Aku dan bang Simal ingin berangkat ke sekolah, ayah tiba-tiba memanggil bang Simal, mesin sepeda motor di matikan bang Simal. Ayah mengatakan pak Ridwan besok ingin memanen cabai, dan pak Ridwan sudah ke pak Toni tetapi harganya sangat rendah hanya bisa pulang modal saja. Ayah menyuruh bang Simal untuk menelepon tengkulak yang di kota, apakah besok mau mengambil cabai pak Ridwan ke desa ini lagi. Bang Simal langsung menelepon tengkulak tersebut. Tengkulak dari kota bersedia datang lagi ke desa ini besok, dan harganya cabainya seperti harga cabai ayah.
Setelah itu kami langsung pergi kesekolah. Setelah sampai di sekolah, aku belum sampai di dalam ruangan kelas suara lonceng sudah berbunyi. Aku berlari lebih kencang, kucampakkan tasku keatas meja dan berlari menuju halaman sekolah. Pak Harto berdiri di podium, ia mengumumkan kalau sekoalah kami berhasil sebagai wakil dari kecamatan untuk berpidato minggu depan. Bapak Harto memamggilku ke dapan untuk berdiri. Aku berlari ke samping bapak sekolah, ia memberikan ucapan selamat padaku dan berharap agar bisa menjadi juara satu se-kabupaten.
Para murid pun bubar dari barisan, mereka masuk ke dalam ruangan kelas masing-masing. Aku masih berdiri di samping kepala sekolah, guru-guru menyalamiku sembari memberikan ucapan selamat. Setelah semua guru menyalamiku, aku masuk ke dalam ruangan kelas bersama dengan bu Ros.
Ketika sedang istrahat, Mikel menghampiri aku dan Bram di bawah pohon. Mikel bertanya terkait penggusuran sekolah benar atau tidak. “Itu benar Mikel” kata Bram. Mikel tidak percaya kepada Bram, ia bertanya dari mana Bram tau kalau itu betul. Bram mengatakan bang Simal cerita kepadaku. Aku membenarkan ucapan Bram, dan Mikel terkejut mendengarnya.
Aku menceritakan kepada Mikel tentang rencana kami, Mikelpun setuju dengan rencanaku dan Bram. Seandainya aku juara satu, aku akan menyampaikan kepada bapak bupati agar sekolah kami jangan di gusur.
Mikel mengajak memberitahukan masalah ini, kepada teman-teman satu kelas. Bram tidak sepakat dengan ide Mikel. Setelah aku terdiam memikirkan ucapan Mikel, aku sepakat dengan ucapan Mikel. Aku berpikir memang teman-teman yang lain berhak mengetahuinya, karena sekolah ini adalah sekolah tempat kami belajar bersama. Kami pun berencana memberitahukan kepada teman-teman yang lain, ketika jam istrahat yang kedua. Terdengar suara lonceng berbunyi, jam istrahat pertama selesai dan kami bergegas masuk ke dalam ruangan kelas.
Kupandang jam di dinding sekoalah, dan hanya tinggal beberapa menit lagi lonceng jam istrahat ke dua akan berbunyi. Mataku tetap tertuju melihat jam dinding, jarum jam sudah menunjukan lewat lima menit dari jam istrahat. Terdengar suara lonceng berbunyi, bu Ros keluar dari dalam ruangan kelas. Bram langsung berlari ke pintu, ia menghambat murid yang mau keluar. Aku menyuruh untuk semua teman-teman kami agar duduk di bangkunya masing-masing, Bram tetap berada di pintu melihat guru datang.
Aku berdiri di depan kelas dan menceritakan masalah penggusuran sekolah. Aku juga menyampaikan rencanaku dan Bram, teman-teman kami tiba tiba merasa takut sekolah akan di gusur. Tetapi kemudian, semua sepakat terhadap rencanaku dan Bram. Kami sepakat merahasiakannya dulu, ke kepada adik-adik kelas kami.
