Malam ini aku harus kembali bekerja, karena semakin rajin bekerja. Maka uangku akan semakin banyak dan aku bisa semakin cepat lari dari kehidupan malam yang menyiksa. Aku duduk bersama mami yang pakaianya terlihat sangat mencolok malam ini. Seperti seekor harimau yang melihat mangsa, pandangan mami seketika tertuju pada gerombolan anak muda yang baru saja masuk. Sungguh pemandangan yang tidak biasa menurutku, biasanya laki-laki seusia ayahku yang lebih sering datang untuk memetik bunga. Mami berbisik di telingaku, meminta agar aku segera menemani mereka. Dari sekian banyak lelaki muda itu, pandangan mataku tertuju pada seorang pemuda yang menurutku terlihat bersinar dibandingkan dengan yang lainnya. Aku duduk disampingnya. Dia menatapku, mungkin saja terpesona dengan kecantikanku. Lalu aku berbisik di telinganya membisikan namaku. Dia juga memberitahuku namanya,”namaku Dimas”. Setelah itu kami hanya berbincang ringan, dan dia meminta nomor handphoneku. Menyimpannya dengan nama “Bunga”. Setelah dia pulang, tak ada yang istimewa terjadi padaku. Aku bahkan sudah melupakannya karena aku selalu mengikuti nasihat Rani untuk jangan pernah melibatkan perasaan karena semesta sudah menyeleksi manusia yang masuk ke tempat ini bukanlah manusia yang bisa diharapkan.
Keesokan harinya aku mendapatkan pesan dari seseorang yang aku tak tahu siapa dia. Dia memanggilku Leona. Aku sangat terkejut mengapa ada tamuku yang tahu namaku yang sebenarnya. Ternyata dia adalah Dimas tamuku semalam. Aku memberikan no whatsappku padanya, tapi aku lupa bahwa nomor whatsapp itu terhubung juga ke aplikasi Line. Di Line namaku adalah Leona. Dia tahu namaku dan dia mencari tahu tentangku lebih dalam lagi via Instagram. Menurutnya aku berbeda tidak seperti perempuan malam pada umumnya. Di Instagram identitasku adalah seorang mahasiswa dengan penampilan yang sopan, memiliki keluarga yang lengkap dan terlihat sempurna. Tetapi dia sangat penasaran mengapa Leona dan Bunga seperti orang yang sama dengan kepribadian yang berbeda.
Tentu saja aku tak ingin menceritakannya. Bagiku aku bukanlah seorang pendongeng aku juga bukan seorang penulis yang menceritakan kisah hidupnya. Tetapi sikapku yang tertutup padanya bukan membuatnya ingin pergi dariku. Dia semakin mendekat dengan begitu lekat. Dia masih muda, bahkan usianya lebih muda dariku. Aku tahu mendekatinya bukan suatu pekerjaan. Aku tak akan mendapat pundi-pundi darinya. Umurnya yang masih muda tak akan mampu membahagiakanku dengan uangnya. Tapi entah bagaimana caranya, dia selalu datang ke kostku dan mengajaku keluar di jam yang seharusnya aku pergi bekerja. Dia selalu memberikan uangnya padaku, dia bilang agar malam ini aku tidak perlu keluar malam. Diam saja di dalam kamar, udara malam terlalu dingin untuk perempuan secantik aku.
Rasanya aku risih karena dia terus mendekatiku, tapi dengan kehadirannya aku tak lagi merasa hidupku sendirian. Dia sering menghabiskan waktunya untuk bersamaku. Bahkan dia membawaku bertemu dengan temannya. Salah satu dari mereka yang datang ke tempatku bekerja. Sebelum sampai tujuan, dia berkata padaku untuk jangan merokok di depan temannya. Aku mengiyakan permintaannya, tentu saja aku akan lakukan karena semudah itu rasanya bagiku untuk tidak merokok. Sejujurnya aku akan senang diminta untuk tidak merokok.
Aku dan Dimas baru saja sampai ke tempat tujuan kami. Namanya Rangga, dia menatapku dengan tatapan aneh. Mungkin karena pada saat pertemuan pertama kami, dia melihatku pada saat aku bekerja sebagai wanita malam. Meskipun bangunan hanya diterangi oleh cahaya biru yang tak terlalu terang, tapi setidaknya dia tetap mengenaliku. Dia berbisik dan entah apa yang dia katakana pada Dimas, sejujurnya aku tidak terlalu peduli juga dengan apa yang dikatakan oleh si Rangga itu. Hanya saja aku melihat cahaya mata yang berubah dari Dimas, sepertinya kalimat bisikan itu sudah mempengaruhi sedikit pikirannya. Tak lama kami berada di Rumah Rangga, setelah semua selesai kami memutuskan untuk pulang.
