LIRIK LANGIT

Danri AS
Chapter #7

BAB - 7 Toleransi

Pada hari sabtu, hari di mana cepat pulang sekolah. Ayah menyuruhku menemani bang Simal, untuk membeli Alkitab ke pajak. Jarak pajak dari desa Kaja sekitar 30 menit menggunakan sepeda motor. Bang Simal lupa membawa Alkitab, karena Alkitabnya tertinggal. Aku memeluk erat bang Simal ketika di bonceng. Sesampainya di toko penjual Alkitab, bang Simal membeli Alkitab beserta kalung salib yang langsung ia pakai. Melihat bang Simal mengenakan kalung Salib, aku jadi pingin memakai kalung. Bang Simal memandangku, seakan dia tahu apa yang ada di dalam hatiku. Lalu bang Simal mengatakan, apakah aku pingin kalung. Dengan senyuman, aku mengiyakan ucapan bang Simal.

Bang Simal membayar ke kasir, sedangkan aku menunggu di luar sebab banyak orang ngantri di kasir. Aku melihat dari kaca toko yang bening, ia berbicara serius dengan tukang kasir. Bang Simal keluar dari toko, menggandeng tanganku sambil berjalan tak tahu akan kemana. Aku bertanya kepada bang Simal, dia mau beli apalagi, bang Simal hanya menjawab “ada deh.” Sesampainya pada toko yang di tuju bang Simal, kami masuk ke dalam toko, aku melihat banyak Alqur’an. Bang Simal membawaku ke tempat berbagai jualan aksesoris Islam. Aku memilih kalung yang aku sukai, kemudian ia membelikan kalung tersebut dan aku di suruhnya juga untuk langsung memakainya. Aku merasa senang dengan kalung baru yang aku pakai, seperti aku merasa lebih percaya diri lagi.

Setelah dari toko kami pergi ke toko buku, bang Simal melihit buku-buku yang di jual dengan serius. Ia mengambil sebuah buku dan menunjukkan padaku. Buku itu adalah buku tentang bapak Soekarno yang berjudul “Soekarno Sang Guru Bangsa.” Ia mengetahuiku menggemari bapak Soekarno, aku di beri buku yang belum pernah aku lihat.

Aku merasa senang, sebab bang Simal membelikan kalung dan buku inspirasiku. Aku tak sabar ingin sampai ke rumah dan menunjukkan kepada ibu dan ayah. Ketika di jalan, bang Simal menyakan tentang usaha kak Nara, ia penasaran ingin melihat usaha jait kak Nara. Aku mengarahkan jalan sepeda motor, supaya lewat dari depan rumah atau temapat kak Nara menjait. Kami lewat dari depan usaha jait kak Nara dan kak Nara sedang menjait sehingga dia tidak memandang kearah kami. Aku lalu memanggil kak Nara dari sepeda motor yang sambil berjalan, lalu kak Nara melihat kami sambil tersenyum kepada bang Simal. Bang Simal juga tersenyum, sambil mengangukkan kepalanya ke pada kak Nara.

Di depan Rumah ibu sedang menyapu halaman, dan aku turun dari sepeda motor untuk menjumpai ibu. Aku menunjukkan kalung baruku yang di beli bang Simal, ibu memuji kalungku yang bagus. Ibu berterimakasih kepada bang Simal karena telah membelikanku kalung yang bagus. Aku juga menunjukan kepada ibu, buku tentang bapak Soekarno yang di belikan bang Simal. Ibu seperti berpikiran aku menyuruh bang Simal untuk membelikanya, padahal itu adalah inisiatf dari bang Simal.

Besoknya, aku tidak lagi mengantarkan bang Simal ke gereja. Ia sudah tau jalan ke gereja. Ayah memberikan Sepeda motor untuk di pakai bang Simal, selama ia di desa untuk pergi ke gereja. Bang Simal tiba di gereja, 30 menit sebelum jam ibadah di mulai ia duduk di bangku di posisi tengah.

Tiba-tiba datang kak Kristin, kak Kristin tidak menyadari keberadaan bang Simal. Ia duduk dua bangku dari depan bang Simal duduk. Melihat kak Kristin, Bang Simal memanggilnya dengan suara pelan. Sontak kak Kristin memandang kebelakang, dan terkejut ternyata ada bang Simal. Ia menyuruh bang Simal supaya duduk di sampingnya, kebetulan di samiping kak Kristin masih kosong. Bang Simal pindah tempat duduk, ia duduk di samping kak Kristin dengan wajah yang ceria.

“Kau sudah punya Alkitab?” kata kak Kristin. “Kemarin aku dan Saga pergi ke pajak membelinya” kata bang Simal. “Bagus kalau gitu Simal” kata kak Kristin. “Ayah kamu dimana? Beliau tidak gereja?” kata bang Simal. “Ya gerejalah Simal. Ayah itu di ruang repositori ( ruangan khusus untuk pelayan gereja), karna hari ini ayah yang kotbahnya Simal. Ibu itu duduk dengan para Ibu-ibu lainya (sembari menunjuk Ibunya). Dan kalau abangku lagi kerja di kota, pulangnya satu bulan sekali” kata kak Kristin.

Suara lonceng berbunyi pertanda ibadah akan di mulai. Kak Kristin dan bang Simal mengikuti ibadah dengan serius. Tiba saatnya untuk mendengarkan khotbah, pak Petrus naik ke podium untuk memulai khotbahnya. Seluruh jemaat mendengarkan beliau dengan serius, pak Petrus di akhir khotbahnya menyampaikan pesan

“Semua mahkluk hidup di dunia ini di ciptakan oleh satu Pencipta. Jangan ada yang membantu atau menolong sesama karena melihat agama, suku dan warna kulitnya, tetapi tolongah dia karena kamu mempunyai kasih. Kasih karunia yang di berikan Tuhan bagi kita untuk menyayangi segala ciptaannya.” Bang Simal tersentuh hatinya mendengar khotbah dari Pak Petrus.

Lihat selengkapnya