Singa yang Tersesat

diana primanita
Chapter #10

Singa yang Tak Mampu Menjadi Penguasa Hutan

Setelah aku meninggalkan rumah, ada sedikit perasaan takut dalam hatiku. Tak tahu harus kemana kaki ini melangkah. Baru kali ini aku merasa kalau Bandungku terasa sangat luas. Bandungku terasa tak lagi bersahabat denganku kali ini. Sepanjang perjalanan aku hanya berpikir bagaimana aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri sementara aku tak terbiasa melakukannya. Rasanya aku seperti kehilangan satu kakiku. Tapi ini adalah kesalahanku malam itu. Sepertinya sepasang mata yang dibayar oleh ayah tiriku melihat segala aib dan aku terlihat sangat menjijikan di mata itu, sampai-sampai dia begitu marahnya padaku. Aku teringat pada mama, betapa malangnya mamaku. Mama terlihat seperti seorang Ratu yang tinggal bahagia bersama putra-putrinya dan juga bersama seorang Raja yang begitu mencintainya. Tetapi aku tahu bahwa waktu tidak pernah membunuh semua kesalahan mama di masa lalu. Sang Raja nampaknya tak pernah lupa akan segala kotoran dan dosa itu. Sampai akhirnya sang Raja menemukan cara untuk menghapus dosa dimasa lalu mamaku dengan cara mengusirku, si dosa itu. Seandainya kepergianku dapat membuat sang Ratu menjadi Ratu yang sangat bahagia di dalam istananya, sungguh aku rela berkorban untuk mamaku. Semoga tak ada lagi kepedihan dalam hidup mama setelah kepergianku. Rasanya aku sudah sangat berhutang budi pada lelaki itu, apapun itu dia sudah membesarkanku sampai saat ini, dan aku telah hidup selama belasan tahun dari hasil keringatnya. Aku pun tak pernah mengerti bagaimana harus membesarkan seorang putri hasil dari buah cinta antara perempuan yang sangat dicintainya bersama laki-laki yang selalu membuatnya tak bisa menjadi satu-satunya.

           Kali ini aku tak tahu lagi kemana tujuanku selain ke kost Rani. Meskipun karena Rani membawaku bermain-main malam itu lalu nasibku menjadi seburuk ini, tapi tetap saja hanya dia yang akan menerimaku sebagai sahabat walaupun aku sudah sehancur ini. Aku menghubunginya dan mengatakan bahwa aku sedang menuju ke tempat kost nya. Tak terdengar suara yang menandakan dia curiga padaku tentang apa yang menimpaku sampai-sampai aku harus kembali menemuinya.

           Lambungku terasa sangat perih, aku baru saja teringat. Setelah isi lambungku dikeluarkan tadi malam, aku belum juga mengisinya. Setelah aku turun dari bis kota aku menuju sebuah rumah makan Padang dekat dengan kampusku. Segalanya membuatku kembali mengingat Zani. Bahkan saat memasuki rumah makan padang dan mendengar sang pemilik bertanya padaku tentang apa yang ingin aku pesan, sungguh mengingatkanku pada suaranya. Terlebih nada bicara yang sangat kurindukan, Zaniku.

           Aku membeli dua bungkus nasi padang untukku dan tentu saja untuk Rani juga. Aku lebih sering melihatnya merokok daripada melihatnya memakan sesuatu. Pantas saja semakin lama tubuhnya seperti semakin mengering seperti pohon di tengah musim kemarau panjang. Sejujurnya setelah dia memutuskan untuk tinggal sendiri, dia memang terlihat semakin tidak beraturan. Dia bilang dia bahagia karena kebebasan ini. Tapi aku sama sekali tidak melihat kebahagiaan terpancar dari sorot matanya. Yang kulihat hanya sorot mata seorang anak perempuan yang sangat merindukan rumah. Mungkin begitu pula dengan yang seseorang lihat dari pancaran sinar mataku.

           Dan benar saja ketika aku sampai di depan pintu kamar kostnya, si gila itu sedang merokok. Dan pasti tebakanku jika dia belum makan apapun juga benar. Dia melambai ke arahku, dan tampaknya dia bahagia melihatku. Meskipun baru saja beberapa jam yang lalu aku meninggalkannya untuk pulang ke rumah. Ada sedikit perasaan ragu saat akan memasuki kost Rani. Aku rasa keputusan ayah tiriku untuk mengusirku dari rumahnya adalah sesuatu hal yang fatal. Emosi yang meraja membuatnya sampai hati melakukannya padaku. Dia ingin memberiku pelajaran atas kesalahan yang telah aku lakukan. Tapi satu malam saja aku bersama dengan Rani, aku sudah melakukan kesalahan itu, apa jadinya aku jika harus bermalam-malam tinggal bersama Rani. Pikiran buruk itu sedikit menghantuiku. Apalagi jika teringat kata-katanya yang teramat merendahkanku semakin membuatku terpuruk dan tak punya semangat.

