinya. Kali ini sup daging dengan irisan tomat yang sangat menarik mataku untuk segera mengalihkan pandanganku pada mangkuk itu. Saat memandang mangkuk itu, tak sengaja aku menatap lagi luka bakar itu. Seakan mengisyaratkan betapa perihnya luka itu. Mama duduk di kursi meja belajarku, sambil memandangiku menyantap supnya. Tatapannya masih sama tatapan yang lirih. Aku melihat seperti ada rasa bersalah yang sangat dalam dari tatapan itu. Mama selalu menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa memberikan kenangan baik dari seorang ayah. Sejujurnya aku tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Karena aku tak bisa memilih dari orangtua mana aku dilahirkan, dan sejujurnya aku tak pernah mengingat ayahku sendiri, jadi aku sama sekali tidak terganggu dengan ketidakhadiran ayah dalam hidupku.
Mama terus memandangku dalam diam, memandangku sangat dalam. Sampai-sampai aku bisa melihat mata mama yang sedikit berair. Aku memang bukan tipe manusia yang suka mendramatisir keadaan. Aku menepuk tangan mama, “tidak perlu minta maaf, bukan salah mama”. Ucapanku hanya sesingkat itu memang, tapi setidaknya ucapanku terlihat sedikit memberi ketenangan untuk mama.