LIRIK LANGIT

Danri AS
Chapter #9

BAB - 9 Awal Perjuangan

Suara keras bang Simal di pagi hari membanguniku, dari cuaca pagi yang dingin. Aku di suruh cepat mandi dan ganti pakaian, karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku bergegas ke kamar mandi, akan tetapi aku tidak mandi lagi. Hanya membasahi muka dan rambutku, aku langsung ke kamar memakai baju. Bang Simal heran melihat, hanya sekitar satu menit saja dari kamar mandi. Aku memang selalu melakukan cara tercepat seperti itu, ketika sudah kesiangan bangun supaya tidak terlambat ke sekolah. Aku melihat bang Simal, menyemprotkan parfum ke bajunya. Lalu aku meminta parfumnya untuk aku semprotkan ke badanku juga, supaya terasa harum seperti baru mandi.

Aku dan bang Simal bergegas sarapan pagi, setelah selasai sarapan kami langsung pergi ke sekolah dengan naik sepeda motor ayah. Ketika dalam perjalanan tiba-tiba ban sepeda motor bocor, kami turun dan mendorong sepeda motor. Tiba-tiba Bram datang, beserta ayah dan ibunya yang ingin ke ladang naik gareta, kebetulan ladang mereka lewat dari depan sekolah . Gareta adalah sebutan untuk angkutan barang keladang yang menggunakan tenaga kerbau. Kerbau tersebut menarik tempat barang terbuat dari papan yang rata tanpa ada sandaran di setiap sisinya, dan sudah di buat bannya dengan ban mobil.

Bram mengajak untuk naik ke gareta tersebut, kebetulan kami berada di depan rumah pak Santo teman ayah juga. Aku menitipkan kereta di depan rumah pak Santo. Aku dan bang Simal naik gareta bersama dengan Bram, ibu dan ayah Bram. Ayah Bram naik di atas punggung kerbau, sedangkan kami berada di belakangnya. Aku melihat muka bang Simal sangat gembira, ia baru pertama kali naik di atas punggung kerbau.

Bang Simal mengeluarkan hpnya, mengajak berfoto di atas gareta. Ayah Bram melihat ke belakang dan tersenyum. Aku tidak tau ntah sudah berapa kali kami berfoto.

Sesampainya di depan sekolah, semua bergegas turun dari gareta. Bang Simal bermaksud baik ingin mengucapkan terimakasih, dengan memberikan uang seperti ongkos tanda terima kasih. Namun ayah Bram menolaknya! “Aku tau kamu dari kota nak, jadi aku memakluminya” ucap ayah Bram. ‘Maksudnya pak” ucap bang Simal. “Kamu sekarang tinggal di desa, yang tidak selamanya uang menjadi tolak ukur untuk berbuat. Sudah kau kantongi saja uangmu nak, kami iklas memberikan tumpangan pada kalian” ucap ayah Bram.

Bang Simal sepertinya merasa malu, karena belum mengerti tentang budaya masyarkat masyarakat Kaja. Ia pun memasukkan uang ke saku celananya, dan berterima kasih banyak kepada ayah Bram. kami bergegas ke ruangan dan berbaris, sebab suara lonceng telah berbunyi. Saat berbaris di halaman sekolah, bu Yanti berceramah, menyampaikan supaya betul-betul mempersiapkan pidato dan mental untuk mengikuti lomba pidato.

Bu Yanti juga mengatakan bahwa seluruh guru dan beserta kepala sekolah, sangat berharap dari sekolah ini menjadi perwakilan berlomba di depan bapak Bupati. Karena selama ini sekolah kami memang kurang di perhatikan oleh pemerintah setempat, sebab sekolah kami muridnya memang sedikit dan sangat jarang berprestasi kalau ada event. Biasanya sekolah kami, hanya sebagai peserta pelengkap saja.

Situasi bangunan sudah mulai rusak, sehingga sekolah-sekolah lain memandang kami kurang baik. Akan tetapi meskipun dengan situasi seperti itu, semangat kami untuk tetap belajar tidak pernah pudar. Kami selalu bersemangat dan saling mendukung satu dengan yang lain.

Selesai berbaris aku memasuki ruangan, mataku memandangi Wati sebagai salah satu pesaing terberatku. Aku memandanginya seakan dia sudah siap, untuk mengikuti pertandingan pidato tersebut. Hatiku berbsisik aku harus bisa mengalahkanya, dan menjadi perwakilan sekolah ini. Akan tetapi aku harus memang belajar lebih giat lagi, supaya bisa menjadi yang terbaik dan terpilih menjadi perwakilan di kecamatan juga.

