Sesampainya di rumah, aku mencari mama. Aku menuju dapur, jantung dari rumah kami. Tempat mama memberikan kehidupan dalam keluarga ini. Tapi dapur kali ini terasa berbeda. Tak ada tanda-tanda kehidupan disana. Semua peralatan masak mama tertata rapi. Tidak ada tanda-tanda sedang mangabdi kepada sang pemilik. Ternyata mama tak ada disana, aku menuju kamar mama. Rasanya aku sampai tidak dapat mengingat berapa lama aku sudah tidak pernah menginjakan kakiku ke kamar mama. Mungkin saat aku kecil dan terjaga di tengah malam karena takut akan keheningan dan kegelapan, itulah saat terakhir kali aku masuk kamar mama. Dengan ragu, aku mengetuk pintu kamar mama. Tapi tidak ada jawaban dari balik pintu. Aku memberanikan untuk membuka pintu itu, aku tahu ayah tiriku tidak ada di dalam. Mobilnya tidak ada di garasi, itu artinya dia belum pulang.
Aku melihat mama sedang terbaring dengan selimut hampir menutupi wajahnya. Saat seperti ini aku mulai menyadari bahwa mamaku tak setangguh yang aku kira. Tubuhnya semakin lama semakin kecil. Bahkan hampir tidak terlihat mama berbaring disana, karena hampir rata dengan kasurnya. Aku penasaran apa ketukanku yang begitu tak bertenaga atau mama terlelap begitu dalam, sampai-sampai mama tak menyadari keberadaanku di dalam kamarnya.
Aku mendekati mama yang sedang terlelap, aku tak sengaja melihat tangannya yang terkulai. Dan luka bakar itu masih ada, meski sepertinya rasanya tak seperih kemarin. Melihat luka itu, aku menjadi kembali penasaran. Apa yang mama lakukan sampai luka itu muncul. Pandanganku berkeliling di sekitar kamar mama, berharap menemukan jawaban atas segala keraguan dari pertanyaanku. Dan pandanganku tertuju pada sebuah laci di samping tempat tidur mama. Sebuah laci yang sepertinya belum lama ini telah dibuka oleh sang pemilik. Laci itu sedikit terbuka, sedikit memperlihatkan isinya, dan membuatku semakin ingin tahu apa isinya. Rasa penasaran ini menggerakan tanganku untuk membukanya, perlahan aku membuka laci itu. Atas dasar rasa ingin tahu dan kecurigaan aku memberanikan diri menyeberangi batas. Ketika kulihat isi dari laci itu, aku sama sekali tak menemukan jawaban atas pertanyaanku. Aku hanya melihat kotak kecil berwarna hitam. Aku mencoba membuka kotak itu, dan isinya adalah beberapa obat yang rasanya belum pernah kulihat. Nama obat itu begitu sulit kuingat, terlebih lagi dengan kemampuan otaku yang tak begitu hebat dalam mengingat, aku cukup kesulitan untuk mengingat obat itu. Setelah memperhatikan obat itu, perhatianku beralih pada selembar foto yang tersimpan rapih di bawah obat-obat itu. Foto itu terlihat terbalik, hanya saja ada bekas terbakar sedikit di ujungnya. Ku ambil foto itu, dan ternyata memang benar dugaanku selama ini. kali ini mama lagi-lagi gagal memainkan perannya dihadapanku. Semua orang di rumah ini sudah tertipu kecuali aku.
Akhirnya samudera yang sangat dalam dan pekat itu dapat ku selami sampai ke dasar. Foto itu memang sudah tak terlalu jelas terlihat. Karena hampir terbakar, banyak bagian yang meleleh pada foto itu. Tapi setidaknya aku tahu foto itu kira-kira sudah seumur denganku. Iya, tentu saja foto si brengsek itu. Si brengsek yang sangat dicintai mamaku itu tentu saja ayah kandungku. Aku tak terlalu terkejut melihat mama masih menyimpan foto itu. Karena itu sudah menjadi dugaanku sejak lama. Hanya saja yang aku masih tidak habis pikir adalah penyebab cinta yang begitu besar.
Mama masih terlelap dalam tidurnya, aku memandangi wajah mama yang terlihat cantik di bawah sinar lampu kamarnya. Aku terheran, wanita secantik mama bisa mencintai seseorang begitu dalam sampai dia lupa betapa sakitnya seseorang itu melukainya. Ada rasa kecemasan dalam hatiku, malapetaka apa yang akan mama dapatkan kalau saja ayah tiriku sampai mengetahui bahwa kekasih hatinya masih belum mencintainya bahkan sampai belasan tahun mereka bersama. Segera kumasukan kembali foto yang hampir terbakar itu, bersama dengan obat-obatan seperti semula, sampai-sampai mama tidak akan sadar bahwa ada seseorang yang telah menyelami samuderanya.