Singa yang Tersesat

diana primanita
Chapter #8

Kapalku Karam

Mencintai Zani bagaikan berlayar di tengah samudera dengan kapal yang kecil. Aku hanyalah manusia diatas sebuah kapal kecil, rasa cintaku yang teramat besar bagaikan hamparan samudera yang sangat luas. Tak terukur seberapa dalam dan tak akan pernah habis airnya. Karena aku hanya menjadi manusia diatas kapal yang tak berharga, dengan kapal yang terombang ambing oleh badai yang menerpa. Seberapa kuatnya aku berusaha untuk menuju tepi, pada akhirnya aku hanya akan berakhir karam, membusuk didasar samudera dengan kepekatan dan kegelapan.

Setelah pertemuanku dengan Zani di depan rumahku. Aku tak lagi berharap bertemu lagi dengannya. meskipun aku melawan perasaanku mati-matian untuk tidak menemuinya. Seandainya dia tahu, bagaimana sakitnya perasaanku saat aku berpura-pura tuli agar tidak menjawab telphonnya. Seandainya juga dia tahu betapa perihnya batinku saat berpura-pura buta agar aku tak tergoda untuk membaca pesannya untukku. Aku sangat tersiksa melakukan ini semua. Semakin dia mencariku, semakin jantungku seperti terkoyak. Rasa ingin berlari kearahnya harus kulawan dengan sekuat tenaga. Bagiku saat ini menyerah adalah satu-satunya cara agar aku tetap bisa bertahan hidup. Walaupun hidupku akan terasa sunyi setelah ini. Aku bukan tak mau berusaha untuk berenang ketepian setelah kapalku karam. Aku hanya mengerti bahwa samudera yang harus aku renangi terlalu luas. Tubuhku yang rapuh tak akan mampu menyelaminya. Terombang-ambing di tengah samudera hanya akan berakhir dengan nasib yang sama. Jika pada akhirnya aku akan mati karena rasa cintaku yang teramat besar untuknya, lebih baik aku mati dalam diam. Lebih baik aku bertahan di tengah samudera sampai akhirnya aku mati, daripada aku harus mati-matian berenang ke tepian menjemput kematianku sendiri.

Kesibukanku akhir-akhir ini hanya bersembunyi bagaikan pengecut. Aku tahu si pemuda itu memang nekat. Dia sejujurnya tahu dimana aku bersembunyi. jika dia mau, dia bisa mencariku di tempat persembunyianku. Tapi aku tidak yakin, kali ini mungkin hatinya akan kalah dengan kakinya yang terlanjur membatu tak ingin bergerak ke arahku. Seharusnya memang demikian, mengingat aku sudah menjatuhkan harga dirinya dengan tak mau menjawab telphonnya. Selama ini dia sudah mengemis untuk bisa bertemu denganku, menggadaikan harga dirinya. Tapi aku menginjak harga diri itu sampai hancur berkeping di atas tanah.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku, aku harus bersembunyi dari seseorang yang sangat ingin aku temui. Tapi semesta yang begitu kejam. Memaksaku untuk melakukan hal yang sangat menyiksa ini. Aku merana akhir-akhir ini. Batin ini membuat ragaku juga terserang. Rasanya aku sampai mual karena sedih yang tak terkira. Setiap saat aku melihat handphoneku, sejujurnya hati ini sangat berbunga ketika aku tahu dia mencariku. Tapi aku berpura-pura tak membacanya. Agar dia yakin bahwa aku benar-benar tak menginginkannya. Agar dia juga bisa dengan mudah pergi dariku.

Aku membaca pesan-pesan darinya. Dia tidak akan tahu jika aku sudah membacanya. Dari awal aku membaca pesannya, aku merasa pesan itu sangat berkobar penuh semangat. Semangat dari jiwa muda yang berani menyelam hanya mengandalkan tenaga tanpa membawa peralatan. Dia berkata bahwa dia akan berlari kearahku. Tetapi Zaniku tetap hanya seorang pemuda yang tidak handal dalam menyeberangi samudera untuk menggapaiku yang sedang terombang-ambing di tengah samudera. Hal itu terlihat dari pesannya yang menanyakan, “kalau saja aku tidak milik orang lain, kita pasti akan bahagia bersama”. Dari kalimat itu aku tersadar bahwa Zaniku sudah mulai lelah mengarungi samudera untuk menggapaiku. Dia mulai putus asa dan mengakui bahwa dia memang sudah dimiiki.

