Bang Simal hendak pergi ke gereja, aku meminta ikut untuk menemani bang Simal. Aku bingung mau apa soalnya di rumah. Bang Simal mengijinkan untuk ikut dengannya, hanya saja aku menunggu bang Simal di luar sambil bermain. Di perjalanan aku meminta bang Simal supaya singgah ke rumahnya Bram. Aku mengajak Bram agar mempunyai teman untuk bermain, sembari menunggu bang Simal selesai beribadah.
Setelah di depan rumah Bram, aku melangkah ke pintu rumah untuk memanggilnya. Ketika sampai di depan pintu, aku terkejut karena Bram tiba-tiba keluar. Bram juga terkejut aku berada di depan pintu rumahnya, aku mengajaknya ke gereja dengan bang Simal. Ternyata ketika aku mengajak Bram, ayah Bram mendengarnya dan terkejut. Ayah Bram menyangka aku telah pindah agama ke Kristen. Aku menjelaskan kalau kami hanya menemani, bang Simal gereja dan kami bermain di luar gereja. Ayah Bram menegurku, kalau bicara itu jelas jangan tanggung-tanggung. Ayah Bram mengijinkan Bram pergi, ayah Bram mendekati bang Simal dan berkata untuk mendokan kampung Kaja. Bang Simal tersenyum sambil mengatakan, kalau hal itu sduah wajib untuk di doakannya.
Kami melanjutkan perjalanan ke geraja, Bram seperti biasanya berada di posisi paling belakang ketika naik sepeda motor. Di depan gereja kebetulan kak Kristin dan ibunya baru saja sampai juga. Aku melihat pak Petrus tidak ikut, kak Kristin mengatakan kalau pak Petrus berkotbahnya di gereaja lain. Ibu Kristin memberi kami uang Rp 10.000, supaya kami bisa jajan sembari menunggu pulang gereja. Ibu Kristin mengatakan kalau mushola hanya sekitar 500 meter, dan di sana lagi diadakan kegiatan perlombaan agama.
Kami pergi ke mushola, dan berjalan sesuai arah yang diberikan ibu Kristin. Aku dan Bram melihat ada spanduk bertuliskan, perlombaan membaca puisi untuk anak-anak usia 5-10 tahun. Ternyata dari spanduk itu hanya sekitar 10 meter lagi jarak musholanya, kami melihat di perkarangan mushola ramai orang dengan busana Islam. Sembari melihat dari luar pekarangan, seorang laki-laki memukul punggungku dari belakang. Laki-laki itu memakai baju bernuansa Islam dengan peci warna hitam di kepalanya, dia masih terlihat muda. Laki-laki itu mengjak kami, untuk masuk kedalam dan menyaksikan acara perlombaanya.
Aku dan Bram duduk dengan laki-laki itu, menyaksikan perlombaan puisi yang bernuansa agama Islam. Anak kecil maju untuk membaca puisi, alunan katanya begitu indah dengan selipan ayat alquran. Anak yang masih kecil sudah bisa meresapi makna puisi dengan luar biasa. Suara tepuk tangan yang meriah, menyambut anak tersebut selesai mebacakan puisinya. Peserta berikutnya seorang anak laki-laki, dengan baju dan celana berwarna hijau dan peci hitam di kepalanya. Puisinya dibuka dengan ayat alquran yang membuat hati ini merasa tenang mendengarnya, seorang anak sudah bisa berpuisi dan berani tampil didepan banyak orang. Aku merasa malu pada diriku sendiri dan merasa tertinggal dari anak-anak tersebut. Sembari mendengarkan puisi, aku dan Bram di ajak bicara oleh lelaki tadi. Ia memberitahu kami bahwa namanya adalah Rafi.
“Kalian jarang aku lihat di desa ini, kalian bukan anak-anak dari desa iniya?” kata bang Rafi. “Bukan bang, kami dari desa Sebalah” kata Bram. “Kami ke desa ini menemani abang kami, yang lagi gereja di sana (sembari menunjuk ke arah gereja)” kataku. “Pantas kalian tadi melihatnya dari luar, nama kalian siapa?” kata bang Rafi.
Aku dan Bram meperkenalkan diri kami masing-masing, kepada bang Rafi. Kemudian, kami becerita panjang lebar, terutama tentang Keluarga pak Petrus. Pak Petrus juga dikenal baik oleh bang Rafi, karena pak Petrus salah satu tokoh agama yang menjungjung toleransi. Kak Kristin juga dikenal baik oleh bang Rafi, karena mereka adalah pemuda satu desa.
Kemudian bang Rafi menunjuk ke arah gerbang Mushola, kalau orang kak Kristin ada di depan gerbang. Aku dan Bram melihat ke belakang, ternyata bang Simal sudah selesai kebaktian. Kami menghampiri bang Simal, ibu Kristin dan bang Simal ke depan gerbang, tidak terasa memang waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Ketika itu makan siang sedang di bagikan untuk para peserta lomba, dan para penonton yang datang. Bang Raffi menunyuruh menunggu sebentar sebelum kami pulang, dan bang Rafi datang membawa lima nasi kotak. Aku dan Bram sangat senang karena jarang makan nasi kotak. Bang Simal, kak Kristin dan ibu kak Kristin sangat berterimakasih, sudah di berikan bang Raffi nasi kotak padahal mereka hanya singgah sebentar.
Kami menyalam bang Rafi dan pamitan ingin pulang, kak Kristin menawarkan untuk kerumahnya singgah. Tetapi bang Simal menolaknya karena jam satu siang ada acara di kantor kepala desa, dan bang Simal selaku guru harus datang. kami bertiga pergi pulang. Aku memegang dua nasi kotak, bang Simal tidak mungkin memegang nasi kotaknya karena mengemudikan sepeda motor.