Bang Simal bangun lebih cepat, ia membanguniku dan menyuruh lekas mandi. Mengingat hari ini adalah hari bertarung bagiku, aku segera bangun kemudian mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Ibu baru saja bangun, dan pergi ke dapur untuk masak sarapan pagi. Bang Simal sudah bisa berdiri dan berjalan seperti biasanya, hanya saja tangannya masih di perban.
Aku dan bang Simal sudah selesai berpakaian sekolah, kami keluar kamar untuk sarapan. Tampak di meja makan ibu menghidangkan nasi goreng, dan minumannya teh manis panas. Ayah bangun dan melihat bang Simal berpakaian rapi ingin pergi kesekolah. “Apakah memang sudah bisa kamu ke sekolah nak Simal?” kata ayah. Bang Simal mengatakan kalau ia sudah merasa sehat dan bugar, sudah bisa menemaniku hari ini berlomba pidato. Selesai sarapan pagi, ayah dan ibu memberikan semangat untukku, mereka berpesan untuk berdoa sebelum berpidato nanti.
Hari ini sungguh semangatku berkobar-kobar, aku belum juara pada lomba pidato hari ini, tetapi aku sudah terbayang-bayang berpidato di depan bapak bupati. Aku dan bang Simal pergi ke sekolah seperti biasanya dengan sepeda motor ayah, bang Simal mengatakan kami harus ke sekolah dulu sebelum ke kantor camat. Kami lewat dari rumah Bram dan menyuruh bang Simal berhenti, untuk memanggil Bram.
Aku berlari ke depan pintu rumah Bram, kupanggil namanya dengan keras dan Bram pun keluar. Bram sudah mengenakan seragam sekolah, tetapi belum memakai sepatu sekolah. Bram selesai memakai sepatu sekolah, dan kami berlari menghampiri bang Simal. Ketika dalam perjalanan, Bram meminta bantuan kepada bang Simal untuk berbicara pada bu Santi, agar ia di berikan izin ikut ke kantor camat. Bang Simal mengatakan nanti ia akan memcoba mengusahakannya, karena bu Santi juga ikut ke kantor camat.
Sesampainya di sekolah aku dan bang Simal pergi ke kantor kepala sekolah, dan Bram pergi masuk ke dalam ruangan kelas kami. Bu Santi sudah menunggu di kantor kepala sekolah, setelah semua berkas di persiapkan kami bergegas pergi ke kantor camat. Setelah di halaman kantor kepala sekolah, bang Simal berbicara kepada bu Santi agar Bram di ijinkan ikut ke kantor camat. Bu Santi kemudian menyuruh aku memanggil Bram kedalam ruangan kelas, aku berlari memanggil Bram.
Bram terkejut aku memanggil dengan suara keras dari pintu ruangan kelas, ku katakan pada Bram ia boleh ikut dan bu Santi sudah mengijinkan. Temanku yang lain juga meminta ikut, tetapi aku mengatakan hanya Bram yang di suruh bu Santi. Bram begitu senang ketika ku ajak ikut ke kantor camat, aku dan Bram berlari ke parkiran sepeda motor, karena bang Simal mengatakan menunggu kami di sana.
Kami berempat pergi ke kantor camat, aku dan bang Simal pergi dengan sepeda motor ayah, Bram dan bu Santi pergi dengan sepeda motor bu santi. Sesampainya di halaman kantor camat, sudah banyak sepeda motor yang parkir, dan ada beberapa mobil mewah yang parkir di halaman kantor camat. Begitu juga dengan murid-murid SD sudah banyak yang hadir, di aula kantor camat beserta dengan gurunya masing-masing. Bu Santi pergi ke dalam aula kantor camat, untuk memberikan persyaratan berkas dan mengambil nomor urut untuk berpidato. Kami duduk di rumput samping aula kantor camat, sembari menunggu bu Santi..
