Singa yang Tersesat

diana primanita
Chapter #5

Senyuman itu Tidak Hanya Tumbuh dalam Ingatan

Hari ini tepat sudah seminggu aku mengetahui semua rahasia sampai ke dasar samudera. Ini juga hari yang memang aku tunggu-tunggu untuk bisa melihat si pemilik senyum yang selalu menghiasi lamunanku. Seperti biasa aku duduk di dalam bis kota yang mengantarku menuju kampus. Suasana kota Bandung pagi ini tak lagi hangat. Di luar mulai turun hujan, mulai membasahi sedikit demi sedikit kaca jendela bis kota. Membuat jendela kaca itu terlihat pekat dan pandanganku tak mampu menembus dengan jelas keluar jendela karena terkalahkan oleh embun yang engan kuat melekat di kaca jendela itu. Suasana dalam bis kota terasa semakin dingin menusuk menusuk tulang. Hari ini aku tidak membawa jaket, karena kupikir udara tidak akan sedingin ini.

           Tidak lama aku sudah hampir sampai di tujuanku. Aku bergegas turun dari bis kota. Tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada seseorang yang tidak asing sedang menungguku di gerbang kampusku. Ternyata dia si pemilik senyuman itu. Tidak biasanya dia menungguku sepagi ini. Aku berjalan menuju ke arahnya, dari kejauhan aku melihat bungkusan kecil dalam genggamannya. Lalu dia memberikan bungkusan itu untuku. Katanya ini adalah sarapan untuku. Selain agar aku tidak lupa akan sarapanku, tetapi juga sebagai alasan agar dia bisa menemuiku sepagi ini. Tentu saja aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tersipu malu dihadapannya. Dia mengantarku jalan menuju kelasku. Jarak yang biasanya terasa jauh dan begitu menyiksa, terasa sangat singkat dan menyenangkan kali ini. Semua pasang mata mahasiswa menatapku. Mungkin karena mereka heran ada mahasiswa kampus sebelah tersesat ke kampus mereka. Zani memang tak bisa berkamuflase menjadi mahasiswa kampusku, karena dia akan selalu seperangkat dengan seragamnya. Dia tidak menggengam tanganku, tapi dia menaruh tangannya di bahuku. Tubuhnya yang begitu gagah dan tinggi membuatku hanya terlihat pendek jika sedang bersamanya. Karena cinta, aku selalu merasa dibahagiakan walaupun hanya dengan hal-hal yang tidak berharga, tapi aku sangat bahagia.

           Dia benar-benar mengantarku sampai masuk ke dalam kelas dan aku duduk di kursiku. Semua mata memang tertuku kepada kami. Sebenarnya aku sangat malu, tapi lebih besar rasa bahagianya dibandingkan dengan rasa malu. Setelah dia mengantarku dan memastikan bahwa aku selamat sampai kursiku, dia berbalik pergi menuju pintu keluar. Aku masih tidak percaya dengan kekonyolan yang membahagiakan ini. aku memandangi punggungnya terus sampai semakin lama semakin menghilang. Ada rasa kehilangan saat dia mulai menjauh dan pandanganku tetap mencari sampai dia benar-benar tak mampu lagi terlihat.

           Materi yang aku pelajari hari ini rasanya sungguh sia-sia. Sama sekali tidak ada yang dapat kuingat kecuali senyuman si Zani itu. Jika kupikir dia itu sangat misterius. Dia bilang ingin mencariku sampai dapat tanpa perlu tahu nomor handphoneku. Itu adalah kekonyola yang belum pernah aku dengar selama ini. tapi aku malah semakin penasaran akan cara apa lagi yang akan dia temukan untuk mencariku nanti siang.

           Dosen mulai bersiap membereskan buku-bukunya, bersiap untuk keluar dari kelas karena memang jamnya mengajar sudah selesai. Aku membereskan buku-buku yang bergelatakan dan bersiap memasukannya ke dalam tas. Hari ini rasanya aku kesepian tanpa Rani. Biarpun dia liar dan gila tetap saja aku selalu merindukannya saat dia tidak ada. Kelasku yang semula gaduh tiba-tiba terasa sedikit hening. Pasti suatu keanehan terjadi dan benar saja dugaanku, si Zani itu sudah berdiri di hadapanku. Menjemputku sampai ke tempat dimana dia terakhir kali meninggalkanku. Aku terkejut namun lebih banyak bahagianya. Dia menunduk saat menatapku. Dia tak berkata apa-apa, hanya menatapku dengan dalam sampai lagi-lagi aku bisa melihat bayanganku dari kedua bola matanya. Sekejap telingaku tak bisa mendengar apa-apa sampai aku hanya bisa mendengar suara detak jantungku berdegup dengan kencang. Aku menguatkan kakiku yang sejujurnya lemah karena terkejut sekaligus bahagia ini untuk berdiri dari kursiku. Aku berjalan kearah pintu bersama dengan Zaniku. Aku tak mampu lagi melukiskan betapa bahagianya aku sangat ini. bahkan saat semua tatapan itu tertuju pada kami, sungguh aku tidak peduli, karena saat ini aku sedang merasakan menjadi penguasa semesta.

           Aku bertanya padanya, kenapa dia melakukan hal aneh ini. lalu dia menjawab bahwa dia hanya ingin memastikan tidak ada laki-laki lain selain dia. Aku heran dengan pernyataannya. Memangnya kenapa dia ingin menjadi satu-satunya, padahal nomor handphoneku saja dia tidak tahu. Tapi ya sudahlah mungkin itu cara dia dalam membahagiakan hatinya sendiri.

           Kali ini kami tidak pergi ke mall seperti kemarin-kemarin. Dia bilang dia ingin mengelilingi kota Bandung. Katanya ini pertama kalinya dia pergi ke Bandung. Setelah lahir dan besar hanya tau tentang Kota Padang saja. Saat dia mengatakan kota Padang, aku teringat dengan mama. Betapa besar rasa cinta mama terhadap laki-laki Padang. Dan kali ini aku merasakan hal yang sama. Tapi disaat yang bersamaan, aku juga merasakan hal tidak nyaman saat mendengar tentang kota Padang. Aku jadi teringat tentang si brengsek ayahku, dan otomatis darah Padang itu tentunya mengalir dalam darahku juga. Secara tidak langsung aku dan Zani berasal dari daerah yang sama. Tapi aku tidak pernah sedikitpun menyinggung itu, karena aku tidak ingin Zani tahu tentang asal usulku.

           Dalam perjalanan kami mengelilingi kota Bandung, dia bertanya tentang keluargaku. Kubilang semua baik-baik saja. Semuanya standar, seperti keluarga normal pada umunya. Kuceritakan sedikit tentang adik-adiku, dan juga ayahku yang sukses dan ibuku yang juga tak kalah sukses menjadi ratu di rumah kami. ‘Semuanya pandai memerankan pesannya masing-masing”. Jawabku. Dalam hatiku akulah dan mama yang paling pandai dalam memerankan perannya. Dia bercerita padaku bahwa orangtuanya memiliki calon yang akan dijodhkan dengannya, karena itulah dia belajar dengan keras agar bisa kuliah di kampusnya saat ini. sejujurnya tujuan dia kuliah di Bandung hanya untuk lari dari pilihan orangtuanya. Rasanya dunia seperti runtuh saat aku mendengarkan ceritanya. Memangnya kami sebagai manusia tidak bisa memiliki perasaan. Kami tidak bisa memilih dengan siapa kami jatuh cinta.

Lihat selengkapnya