Kesunyianku malam ini terusik oleh suara handphoneku yang tiba-tiba saja berbunyi. Rasanya sangat berat sekali menggerakan tangan ini untuk menggapai handphoneku di meja samping tempat tidurku. Siapa manusia yang masih terjaga di tengah malam buta seperti ini. aku mengedipkan mataku beberapa kali berharap aku bisa membaca tulisan nama siapa yang sedang menghubungiku. Ternyata si gila Rani. “Maharani, sumpah ga ada kerjaan banget ini orang lain udah mimpi”. Aku mendengar suara keramaian dari seberang sana. Dibandingkan dengan suara Rani, aku lebih mendengar suara music. Aku tahu dia sedang berada dimana. Apalagi ini malam minggu, itu hari dimana dia akan menjadi lebih gila dari biasanya. “eh Leon, gila lu masih siang udah tidur aja”, aku mendengar tertawanya yang renyah itu sedang mentertawaiku. “gila ini jam 1 malem ya iyalah orang normal kaya gue ya pasti tidur, kecuali kalau gue setan ya iya pasti kaya loe gentayangan tengah malem”. Aku mendengar suaranya tawanya semakin terbahak. “ya udah udah tidur sana, gue Cuma mau bilang, besok temenin gue pindah kosan deket kampus”. Jawabnya. Aku terkejut mendengar ucapannya. Setahuku, tinggal di rumah saja dia begitu liar. Apa jadinya jika dia hanya tinggal sendiri. Tapi rasa kantuku ini membuatku enggan untuk bertanya lebih dalamlagi malam ini. Aku hanya menjawab singkat, “iya iya berisik loe gue tidur lagi, bye”. Kututup teleponnya meski aku masih mendengar dia berbicara dan aku tahu besok dia akan ngomel panjang lebar karena kejadian ini. masa bodolah pikirku.
Karena si gila itu, aku menjadi sulit untuk tidur kembali. Tenggorokanku terasa sangat kering sekali. Aku memutuskan untuk keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil minum. Aku memang tak pernah membawa air minum ke dalam kamar sebelum tidur. Karena jika bukan karena si gila itu, aku tidak akan terbangun di tengah malam. Ketika menuju dapur, aku melihat mama di mushola sedang duduk di atas sajadahnya. Terlihat mama sedang memanjatkan doa yang sangat tulus. Entah apa doa itu, tapi aku ingin sekali mendekati mamaku. Meskipun kami tinggal di rumah yang sama dan bertemu setiap hari, tapi tetap saja ada kalanya aku sangat rindu pada mama.
Setelah membasahi tenggorokan dan kembali dari dapur, aku menghampiri mama. Kupanggil mamaku, sebisa mungkin untuk tidak membuatnya terkejut dengan kedatanganku. “ma, boleh teteh masuk”. Mama menyimpan tasbihnya, dan mendongakan kepala dan tersenyum manis padaku. Sambil menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan bahwa tidurlah di pangkuannya. Aku menghampiri mama dan berbaring di pangkuan mama. Rasanya nyaman sekali. Mama memang cantik sekali dimataku. Bahkan melihat wajahnya dari bawah saja, mama tetap terlihat sangat sempurna. Sejujurnya si brengsek ayahku sangat merugi karena membuang berlian hanya untuk sebuah perhiasan plastik.