Bangun Saga, biasakan bangun cepat agar kau disiplin dan tidak jadi orang pemalas” teriak ibu dari dapur. Aku mengabaikan teriakan ibu, karena rasa ngantuk masih melekat. Kembali ibu berteriak “Cita-cita ingin jadi pemimpin, tapi bangun malas, bagaimana nasib rakyat nanti kalau pemimpinnya aja malas bangun.”
Pagi hari yang indah, sinar matahari berwarna kuning masuk melalui celah-celah kayu ruang jendela. Suara ayam terdengar, bersaing dengan suara omelan ibu. Tidak tahan dengan omelan ibu, aku harus bangun dan mau tidak mau juga aku harus tetap bangun.
Aku beranjak dari tempat tidur, pergi ke kamar mandi membasuh muka. Segera setelah itu kembali ke kamar, memakai seragam putih merah beserta topi dan dasi berwarna merah.
Sarapan pagi sudah terhidang di meja, dengan lahap aku menyantap telor dadar dan nasi putih bercampur kecap manis. “Aku pergi sekolah yah” teriakku. Saut ayah dari dapur “iya, hati-hati di jalan.”
Aku berjalan, sebab jarak sekolah dari rumah tidak jauh. Terkadang berjalan sendiri, terkadang juga bersama Bram. Hari ini adalah hari senin, aku harus datang cepat untuk membersihkan ruangan.
Situasi sekolah masih senyap, hanya ada beberapa murid bertugas di ruangan kelas masing-masing. Aku merasa mengantuk dan tidak semangat membersihkan ruangan. Naldo menghampiriku, ia menyuruh mengangkat kursi ke atas meja agar lantai mudah di sapu. “Badanku lagi lemas Nal, tadi tidak sempat sarapan” kataku. Sepenggal alasan agar Naldo merasa kasihan, meskipun tadi aku makan sampai dua piring. Alasan yang mudah di percaya Naldo, ia mengijinkan beristirahat.
Mata pelajaran olahraga adalah pelajaran pertama. Hampir semua murid laki-laki menyukai olahraga, karena ketika olahraga selalu bermain bola kaki. Saat berada di lapangan Naldo menatapku, ia heran aku semangat berlari seperti orang yang tidak kelaparan.
“Saga! Kau tadi lemas tidak sarapan, jangan di paksakan olahraga” kata Naldo. “Harus semangat Nal kalau sekolah, jangan cuma gak makan membuat patah semangat mengikuti pelajaran” kataku.
‘Semua berkumpul” teriak guru olahraga. Seperti dugaanku, pak guru menyuruh bermain sepak bola, dan murid perempuan bebas bermain apa saja.
Murid laki-laki semua bermain bola, jumlah dua tim tidak sebanding karena jumlah laki-laki ganjil. Timku bermaian tujuh orang, sedangkan tim lawan delapan orang. Jumlah gol tercipta sudah banyak, tetapi hal itu tidak menjadi alasan menghentikan permainan. Permainan tetap berjalan sampai jam pelajaran olahraga selesai.