LIRIK LANGIT

Danri AS
Chapter #3

BAB 3 - Keluh Kesah

Mata pelajaran pertama akan di mulai, pak Harto beserta beberapa orang berpakaian seragam berwarna biru masuk ke dalam ruangan. Pak Harto adalah kepala sekolah sejak aku duduk di kelas tiga. Sebelum pak Harto menjadi kepala sekolah, seorang penganut agama Hindu pernah menjadi kepala sekolah kami. Wakil kepala sekolah adalah ibu Ros. Ia selalu memakai hijab ke sekolah dengan warna bergantian setiap hari. Pak Harto mempersilahkan mereka berbaju dinas seragam biru untuk berbicara.

Seorang perempuan memperkenalkan diri, ia bernama Sari. Ibu Sari berbicara mewakili mereka, ia mengatakan perwakilan pemerintah kabupaten dari dinas pendidikan. “Sebentar lagi ujian akhir sekolah bagaimana persiapan kalian?” tanya ibu Sari. Kami hanya diam tidak menjawab pertanyaan bu Sari. Bu Sari menunjuk Wati untuk menjawab, “saya masih butuh belajar lagi bu” kata Wati. “Ooo iya bagus, kamu harus tetap belajar” kata bu Sari.

Aku mengangkat tangan mengungkapkan, bahwasanya kami belajar hanya menggunakan satu buku pelajaran untuk dua orang. Meja belajar pun harus di bagi, tiga orang satu meja untuk sebagian murid.

Bu Sari memberi tanggapan, semua fasilitas sekolah baik buku dan meja di harapkan semua murid bersabar. Ia mengatakan, masalah sekolah harus di rapatkan dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pihak pemerintah kabupaten untuk menentukan biaya atau anggaran renovasi sekolah.

Aku angkat tangan lagi, berbicara, “si Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan pihak pemerintah kabupaten belum pernah membahas keadaan sekolah kami.” Ibu Sari bertanya kepadaku, kenapa aku berbicara begitu. “Ayah saya sekarang usia tiga pulu satu tahun, ketika ia masih bersekolah di sekolah ini keadaan hampir sama, buku berbagi satu untuk dua orang dan meja belajar ada yang satu meja untuk tiga orang” kataku. Aku juga mengatakan, kalau ayah mengatakan hanya pagar bambu di depan sekolah berubah dari tahun ke tahun.

Aku mendukung perkataan ayah di hadapan bu Sari, bahwasanya memang setiap tahun pagar bambu sekolah berubah dan bamboo pun di bawa oleh murid. Setiap murid di suruh membawa 20 potong bambu, sudah di belah dengan panjang satu meter dan lebar sekitar 15 cm.

Bu Sari mengatakan, semua lagi di usahakan dan harus bersabar dengan keadaan sekarang. Bram mengangkat tangan dan berkata, “ibu Santi guru bahasa Indonesia mengatakan tidak bisa bersabar terhadap ketidakadilan.” Bu Sari dan rekannya seperti jengkel terhadap pernyataan Bram, sebab raut wajah mereka seperti ingin marah. Tiba-tiba pak Harto berbicara, ia menyudahi pertemuan tersebut. Saat di depan pintu mau keluar, bu Sari berjumpa bu Santi yang kebetulan ingin masuk untuk mengajar. Bu Santi menyapa, ia menyalam bu Sari sambil memperkenalkan nama.

Aku berpikir bahwa penerus bangsa adalah kami yang masih bersekolah. Tetapi pemerintah tidak memiliki cukup uang, memfasilitasi buku satu per orang. Akan tetapi saya ingat kata ibu, negara ini berlimpah akan kekayaan. Namun, kami belum bisa merasakan kekayaan tersebut. Meskipun akses ilmu masih kurang, itu tidak menyurutkan niat belajar untuk menjadi seorang pemimpin. Ayah juga bersekolah di sekolah ini dengan keadaan sama, bahkan lebih buruk dari situasi sekarang. Hal tersebut menjadi pemicu semangat meraih cita-cita.

Sore hari hujan datang, tetapi aku harus ke rumah Bram. Kami sudah berjanji ingin mengambil daun kelapa untuk membuat sapu lidi. Ibu Santi menyuruh membuat kerajinan tangan. Membuat sapu lidi menjadi pilihanku dan Bram. Hujan mulai reda aku langsung pergi menjumpai Bram.

Lihat selengkapnya