Aku tidak sabar ingin segera pulang, supaya bisa belajar pidato kepada bapak Petrus. Kebanyakan sahabatku di sekolah mendukung Wati, sebab memang Wati murid yang pintar dan dari kelas satu selalu juara. Sehingga wajar kalau Wati, di banggakan teman-teman satu kelasku. Lain halnya dengan Bram, ia tidak terlalu meyakini Wati untuk mewakili sekolah kami. Bram mengharapkan dirinya yang mewakili sekolah untuk berpidato. Kalau bukan dirinya, Bram berharap aku yang mewakili sekolah kami. Waktu untuk perlombaan tinggal satu hari lagi, aku harus optimis untuk menjadi juara meskipun Wati di unggulkan, aku harus tetap optimis seperti Bram yang optimis padaku.

Bu Yanti masuk ke ruangan kami, ia menanyakan kesiapan kami untuk mengikuti pidato. Ibu Yanti juga menanyakan kesiapan Wati sudah bagaimana, aku berpikir seakan bu Yanti juga mengharapakan Wati yang mewakili sekolah ini. Aku hanya terdiam dan merenung, tiba-tiba Bram memukul pundakku dan aku terkejut. Bram memberikan semangat untukku, sepertinya Bram mengetahui apa yang aku pikirkan. Aku memang harus lebih berjuang lagi dan melatih gaya bicaraku, karena aku tau Wati saat ini lebih baik dari diriku.

Suara lonceng berbunyi tandanya proses belajar mengajar hari ini telah selesai, aku bergegas menjumpai bang Simal supaya kami segera pulang. Aku melihat bang Simal baru saja selesai berbicara, dengan pak Harto di depan kantor kepala sekolah. Terdengar suara Bram memanggilku, ia meminta ikut pulang bersama kami. Kami pun pulang bersama dengan naik sepeda motor, Bram duduk di belakangku sambil memegang erat pinggangku. Bram menanyakan aku, kenapa terburu-buru pulang tidak seperti biasanya. Aku menjelasakan kepada Bram, kalau aku mau latihan berpidato ke rumah pak Petrus. Bram memang tidak mengenal pak Petrus, lalu aku bilang kalau pak Petrus itu seorang pendeta. Bram kemudian memberikan semangat padaku untuk belajar pidatonya, Bram pun turun dari sepeda motor sebab kami sudah sampai di depan rumahnya.

Di depan rumah ayah dan ibu sedang duduk berdua, sambil menunggu aku dan bang Simal pulang sekolah. Ayah langsung menyuruhku untuk mengganti pakaian, dan aku bergegas mengganti pakaian sekolah. Aku dan ayah pergi kerumah pak Petrus, Sedangkan bang Simal membantu ibu di rumah membuat jemuran baru di samping rumah.

Aku dan ayah sampai di rumah pak petrus, kebetulan pak Petrus sedang di depan rumahnya mengurus burung beonya. Pak Petrus mengajak kami masuk ke dalam rumah, ketika di dalam rumah aku mendengar suara bermain piano. Kemudian pak Petrus memanggil kak Kristin, sambil menyuruh bermain pianonya di berhentikan dulu. Aku pun baru tau, kak Kristin bisa bermain piano. Kak Kristin datang menghampiri kami, ia menyalam ayah dan aku. Kemudian pak Petrus menyuruh, kak Kristin membuat minuman. Aku hanya duduk, mendengar ayah dan pak Petrus bercerita tentang urusan mereka. Aku tak mungkin memotong pembicaraan mereka, sebab mendengar pembicaraan mereka yang serius.

Setelah sekitar 30 menit, aku mendengar ayah dan pak Petrus berbincang-bincang. Tiba-tiba ayah memanggilku, dan menyuruh mengatakan apa yang ingin aku pelajari dari pak Petrus. “Kamu ingin belajar apa nak Saga?” kata pak Petrus. “Mau belajar pidato pak” kataku sambil tersenyum.

“Gini pak Petrus, Saga ada perlombaan berpidato di sekolah dan dia minta diajarin. Yaudah aku bawa dia kemari aja, karena bapak dah sering berbicara di depan banyak orang” kata ayah. “Kapan perlombaannya Saga?” kata pak Petrus. “Besok pak” kataku sambil tersenyum.

Pak Petrus meminta teks pidato yang aku buat, ia membacanya sejenak. Aku malu, kalau teks pidatoku sangat buruk. Setelah pak Petrus selsai membaca, tiba - tiba ayah permisi pulang.

Ayah pergi ke kantor kepala desa, dan aku belajar pidato bersama pak Petrus. Beliau menyuruh aku untuk membacakan pidato. Aku bingung harus memulai bagaimana. Lalu aku bertanya kepada Pak Petrus, bagaimana memulai berpidato.

Beliau menyuruh mengucapkan salam terlebih dahulu. Aku kemudian mengucapkan salam. Aku pun membacakan pidatoku di depan pak Petrus dengan membaca teks pidato. Ketika aku membaca pidato, aku lihat ekspresi muka pak petrus seperti bosan.