Malam harinya setelah selesai makan malam, seperti biasanya kami duduk sembari menonton tv. Ayah mengatakan kepada bang Simal, kalau pak Ridwan sangat senang mendengar kabar tengkulak dari kota besok mau datang mengambil cabainya. Ayah menceritakan kalau pak Toni sebagai satu-satunya tengkulak di daerah kami, sesuka hatinya membuat harga. Ayah juga menceritakan tadi ia berpapasan dengan pak Toni, tetapi pak Toni tidak seperti biasanya yang mau menyapa. Ibu menyuruh ayah untuk tidak usah memikirkan itu, lagian pak Toni kata ibu mau menyapa orang karena ada maunya aja.
Ternyata tadi bapak Harto menyampaikan pesan untukku lewat bang Simal. Tema lomba pidato mingggu depan adalah tentang “Pahlawan”, dan lomba pidatonya sudah ditetapkan hari rabu, sekaligus memperingati hari pendidikan nasional. “Bagus itu temanya” ucap ayah. Bang Simal mengatakan besok kami latihan pidato, setelah menemani kak Kristin ke panti asuhan lagi. Hari ini kami tidak jadi latihan, karena sepulang sekolah aku dan bang Simal pergi mewawancarai pak Bondo lagi, karena ada beberapa hal yang masih ingin di diskusikan bang Simal dengan pak Bondo.
Pagi harinya yaitu hari sabtu, kami tidak masuk sekolah karena sedang libur, aku dan bang Simal berencana hendak ke area persawahan untuk latihan pidato lagi. Tetapi ibu menyuruh kami, untuk terlebih dahulu mengantarkan baju ke tempat kak Nara untuk di jahit. Aku dan bang Simal, pergi ke rumah kak Nara dengan naik sepeda motor ayah. Baju ibu yang hendak di jahit, aku pegang di dalam kantong plastik yang warna hitam. Kami sampai di rumah kak Nara, kebetulan kedua orang tua kak Nara sedang ada di tempat kak Nara menjahit.
Aku dan bang Simal menyalam kedua orang tua kak Nara, setelah itu kami duduk di kursi plastik. Aku duduk di samping ibu kak Nara, bang Simal duduk di samping kak Nara. Kak Nara menghentikan jaitannya, karena ingin berbicara kepada kami. Aku memberikan baju ibu kepada kak Nara, dan kak Nara ternyata sudah tahu ibu mau menjaitkan baju lagi. Kak Nara mengatakan semalam berjumpa dengan ibu di jalan, dan ibu mengatakan besok akan mengantarkan bajunya yang kebesaran untuk di kecilkan.
Kebetulan kak Nara ingin mengukur badanku, untuk menjahitkan baju padaku. Baju itu adalah seperti baju bapak Soekarno, karena aku akan berpidato di depan bapak bupati. Ayah kak Nara memberikan selemat padaku, karena setelah aku memang berpidato, baru kali ini jumpa dengan ayah kak Nara. Ibu kak Nara datang membawakan teh manis beserta goreng singkong. Hanya ingin mengantarkan baju ibu saja ke tempat kak Nara, tetapi karena ibu kak Nara telah memberi minum dan gorengan, kami pun harus menghabiskan minuman yang telah di sediakan terlebih dahulu.
“Bajunya persis seperti baju bapak Soekarno ya kak” kataku pada kak Nara. Kak Nara tersenyum dan mengatakan agar aku fokus aja kepada lomba pidatonya, urusan baju agar tidak ku pikirkan. Aku percaya kepada kak Nara, baju seperti bapak Soekarno akan sangat bagus di jait olehnya. Aku dan bang Simal telah menghabiskan teh manis kami masing-masing. Untuk goreng singkongnya tersisa dua potong. Aku telah memakan tiga potong, bang simal hanya memakan satu potong saja.