Sejak kejadian itu, Dimas cukup lama tak menemuiku. Mungkin saja dia sibuk, atau mungkin saja kata-kata Rangga menuntunnya untuk tidak menemuiku lagi. Sesungguhnya aku tak peduli, karena sampai saat ini hatiku masih saja dipenuhi oleh Zaniku dan aku masih saja menunggunya berlari ke arahku. Tanpa kehadiran Dimas, aku sama sekali tak merasa kehilangannya, aku hanya meneruskan pekerjaanku meraup pundi-pundi harta dengan menjual senyum manisku dan juga menjual suara rayuanku.
Pagi ini, aku terkejut karena seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku selalu dibayangi oleh rasa takut jika suatu saat nanti mama yang mengetuk pintu itu dan menemukanku dalam keadaan sangat mengerikan, bernafaskan alcohol dari hembusan nafasnya, atau lebih parahnya mamaku menyadari bahwa kini putrinya adalah seorang pengemis rupiah dari puluhan laki-laki hidung belang. Aku perlahan membuka pintu kamarku dan aku terkejut tapi sedikit bersyukur karena Dimas yang ada di balik pintu itu.
Dimas bercerita padaku bahwa ayahnya kini sedang dirawat di rumah sakit karena terkena serangan Jantung, itulah sebabnya dia tak menemuiku. Aku prihatin mendengar itu, tetapi aku juga sedikit lega, setidaknya dia tak menghindariku karena ucapan temannya. Dia memintaku untuk menemani menjenguk ayahnya di rumah sakit. Aku tak yakin dengan ajakannya, apa dia yakin untuk membawa sampah sepertiku kehadapan keluarganya. Aku menuruti permintaannya, meskipun aku sedikit canggung jika membayangkan aku harus bertemu dengan keluarganya. Rasa takutku semakin diperbesar dengan rasa traumaku bertemu dengan keluarga Zani. Aku berpikir bahwa aku sebagai seorang mahasiswa baik-baik saja, aku begitu dihempas jauh ke tanah oleh keluarga Zani. Apa jadinya aku si sampah ini bertemu dengan keluarga Dimas.
Sesampainya aku di rumah sakit, aku menunggunya menjemputku di halaman rumah sakit. Aku melihat dia berjalan ke arahku, semuanya terlihat berbanding terbalik dengan Zaniku. Dimas hanya terlihat seperti seorang pemuda biasa, tubuhnya tak begitu tinggi, hanya sedikit lebih tinggi dariku. Tanpa karisma, tanpa seragam yang rapih, tanpa sepatu yang mengkilat, tanpa kebanggaan saat aku berjalan bersamanya. Tapi laki-laki ini begitu naif, mencintai perempuan sepertiku. Tak ada niat lain dariku mengiyakan semua ajakannya, selain karena aku inginkan uang darinya.
Dari jauh aku sudah dapat melihat sinar matanya yang berkilau karena bahagianya melihatku. Dia menggenggam tanganku dan berjalan menuju kamar ayahnya dengan langkah yang begitu mantap. Dia terlihat seperti lupa akan apa yang sedang ia genggam, hanya perempuan sampah sepertiku. Aku melihat seorang perempuan kira-kira usianya tak beda jauh dengan ibuku, dia memakai hijab dan sedang menggenggam tasbih di tangannya. Dimas membawaku ke arahnya, dan Dimas memberitahuku bahwa itu adalah kakak tertuanya. Sejujurnya aku sangat canggung harus berbincang dengan perempuan yang Dimas panggil teteh itu. Aku berbincang semampuku agar dunia tak terasa begitu hening menyesakan. Aku merasa kakanya begitu hangat menerimaku tanpa dia sadari bahwa aku adalah perempuan yang menipu banyak hidung belang agar tetap bisa bertahan hidup.
Setelah berbincang dengan kakaknya, Dimas membawaku bertemu dengan ayahnya. Ayahnya terlihat kurus dan tubuhnya juga tak terlalu tinggi. Mungkin Dimas tak terlalu tinggi adalah faktor keturunan dari ayahnya. Ayahnya pun terlihat sudah lebih tua dari ayahku. Tidak heran, anak tertuanya saja tak begitu jauh usianya dengan ibuku. Dimas juga bercerita bahwa dia anak terakhir dari enam bersaudara, jadi aku memahami jika orangtuanya tak semuda orangtuaku.