Terkadang aku membayangkan kalau saja aku berada di posisi perempuan itu. Perempuan pilihan orangtuanya. Apakah dia bahagia akan dipasangkan dengan Zaniku? Ataukah dia hanya akan sama merananya karena hanya akan mendapatkan cangkang dari Zaniku?. Rasa cinta itu bukan untuk paksaan. Jika karena terpaksa aku tidak akan begitu mencintainya. Mencintainya dengan tulus seperti yang aku rasakan saat ini.

Aku pernah memohon pada Tuhan, jika aku harus hidup terlunta-lunta di dunia ini dan diperangi oleh semesta, aku tidak akan apa-apa. Asalkan ada Zaniku yang menemani. Tapi aku sadar bahwa aku hanyalah makhluk yang begitu kecil, tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan keagungan sang pemilik semesta, aku hanya seperti butiran debu yang berterbangan. Dan aku tidak akan pernah bisa mendikte Tuhan. Aku berserah segalanya akan segala kisahku. Hanya saja kalau boleh aku memohon, aku ingin sekali menemuinya bahkan jika itu harus menjadi yang terakhir kalinya. Karena sejak pertemuanku dengannya, Zaniku tak pernah sempat menanyakan cintakah aku padanya. aku takut aku akan penasaran seumur hidup karena tak sempat mengatakan betapa aku sangat mencintai dan menyayanginya dengan begitu dalam. Aku ingin pergi tanpa ada sedikitpun celah untukku untuk berpura-pura mencari alasan agar bisa menemuinya lagi.

Telephoneku bordering kembali. Jantungku berdegup kencang sekali rasanya. Berharap telephone itu bukan dia. Karena aku masih belum ingin berpisah dengannya, dan akupun belum siap tenggelam ke dasar samudera setelah kapalku karam. Kulihat layar handphoneku, dan itulah nomor yang selama beberapa waktu ini membolak-balikan hatiku. Benar itu dia Zaniku.

Kuperhatikan dia selalu menelphoneku sekitar pukul 7 malam, sepertinya dia merasa terpanggil olehku, karena aku selalu memanggil namanya dalam sujudku. Aku mengangkat telephone itu, tanpa mengucapkan kata sapaan, aku hanya terdiam menunggunya bicara, karena sejujurnya aku sangat rindu suara itu. Kutunggu beberapa detik, aku hanya mendengar hembusan nafasnya, mungkin dia sama canggungnya sepertiku. Aku tahu dia terkejut, setelah puluhan kali percobaannya menghubungiku selalu gagal. Aku tahu dia tidak menyangka akan mendengar suaraku lagi.