Setelah selesai membaca teks pidato, pak Petrus memberi masukan. Beliau mengatakan apabila membaca teks, jangan lupa sesekali melihat ke depan. Jangan pula kaku dalam membaca, harus di sertai ekspresi sesuai suasana pada teks.

“Kalau bisa berpidato tanpa teks” kata pak Petrus. Aku bingung suasana yang bagaimana di maksudkan Beliau. Namun setelah beliau mengatakan seperti ketika aku membaca “guru memarahiku” harus dengan ekspresi yang menunjukkan penyesalan. Aku baru membacakan sesekali teks pidatoku, tapi kesalahan untuk membaca pidato sudah banyak aku buat.

Lalu datang kak Kristin duduk di samping pak Petrus. Kak Krsitin bingung kami sedang apa, sebab aku berdiri di depan pak Petrus. Setelah pak Petrus menerangkan, kak Kristin memberiku semangat. Pak Petrus menyuruh kak Kristin memberikan contoh berpidato, dan aku duduk di samping pak Petrus. Kak Kristin membaca teks pidatoku, dengan baik dan sambil menggerakkan tangannya. Ekspresi kak Kristin juga dalam membacakan teks pidato, terkadang mukanya seperti yang sedih kemudian muka yang tersenyum semangat.

Aku menggantikan kak Kristin untuk membaca teks pidatoku, kak Kristin duduk di samping pak Petrus sambil mendengarkanku berpidato. Aku meniru seperti yang di lakukan oleh kak kristin, menggerakkan tangan dan ssekali memandang ke depan. Tiba – tiba pak Petrus menyuruku berhenti sejenak berpidato. Beliau menyuruh untuk menunjukkan ekspresi sesuai suasana teks pidato, aku harus menghayati dan membayangkan sedang dalam situasi tersebut.

Aku membaca kembali, sesuai arahan dari pak Petrus, aku mulai mengingat suasana sekolah. Karena dalam teks, aku menulis dari suasana sekolah yang aku alami. Lagi - lagi setelah aku selesai membaca teks pidato, pak Petrus belum puas dengan penampilanku berpidato. Berpidato sangat sulit, seakan pak Petrus mendengar apa yang aku bicarakan dalam hati. Beliu mengatakan, segala sesuatu hal yang kita lakukan tidak ada yang sulit, apabila mau belajar sungguh - sungguh.

Aku mengulangi lagi dari setiap kata, aku meresapi dengan situasi yang sedang aku alami. Aku mulai merasakan seakan sedang berada di sekolah. Gerekan tangan mulai aku latih seperti yang di contohkan kak Kristin. Penampilanku kali ini mendapat pujian dari pak Petrus, namun pak Petrus masih mengatakan kata tetapi. Aku harus lebih menghayati lagi, intonasi harus lebih jelas dan sebelum tidur harus di praktekkan lagi.

Kak Kristin melihat teks pidatoku yang aku tulis tidak teratur. Ia berbaik hati, menuliskan ulang teks pidatoku di selembar kertas, agar lebih mudah menghafal. Sedangkan pak Petrus permisi untuk pergi ke gereja, sebab ada kegiatan pelayanan di gereja. Aku memandangi tulisan kak Kristin yang begitu bagus, ternyata selain pandai bermain musik kak Kristin juga memiliki tulisan yang indah.

Di luar rumah terdengar suara, seperti suara bang Simal memanggil namaku. Karena kak Kristin lagi menulis teks pidato, aku pergi membukakan pintu. Ternyata di depan rumah berdiri bang Simal, aku mengajak bang Simal masuk, karena teks pidatoku belum selesai di tulis kak Kristin. Kak kristin seperti terkejut, yang datang ternyata bang Simal.

Kak Kristin terkejut, aku bersama dengan bang Simal masuk. Aku dan bang Simal duduk, sambil memandang kak Kristin menuliskan teks pidato untukku.

Kak Kristin menyelesaikan tulisan pidatoku, tetapi terdengar suara hujan di luar. Aku dan bang Simal terhalang pulang, aku mengajak kak Kristin bernyanyi dengan pianonya. Aku mengatakan kepada bang Simal, kalau kak Kristin jago bernyanyi dan bermain piano. Bang Simal mengatakan sudah tau kalau kak Kristin pandai bermain piaono. Karena kebetulan hujan, aku membujuk kak Kristin supaya bernyanyi sambil bermain piano.

Kami mendekati piano kak Kristin, dan kak kristin duduk di bangku pianonya. Kak Kristin bingung mau menyanyikan lagu apa. Aku juga bingung, mau menyanyikan lagu apa dan begitu pula bang Simal. Lalu kak Kristin memainkan piaononya, dengan sebuah lagu yang enak di dengar. Bang Simal tampak menatapi kak Kristin dengan senyuman, dan kak Kristin bernyanyi begitu baik dengan penghayatan yang bagus.

Lihat selengkapnya