           Setelah menyantap nasi padang yang kubeli tadi, aku mulai menceritakan tentang apa yang terjadi padaku sampai-sampai aku terlunta-lunta seperti ini. Rani hanya tersenyum sinis. Mungkin kisahku hanya mengingatkannya tentang luka yang lebih dahulu dialaminya. Suami ibunya juga menjadi salah satu faktor penyebab dia meninggalkan rumah. Aku sempat berpikir ayah tiriku sekejam ini padaku mungkin karena dia merasa bisa membeli segalanya dengan uangnya. Bahkan hartanya bisa membungkam mulut mamaku agar tak membela dan pergi bersamaku. Tapi setidaknya ada hal yang membuatku sedikit merasa tenang. Yaitu jika mengingat bahwa aku tak merasa menjadi perempuan paling malang sendirian. Masih ada si gila Rani sahabatku yang masih bisa hidup dengan baik-baik saja, bahkan setelah dia harus tinggal sebatang kara.

           Aku meminta Rani menemaniku mencari tempat tinggal untukku. Walaupun hanya dengan mengandalkan uang tabunganku yang hanya seadanya, setidaknya aku bisa berlindung dalam sebuah bangunan. Tadi mama mama memberiku uang, tapi dengan angkuhnya aku menolaknya. Kubilang jika aku sudah keluar dari rumah ini, maka hidupku tergantung dari usahaku sendiri. Aku hanya diliputi rasa marah saat itu. Tanpa berpikir panjang dan aku mendadak lupa, bahwa seumur hidupku aku belum pernah menghasilkan uang satu perak pun. Terlebih lagi otakku tidak cukup mumpuni untuk digunakan sebagai alat penggerak dalam mencari pundi-pundi rupiah.

           Setelah beberapa lama tinggal di kostan Rani, akhirnya aku menemukan tempat yang kurasa cocok untukku dan yang lebih penting adalah cocok di kantongku yang hampir mengering ini. kamarnya memang tak terlalu besar jika dibandingkan dengan kamarku yang dulu. Ukurannya hanya 3X4 meter. tapi setidaknya mungkin aku bisa merasa lebih tentram tinggal disini, setidaknya aku tidak perlu merasa canggung saat harus keluar kamar dan selalu dihantui rasa takut jika diluar kamar aku bertemu ayah tiriku. Ya aku hanya sekedar tak ingin berbasa-basi padanya. Hubunganku dengannya memang sangat dingin akhir-akhir ini.

           Di kamar yang ku sewa ini sudah disediakan kasur dan lemari, juga tersedia gallon air minum juga. Lumayan sangat membantu apalagi aku memang keluar dari rumah itu tanpa membawa apapun selain baju-bajuku. Dan menurutku ini akan terasa jauh lebih nyaman dibandingkan aku berdesakan tidur di kamar Rani dan terkadang aku merasa kehadiranku juga sangat mengganggu. Karena sejak aku tinggal disana, si lelaki tua itu jadi sungkan untuk menemui Rani. Mereka lebih sering bertemu di luar, padahal aku sudah dewasa dan aku sangat mengerti apa yang diingingkan si tua itu saat menemui Rani.

           Hari ini tepat sebulan aku meninggalkan rumah. Tak ada yang berubah sepertinya. Tak ada juga aura-aura ayah tiriku menjemputku pulang. Mungkin baginya lebih nyaman menjalani perannya sebagai seorang raja tanpa kehadiranku di dalam rumah itu. Mungkin perkataan mama saat itu tentang ayah tiriku akan segera menyuruhku pulang hanya sebagai kalimat perpisahan agar aku yang terbuang tidak menyadarinya. Walaupun mama belum pernah menjengukku ke kost baruku, tapi setidaknya mama selalu menelephonku setiap hari. Selain rasa rindukku pada Zani, aku juga sangat merindukan mama. Mereka berdua berhasil memenuhi selurung ruang di hatiku sampai tiada satu haripun aku tak merindukan mereka.

Lihat selengkapnya