Singa yang Tersesat

diana primanita
Chapter #3

Ketika Semesta Mempertemukan

Hari ini adalah hari yang sangat aku nantikan, meski aku tak mengakuinya. Ini hari dimana dia pesiar, keluar dari asrama. Entah dia sama denganku, menunggu hari ini atau tidak. Tapi aku hanya berharap dapat bertemu dengannya lagi. Mungkin aku hanya penasaran, ingin melihat senyum itu lagi atau mungkin aku hanya ingin mencoba kemampuanku dalam menjual kecantikanku. Entahlah. Selama ini belum pernah aku merasa sepenasaran ini.

Aku hanya memasrahkan semua pada semesta kali ini. Pertemuanku sama sekali tanpa teknologi. Tanpa nomor telephone yang bisa mempermudah dan tanpa no WA untuk berbincang erat. Aku hanya mengikuti arah kaki untuk bisa bertemu dengan kakinya juga.

Kali ini aku pergi kuliah dengan sedikit berbeda. Rambutku yang masih basah sehabis keramas, kali ini aku keringkan terlebih dahulu dengan hair dryer. Maaf mentari, kali ini aku tidak butuh bantuanmu mengeringkan rambutku, aku bergumam dalam hati. Aku juga menyemprotkan sedikit parfum kesukaanku. Parfum ini oleh-oleh dari paris. Hadiah ulang tahunku beberapa bulan yang lalu. Aku sangat suka wanginya. Harumnya manis, dan hanya aku pakai di saat-saat tertentu saja.

Hanya itu saja keistimewaanku hari ini. Aku sudah merasa cukup cantik saat mulai menaiki bis kota yang melaju menuju kampusku. Bis kota ini mulai mengelilingi kota Bandung. Si kota Kembang, rumah kesayanganku. Aku selalu berharap untuk selalu menjadi penghuninya. Bahkan aku pun ingin mati di tanah ini. Tanah indah nan damai dengan segala kesaksiannya tentang bagaimana aku menjalani hidup ini. Bis kota ini lebih nyaman dari biasanya. Perjalananku ini diiringi lagu pilihan sang supir. Lagu itu adalah lantunan violin cover. Lantunan violin ini begitu terdengar menyayat di telingaku. sangat indah dan mampu mencampur aduk hati ini. Karena indahnya perjalanan ini, aku sampai terlupa bahwa kampusku sudah di depan mata.

Aku sedikit berlari ke arah kelasku. Mungkin karena pagi ini aku sedikit membuang waktu dan menolak bantuan mentari untuk mengeringkan rambutku, maka aku harus sedikit berlomba dengan waktu. Kelasku akan segera dimulai sebentar lagi. Aku hanya tak ingin terlambat. Memang kami diberikan toleransi untuk terlambat sampai sepuluh menit. Tapi aku tak mau menjadi pusat perhatian dari puluhan pasang bola mata yang mulai bosan. Jadi aku lebih baik berlari agar hal itu tidak terjadi.

Aku berlari dan rasanya parfumku ini akan sia-sia. Wanginya hanya akan terbuang bersama angin saat aku berlari. Kelasku sudah dekat. Aku berhenti berlari. Aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri dan rasanya denyut nadiku seperti ingin keluar dari dalam kulit. Kulihat sekeliling, tapi aku tidak bisa menemukan dimata batang hidung si gila itu. Rani memang benar-benar pemalas. Aku yakin dia masih belum sampai di kampus. Dia akan datang jika waktu toleransi 10 menit itu hanya tinggal tersisa beberapa detik. Berbeda denganku, Rani lebih suka menjadi pusat perhatian. Baginya masuk kelas saat semua sudah hadir, membuatnya merasa berjalan di atas red carpet. Memang si gila itu memiliki tingkat pemikiran diluar nalarku.

Aku duduk di kursiku, kursi langgananku. Tidak terlalu depan, tapi juga tidak terlalu belakang. Dekat dengan jendela dan sinar matahari, aku pasti akan terlihat sangat bersinar duduk disini. Tujuanku memilih duduk di kursi ini adalah agar aku tak mengantuk. Jika mataku mulai lelah, aku bisa memandang keluar kelas, melihat rerumputan yang hijau, terlihat seperti tempat tidur yang sangat nyaman bagiku. Mata kuliahku sudah dimulai, aku datang tepat waktu. Tapi seketika aku ingin tersenyum ketika mendengar suara sepatu berlari di sepanjang koridor kelas, itu pasti suara kaki si gila itu. Beberapa detik kemudian, benarlah sang pemilik langkah kaki itu muncul. Seketika perhatian kelas tertuju padanya. Aku membayangkan betapa malunya jika aku yang harus berada di posisi itu. Tapi dia terlihat biasa saja, malah senyumnya terlihat mengembang melihat semua pasang bola mata memperhatikannya.

Dia melangkah ke arahku, karena memang kursinya berada di sebelahku. Dia mencubit pipiku dan hari ini dia terlihat lebih ceria dari biasanya. Senyumnya yang biasa mengembang, kini terlihat lebih manis dari biasanya. Aku mencoba menebak apa yang membuatnya begitu melangit pagi ini. pasti soal lelaki, pikirku. Rani memang biasa bahagia akan hal-hal yang aku anggap receh. Kalau tidak karena lelaki, dia biasa bahagia karena ibunya bertengkar dengan ayah tirinya. Rani sering bercerita bahwa baginya cinta itu menjijikan, tapi juga bisa membuatnya semakin gila karena cinta. Semenjak ibu Rani pergi dengan laki-laki yang sekarang menjadi ayah tirinya, dia hanya akan berdoa untuk meminta satu hal. Dia bilang dia ingin melihat cinta yang menyakitkan, sama sakitnya seperti hati ayah kandungnya. Itulah sebabnya Rani selalu bermain-main dengan cintanya. Semakin banyak cinta yang hadir, dan ketika dia mampu merusak hati seorang laki-laki yang mencintainya, dia merasa seperti membalaskan dendam ayahnya yang tersakiti karena cinta.

“Dapet mangsa?”, tanyaku seraya berbisik. “ini mangsa empuk, laki orang. Tua tapi bermanfaat”. Jawabnya sambil tersenyum lebar menunjukan giginya yang berjajar rapi. Aku enggan untuk memperpanjang lagi, tapi aku pun sedikit penasaran. Hal gila apalagi yang sedang dia lakukan. Aku tidak pernah mencoba mengorek kehidupan Rani sampai dalam, hanya saja dia sering bercerita padaku. Aku bagaikan air yang sangat dalam dan pekat, yang selalu menenggelamkan batu dan batu itu akan masuk sangat dalam dan tak akan pernah terlihat lagi. Begitu pula denganku, semua rahasia Rani hanya akan menjadi penghuni abadi di dalam memoriku. Tak akan pernah muncul kembali ke permukaan. Aku tahu Rani sering berganti-ganti pasangan, bahkan saat ini sedang mencoba menyebrang ke ranah pernikahan orang lain. Menggoda laki-laki milik orang lain. Meski dia tak begitu cantik, tapi Rani adalah orang yang sangat handal dalam membuat hati laki-laki terombang-ambing dalam ombak perasaan berbunga-bunga.

Lihat selengkapnya