Terdengar suara HP bang Simal, ia berbicara pada orang yang meneleponya dan mengatakan kalau kami sedang ada di samping kantor camat duduk di rerumputan. Aku terkejut melihat kak Kristin datang. Kak Kristin kemudian duduk di sampingku, ia mengatakan datang ke kantor camat untuk melihatku berpidato. Kak Kristin juga bercerita pada pak Petrus hari ini aku lomba pidato, pak Petrus menitip salam lewat kak Kristin agar aku semangat dan menjadi juara satu. Bu Santi datang, ia memberikan padaku sebuah angka 17, dan ternyata angka 17 adalah nomor urutku berpidato. “Ada 17 peserta yang ikut berlomba hari ini, dan Saga menjadi nomor urut yang ke 17” kata bu Santi. Bu Santi bercerita kalau pihak kecamatan menjagokan sekolah karya yang akan menjadi juara satu, dan mewakili kecamatan kami berlomba pidato di depan bapak bupati. Bu Santi juga berceriti, peserta dari SD karya adalah anak dari salah satu anggota DPRD (Dewan Perwakilam Rakyat Daerah).
Bu Santi mengajak untuk berkumpul ke aula kantor camat, karena perlombaan pidato agan segera dimulai. Kami bergegas masuk ke dalam aula kantor camat. Sesampainya di dalam aula kantor camat, kami duduk di barisan belakang karena hanya tinggal bangku barisan belakang yang masih kosong. Ketua pantia perlombaan resmi membuka perlombaan pidato tersebut.
Nomor urut pertama adalah seorang perempuan, maju kedepan dengan begitu baik berpidato. Aku menyaksikan para peserta yang tampil sangat bagus-bagus. “Kamulah pemenangnya Saga” ucap bang Simal yang duduk di sebelah kiriku dan sambil memegang pundakku. Mendengar ucapan bang Simal aku menjadi semangat, aku akan membuktikan ucapan bang Simal adalah benar. Aku mulai tidak sabar ingin berpidato ke depan, tampak yang menjadi jurinya ada empat orang.
Tidak terasa waktunya istrahat, dan para juri pergi meninggalkan mejanya. Aku dan Bram pergi kekamar mandi, dan waktu yang di berikan untuk istrahat hanya 20 menit saja. Di dalam kamar mandi Bram memberikan semangat padaku, salah satu peserta dengan nomor 13 menyanggah ucapan Bram. Peserta itu mengatakan, kalau aku tidak mungkin menjadi juara dan jangan berharap lebih, setelah mengatakan itu ia langsung meninggalkan kami. “Bocah sombong” ucap Bram dengan nada keras.
Aku dan Bram kembali masuk ke aula, pertandingan lomba pidato di mulai kembali dengan nomor urut 12. Setalah nomor urut 12 selesai, nomor urut 13 naik ke atas panggung, ternyata peserta yang sombong tadi ketika di kamar mandi adalah dari SD karya. Peserta dari sekolah karya itu, berpidato dengan baik dan penuh kepercayaan diri. Ia selesai berpidato dan semua bertepuk tangan, dan salah satu juri sambil berdiri memberikan tepuk tangan. Aku merasa geram mengingat ucapan peserta dari SD karya, itu membuatku lebih bersemangat lagi untuk mengalahkannya. Bram juga memberikanku semangat, ia mengatakan kalau pun aku tidak juara satu, peserta dari SD karya harus ada di bawah peringkatku.
Satu persatu peserta telah selesai, aku semakin tidak sabar ingin maju dan peserta nomor urut 16 sedang berpidato. Bu Santi memegang kepalaku, ia mengatakan saatnya membungkam seluruh orang, ia menyuruhku untuk tetap semangat. Suara keras memanggil nomor urut 17, aku berdiri dari tempat dudukku. Bang Simal, bu Santi, Bram dan kak Kristin memberikan semangat padaku, aku berjalan melewati orang banyak dan naik ke atas panggung.
Ku ucapakan doa dalam hatiku dengan singkat, ku tarik napasku pelan dengan hidung lalu ku hembuskan kewat mulut.
Guru Panutanku
Selamat pagi buat kita semua