Wati tidak masuk sekolah, salah satu temanku bercerita kalau Wati sakit demam berdarah dan sedang di rawat di rumah sakit. Bang Simal masuk ke ruangan, ia mengatakan ada rapat mendadak untuk membahas Wati, karena hari ini nama peserta lomba harus di daftarkan. Kulihat jam dinding sudah dua puluh menit bang Simal belum datang. Tiba-tiba bang Simal dan bu Ros masuk ke dalam ruangan. Bu Ros mengatakan, kalau orang tua Wati sudah di telepon pihak sekolah dan Wati tidak bisa ikut perlombaan pidato. “Keadaan Wati masih dalam keadaan rawat inap” kata bu Ros.
Pihak sekolah mengambil kebijakan mengantikan Wati. Tidak mungkin menyeleksi satu persatu lagi, karena hari ini nama perwakilan sekolah harus di daftarkan. Hasil rapat para guru sudah memutuskan, aku sebagai juara dua dalam seleksi lomba pidato kemarin, mengantikan Wati dalam perlombaan pidato besok.
Mendengar ucapan bu Ros aku terkejut, seakan tidak percaya dengan ucapan bu Ros. Bram memukul pundakku, ia tersenyum dan memberikan selamat. Sungguh hatiku begitu senang, tidak sia - sia selama ini aku tetap latihan berpidato dengan bang Simal. Bang Simal dan bu Ros menyampaikan selamat padaku, dan tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Bu Ros pergi meninggalkaan kami, sedangkan bang Simal tetap berada di dalam ruangan. Ia menyuruh untuk menganti pakaian, setalah memakai pakaian olahraga, semua berbaris di halaman sekolah.
Bang Simal mengajarkan, teknik lari estafet yang baik dan benar. Setelah bang Simal mempraktekanya, kami di suruh untuk lari estafet sesuai dengan yang diajarkan. Kami dibagi menjadi tiga kelompok, aku selalu satu kelompok dengan Bram.
Terdengar suara lonceng berbunyi, tidak terasa jam olahraga begitu cepat berlalu. Aku bergegas untuk mengganti pakaian dengan seragam sekolah. Semua telah selesai mengganti pakaian, dan duduk terdiam menanti kedatangan bu Ros. Tampak dari jendela kepala bu Ros, dan kami bersiap untuk menyapanya. “Selamat pagi bu” ucap kami serentak. “Selamat pagi juga” jawab bu Ros. Ia kemudian duduk, tetapi tiba-tiba memanggil namaku dan menyuruh ke depan.
“Saga apakah kamu siap untuk lomba pidato besok” tanya bu Ros. “Saya siap bu” jawabku. “Jangan asal siap saja, tetapi kamu juga harus latihan keras nanti pulang sekolah” kata bu Ros. “Iya bu, aku akan latihan dengan bang Simal” jawabku. Kemudian bu Ros menyuruh duduk kembali. Raut wajah bu Ros sepertinya, menaruh harapan besar kepadaku untuk bisa menjadi juara besok.
Sekolah kami sangat jarang mendapat prestasi, dan selalu di pandang setengah mata. Bu Ros juga mengatakan, dari perlombaan pidato ini semua pihak sekolah berharap bukan hanya menang untuk besok, tetapi harus menang di hadapan bapak bupati. Semangatku berkobar ingin menunjukkan kepada semua orang, kalau sekolah kami adalah sekolah yang terbaik. Perjuanganku cukup berat dan pasti banyak saingan yang hebat. Aku tidak sabar ingin pulang, dan berlatih pidato dengan bang Simal lagi.
Teng...teng...teng.. suara lonceng istrahat terdengar, aku dan Bram pun pergi ke kantin. Setelah membeli minuman, aku mengajak Bram kebawah pohon untuk bercerita. Sesampainya di bawah pohon, Bram penasaran dengan cerita yang akan ku sampaikan. “Betul sekolah kita akan di gusur Bram” ucapku. Bram terkejut mendengarnya. Ia bertanya kembali, apakah aku serius atau bercanda. Kuyakinkan Bram percaya perkataanku, dengan mengatakan kalau bang Simal sendiri yang cerita.
Aku dan Bram bingung mau berbuat apa, untuk menghentikan penggusuran sekolah. “Aku punya solusi Saga” ucap Bram. “Apa itu Bram?” tanyaku. Bram mengatakan solusinya ada padaku. Aku harus bisa menjadi juara satu di depan bapak bupati, dan kalau juara satu nanti akan di berikan kesempatan untuk bicara langsung di hadapan bapak bupati. Ia mengetahuinya ketika di aula kantor camat Bram mendengarnya tanpa sengaja dari panitia perlombaan. Bram berencana, seandainya aku juara satu dan di berikan kesempatan bicara, untuk menyampaikan masalah penggusuran sekolah agar tidak di gusur tetapi diperbaiki saja.
Ide dari Bram cukup baik, tetapi bagaimana kalau aku tidak bisa juara satu dan sekolah akan di gusur. Baru kali ini aku merasakan, seperti menjalankan sebuah tugas yang sangat berat. Aku harus berjuang karena mungkin hanya itu cara untuk bisa berbicara kepada bapak bupati.
Waktu yang ku tunggu tiba, jam pelajaran sekolah telah berakhir aku tidak sabar ingin berlatih pidato agar rencanaku dan Bram tercapai. Seperti biasanya Bram turun di depan rumahnya, aku dan Bang Simal melanjutkan perjalanan pulang. Dalam perjalannan, bang Simal memberikan semangat untukku agar besok menjadi juara. Bang Simal juga berjanji, setelah makan nanti ia akan mengajari latihan pidato.
Sesampainya di depan rumah aku berlari ke dalam rumah, kuteriaki ibu dan ayah mengatakan besok aku ikut lomba pidato. Ibu ternyata di dapur, kuberitahu ibu tentang perlombaan pidato besok. Ibu senang mendengar ceritaku, dan memelukku. “Wahhhh tak sia-sia kamu nak selam ini belajar pidatonya” ucap ibu. Selesai makan siang, aku dan Bram pergi ke area persawahan untuk latihan pidato.
Sesampainya di sawah aku bertanya pada bang Simal, apakah jika juara satu bisa diberi waktu untuk berbicara di depan bapak bupati. Ternyata ucapan Bram betul, bang Simal mengatakan siapa yang juara satu akan diberikan kesempatan sekitar sepuluh menit untuk berbicara. Ku sampaikan rencanaku dan Bram pada bang Simal, kalau aku ingin juara satu agar bisa berbicara kepada bapak bupati, agar sekolah kami tidak di gusur. Bang Simal memukul pundakku dengan pelan, ia mengatakan bangga dengan niat baikku. “Jika nanti memang juara satu, jangan pernah ragu dan gentar menyampaikan suara hatimu Saga” ucap bang Simal.