Setelah kepergian Zaniku, aku masih saja mengutarakan pembenaran di dalam hati. Aku selalu berusaha menganggap keputusanku adalah keputusan yang benar. Aku berusaha untuk tidak tenggelam ke dasar Samudera dengan meraih daratan yang ternyata tidak lebih baik. Rasanya semua keputusan yang kuambil hanya akan menjadi sebuah awal dari sebuah kesalahan yang hanya akan melahirkan penyesalan. Aku menyadari bahwa melepasnya bukan membuat hatiku bangkit, tapi hanya membuat hatiku semakin terpuruk.
Sudah beberapa hari ini aku merasa takut untuk pergi kuliah. Rasanya terlalu banyak kenangan yang hanya akan membunuhku dengan ganasnya. Mamaku tidak menanyakan apa alasanku tidak pergi kuliah, mungkin melihat kelopak mataku yang hancur saja sudah cukup menjawab semua pertanyaannya. Sudah beberapa hari ini aku hanya tinggal di dalam kamar. tetapi kali ini aku sama sekali tidak menyukai pemandangan di luar jendela kamarku. Saat melihat keluar jendela, hatiku hanya akan terasa semakin tersayat, mengingat itu adalah menjadi tempatnya memelukku. Bahkan saat melihat keluar jendela kamarku, aku seperti merasa kehadirannya. Aku teringat kembali dengan bagaimana cara dia menatapku dan bagaimana senyuman itu meluluhlantakan duniaku.
Aku tahu hidupku tak harus selalu begini. Aku harus bangkit. Dan akan terasa sangat pedih jika aku terus mengucuri lukaku dengan perasan lemon. Aku memutuskan untuk menghubungi si gila Rani, aku menghubunginya berharap dia bisa sedikit meringankan bebanku. Aku menunggu Rani mengangkat telephoneku. Tidak lama aku menunggu terdengar suara tertawa yang renyah itu menyambutku di seberang sana. Dari suaranya terdengar bahwa dia bahagia bisa mendengar suaraku lagi. “Leon, gue kira loe udah mati”. Aku mendengar tawanya semakin pecah, sepertinya dia geli akan ucapannya sendiri. “dasar gila, gue belum mati hanya hampir mati”. Jawabku. Lalu dia berkata padaku,”loe mau sampe kapan diem di rumah terus, nunggu dijemput malaikat maut?”. Aku menjawabnya, “ya enggalah, malaikat maut juga males jemput orang yang lagi patah hati kaya gue, malah ngerepotin ntarnya”. Rani tertawa dengan kerasnya, sampai-sampai telingaku berdengung. “yaudah mangkanya sini aja yuk ke kostan gue, dijamin bakal nyaman di tempat gue”. Aku mengiyakan ajakannya. Aku meminta izin untuk menginap di tempat Rani. Jika dilihat dari raut wajah mama, sepertinya mama tidak setuju aku pergi, hanya saja mama tak bisa menolaknya karena mama juga ingin melihat putrinya bangkit kembali.
Sesampainya disana, aku memang tak henti-hentinya tertawa melihat tingkah konyol si Rani itu. Aku pun sempat berpikir, mungkinkah aku sudah beranjak gila. Atau aku terjangkit gejala bipolar. Rasanya suasana hatiku bisa berubah dengan cepatnya.
Rani berkata padaku, “udahlah Leon, laki-laki kaya begitu kenapa harus ditangisin. Sini gue kasih tau ya kalau Bandung itu luas. Dunia loe ga akan runtuh hanya gara-gara satu laki-laki”. Aku hanya menuruti ajakannya. Pikiranku memang sedang buntu saat ini. aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Malam ini aku menginap di kost Rani. Tanpa membuang waktu lalu dia mengajaku untuk keluar malam. Aku sama sekali tak berpikir bahwa keputusanku ini hanya akan membuat penyesalanku semakin dalam. Rani meminjamkan bajunya padaku. Dia bilang bajuku tak cukup meriah untuk berpesta mala mini. Aku memakai rok yang sangat pendek, sampai-sampai celana dalamku bisa terlihat jika aku duduk. Ada sedikit keraguan dalam hatiku. Saat aku akan pergi berpesta bersama Rani, aku terbayang wajah mama di rumah yang sepertinya sedang bersujud meminta kebaikan untuku, putrinya yang berawal dari sebuah dosa. Tetapi bodohnya, aku tetap pergi mengikuti langkah kakiku yang dirundung nafsu menuju jalan yang semakin salah, membuatku semakin tersesat.
Akhirnya kami sampai di tempat yang Rani bilang sebagai surganya Bandung. Hari ini sudah menunjukan pukul 10 malam. Biasanya aku sudah terlelap di kamarku. Tapi kali ini aku baru saja akan memulainya. Seumur hidupku aku belum pernah main selarut ini. sampai-sampai aku tidak mengenali lagi kalau ini adalah Bandungku yang selama ini kukagumi. Aku baru tahu, bahwa ketika aku pulang ke rumah, kukira Bandung beristirahat sama denganku. tapi kenyataannya Bandungku tak pernah tidur. disinari oleh sinar lampu-lampu ini, Bandungku terlihat lebih gemerlap. Aku dan Rani memasuki sebuah gedung yang diterangi oleh lampu-lampu yang malah membuatnya terlihat pekat oleh kegelapan. “ini namanya club, tempat dugem-dugem gitu”, kata Rani bagaikan tour gaide. Tak pernah terbayangkan olehku, akan mengunjungi tempat sebuas ini.