LIRIK LANGIT

Danri AS
Chapter #12

BAB 12 - Belanja

Bang Simal mengatakan kepada ayah, ia ingin melihat persawahan untuk bahan penelitian. Ayah mengijinkan bang Simal pergi melihat persawahan. Aku, kak Kristin dan Kak Nara ikut menemaninya.

Aku dan bang Simal naik sepeda motor ayah, sedangkan kak Nara dan kak Kristin naik sepeda motor kak Kristin. Dalam perjalanan, Aku melihat kak Kristin dan kak Nara sedang asyik berbicara. “Seandainya kak Kristin dan kak Nara suka sama bang Simal” kataku. Bang Simal tersenyum, ia memberiku pertnyaan serupa. Aku langsung menjawab, aku akan memilih kedua-duanya, sembari tertawa.

Sesampainya di area hamparan sawah yang luas dan hijau, di sambut pemandangan pegunungan. Kami berjalan di jalan setapak diantara persawahan, aku berada di depan sedangkan bang Simal berada paling belakang. Aku melihat ke belakang, bang Simal kembali memfoto area persawahan. Kami berhenti di gubuk di tengah area persawahan, kak Nara menerangkan kepada bang Simal tentang persawahan di desa kami. Aku menyuruh bang Simal untuk mengajari berpidato di persawahan, kak Kristin mendukung ucapanku, ia menyuruh bang Simal juga mengajariku.

Akhirnya bang Simal mengajariku berpidato. Bang Simal mengatakan jika memang ingin berpidato, yang paling penting pahami dan rasakan apa yang ingin di sampaikan. Bang Simal melihat bekas sawah yang di panen, airnya sudah kering terdapat tumpukan bekas padi yang baru di giling. Bang Simal, kak Nara dan kak Kristin duduk di bekas penggilingan padi, sedangkan aku berdiri di depan mereka untuk berpidato. Bang Simal menyuruhku berpidato tentang sawah. Aku memberanikan diri berdiri tegak, sedangkan kak Nara dan kak Kristin tersenyum melihatku.

Desa Kaja adalah sebuah desa yang cukup indah dan damai. Terdapat area sawah yang sangat luas dan terlihat pegunungan yang sangat bagus. Aku dan masyarakat desa Kaja pergi setiap harinya ke sawah untuk mengurus padi. Ketika kami panen padi, kami menjualnya dan mampu memberikan makan banyak orang. Tanpa petani di desaku orang-orang di kota mungkin tidak akan makan beras. Meskipun kami menghasilkan beras untuk dimakan orang kota, tetapi kami masih saja hidup dengan apa adanya.

Bang Simal tiba-tiba menyuruh berhenti, ia mengatakan aku masih kurang menghayati pidato dengan baik. Aku di suruh menghayati dengan perasaan dan sambil menggerakan kedua tangan.

“Saga supaya untuk melatih mentalmu, kau anggap saja aku ini Bupati yang sedang menyaksikanmu berpidato” kata bang Simal. “Kalau abang bapak bupatinya, trus yang menjadi ibu bupatinya siapa bang?” kataku. Muka bang Simal tiba-tiba kemerahan, seprtinya ia bingung memilih kak Nara dan kak Kristin. “ Ahhh kamu Saga, anggap aja ibu bupatinya lagi arisan” kata bang Simal.

“Trus kak Nara dan kak Kristin aku anggap apa bang?” kataku sambil tersenyum. “Yaudah kamu anggap aja apa yang menurutmu baik Saga” kata bang Simal. “ Saga tidak usah banyak bicaramu, langusung aja berpidato” kata kak Nara.

“Yaudah aku anggap kak Nara dan kak Kristin itu istrinya bapak bupati” kataku. “Yaudah itupun jadi” kata bang Simal.

“Ihhh kamu apaan sich Simal, masakan kami berdua istrimu” kata kak Nara. “Iya Simal asal mengiyakan ucapannya si Saga aja” kata kak Nara. “ iya, maaf Nara, Kristin” kata bang Simal sambil tersenyum. “Kita ini kok jadi berdebat gara-gara si Saga ini. Saga kamu langsung aja pidato cepat. Nanti kemalaman kita pulangnya” kata kak Nara.              

Aku kembali berpidato;

Desa Kaja adalah sebuah pedesaan yang cukup indah dan damai. Didesaku terdapat area sawah yang sangat luas dan terlihat pegunungan yang sangat bagus.

  Bang Simal memberhenti kembali, ia mengatakan suaraku jangan terlalu datar. Harus ada suara yang lebih keras untuk mengungkapkan perasaan kita lewat pidato. Kak Kristin menambahkan kritikan padaku, kalau ingin mengeraskan suara jangan asal keras saja, tetapi luapkan dengan perasaan emosional. Ternyata berpidato itu tidak mudah, memang harus butuh latihan selalu. Tidak tau entah sudah berapa kali, aku mengulang berpidato.

  Kak Nara menyuruh untuk latihannya di lanjut dirumah saja, karena matahari sudah mulai tenggelam dan hujan sepertinya mau turun. Kami bergegas pulang, kak Nara diantar kak Kristin pulang kerumahnya dan aku bersama dengan bang Simal.

Pada malam harinya aku melanjutkan latihan pidato lagi, di dalam kamar bersama dengan bang Simal sebagai pelatihku. Aku berlatih dengan serius, sembari memandang foto bung Karno. Terbayang diriku seperti beliau. Bang Simal mengatakan, aku lebih baik dari pada saat berpidato di sawah tadi. Lelah berpidato dan ibu juga sudah menyuruh untuk tidur, aku dan bang Simal akhirnya tidur.

Esok harinya adalah hari senin, kami seperti biasanya melakukan upacara bendera. Hari ini bang Simal ternyata bertugas, sebagai pembina upacara dan mikel pemimpin upacara. Wati, Bram dan aku bertugas sebagai pengibar bendera merah putih. Wati berada di antara aku dan Bram, ia sebagai pembawa bendera merah putih. Wati memberi instruksi dengan suara yang pelan, untuk bergerak maju ke depan tiang bendera. aku membuka ikatan tali tiang bendera, kemudian aku dan Bram mengikat bendera merah putih. Wati mengibarkan benderanya dengan kedua tangannya, “bendera siap” ucap wati dengan suara yang keras. Lagu Indonesia Raya dikumandangkan, aku dan Bram menarik dengan perlahan tali tiang bendera. Setalah samapai di ujung tiang, kami bertiga menghormat dan kembali ketempat semula.

Saatnya bang Simal untuk menyampaikan pidato, di pagi hari ini sebagai pembina upacara. Ternyata bang Simal hebat dalam berpidato, ia menyampaikan pidatonya dengan suara yang lantang dan jelas. Isi pidato bang Simal menegaskan supaya jangan menyerah untuk belajar, agar kami suatu saat dapat meraih cita-cita. Aku memandangi gaya dan cara berbicaranya, seperti melihat seorang pemimpin yang lagi berbicara. Semua murid dan guru sepertinya tidak ada yang mengantuk dan merasa bosan mendengar bang Simal berpidato. Di akhir pidatonya ia mengatakan “ manusia bisa mengambil apa yang dilihat mata, tetapi tidak bisa mengambil yang tidak dilihat mata yaitu semangat dan pikiran”. Sontak aku bertepuk tangan, dan semua mata melihat padaku. Karena terkagumnya terhadap pidato bang Simal, aku merasakan berpidatonya hanya sebentar saja.

Lihat selengkapnya