“hai Leon, apa kabar?”. Sebuah pertanyaan yang standar menurutku dan haruskah aku menjawab bahwa aku dalam keadaan tidak baik-baik saja saat ini. Aku sangat merindukanmu, sampai sesak sekali nafas ini. “hai Zan, aku baik-baik aja, gimana kabarmu? Tentang orangtuamu, bagaimana kabar mereka?, tanyaku. Sejujurnya aku ingin bertanya bagaimana dengan kabar orangtuamu? Apakah mereka sudah berubah pikiran dan sudah menerimaku seperti orangtuaku yang menerimamu?. Aku mendengar Zaniku menjawab, “iya aku pun sama baiknya sepertimu. Tentang orangtuaku, mereka sudah kembali ke rumah. Aku tahu mereka sedikit kecewa atas keputusanku, tapi aku yakin suatu saat nanti mereka akan mengerti akan keputusanku”. Aku sangat sedih mendengar jawaban itu, ternyata mereka masih menganggapku sebagai pencuri putranya. “oh aku senang mendengar kabarmu baik seperti kabarku, sejak kau pulang dari rumahku malam itu, maaf aku tak membalas pesanmu, aku hanya ingin memberimu waktu untuk berpikir sebelum kamu mengambil langkah. Aku takut suatu saat kamu akan menyesal dengan keputusanmu”. Jawabku sedikit dibumbui dengan dusta. Sejujurnya kabarku tidak baik-baik saja, dan akupun sedih harus meyakinkan Zaniku, bahwa aku hanyalah sebuah kesalahan yang hanya akan menjadi suatu penyesalan. Dia menjawabku,”walaupun aku harus berpikir seumur hidup sekalipun, keputusanku tidak akan berubah, dan jika kamu hanyalah sebuah kesalahan, aku akan memilih untuk tetap salah dan aku sama sekali tidak ingin mengetahui apa itu kebenaran”. Laki-laki ini memang selalu memiliki segudang jawaban yang berhasil membuatku ragu untuk berlari pergi sejauh mungkin darinya. “mungkin kamu telah tersesat, tapi kali ini aku menyerah untuk membawamu kembali pulang Zan”. Jawabku. “kamu mungkin benar, aku memang tersesat. Tapi setidaknya aku masih ingat jalan pulang ke rumah. Bagiku, kamulah rumah itu”. Dia sungguh pemuda yang sangat puitis. Kalimatnya selalu terdengar indah di telingaku, membuatku hanya terus melambung sampai lupa bagaimana caranya untuk membumi. “zan?” tanyaku. “iya ada apa?” jawabnya. “aku ingin menghabiskan akhir pekanku bersamamu”. Rasanya malu sekali mengatakan hal seperti ini padanya. aku menunggu jawaban itu dengan hati yang berdebar tak karuan. “itu juga menjadi salah satu tujuanku terus menghubungimu sejak kemarin”. Sungguh jawaban itu membuatku sangat lega. Tak terduga aku tersenyum mendengar jawabannya. Tanpa terasa banyak obrolan receh antara aku dan dia. obrolan yang tak begitu penting, namun sangat berkesan bagiku. Malam terlihat semakin pekat, udaranya pun terasa semakin dingin. Aku merasa sepertinya keheningan malam telah tiba. Tapi aku dan dia masih berbincang via suara. Mendengar suaranya saja sudah membuatku sangat nyaman. Tanpa sadar kami tertidur tanpa ada satu orangpun yang mengakhiri pembicaraan. Kami tertidur karena sejujurnya kami sudah lelah selama satu minggu kemarin terbebani hatinya oleh permasalahan yang tidak memiliki solusi. Aku yakin Zani sama sepertiku, sudah lupa bagaimana rasanya bisa terlelap dengan hati dan pikiran yang nyaman. Tapi malam ini, kami bisa saling mendengar suara yang sudah lama dirindukan, membuat rasa kantuk yang sudah lama tidak pernah hadir menjadi hadir kembali, membuat kami tertidur dengan nyenyak.

Pagi ini aku tersadar bahwa aku lupa mematikan telephoneku, dan akibatnya handphoneku menjadi mati kehabisan baterai. Apa Zaniku mengalami hal yang sama? Sepertinya iya. Hari ini aku akan menghabiskan waktu bersama Zaniku. Aku sangat bahagia sekali rasanya. Aku mulai bergegas bersiap-siap untuk menemui pangeranku. Tapi seketika aku merasa sedih jika mengingat tujuanku ingin bertemu dengannya hari ini hanyalah agar kakiku yang sudah membeku ini bisa kembali berlari menjauh darinya. Rasanya ingin sekali aku menundanya, aku ingin masih bisa bertemu dengannya, setidaknya sekali, dua kali atau ratusan kali, aku masih sangat ingin mencari alasan agar bisa kembali bertemu dengannya.

Hari ini aku memakai dress sepanjang lutut berwarna merah, dipadukan dengan celana legging dan flat shoes. Aku merasa cantik memakai outfit ini. Warna merah membuat kulitku yang putih terlihat lebih hangat, tak terlalu pucat. Aku membuka pesan dari Zani, dia bilang sebentar lagi dia akan keluar asrama. Dan dia memintaku untuk segera pergi, agar waktu perjumpaan kami yang hanya singkat ini tidak terbuang secara percuma.

Lihat selengkapnya