LIRIK LANGIT

Danri AS
Chapter #20

BAB 20 - Anggota Legislatif

"Bram ayo kita upacara” kataku. Kami berlari ke lapangan sekolah, mendengar suara lonceng upacara. Sebuah lagu wajib nasional berkumandang, pak Harto berjalan naik ke atas podium yang terbuat dari papan. Bapak Harto berpidato sekitar sepuluh menit, sebuah mobil berwarna hitam datang ke area parkiran. Sontak semua mata tiba-tiba tertuju ke mobil tersebut, semua seakaan penasaran siapa mereka pagi sekali sudah datang ke sekolah kami.

Pak Harto langsung menyapa, pandangan mata kembali kepada pak Harto dan beliau melanjutkan pidato. Upacara telah selesai dan barisan bubar, empat orang berbaju dinas keluar dari mobil hitam tersebut.

Pak Harto langsung menghampiri mereka, kemudian mereka berjalan menuju kantor kepala sekolah atau kantor guru juga. Aku dan Bram penasaran mereka mau apa. Mikel tiba-tiba datang dari belakang, ia juga penasaran. “Jangan-jangan mereka ingin membicarakan penggusuran sekolah kita” kataku. Bram juga berpikiran seperti apa yang sedang aku pikirakan, Mikel mengajak menguping pembicaraan.

Tampak dari jauh bu Santi sudah berjalan ke arah ruangan kelas kami. Seperti biasanya, kami sudah berbaris di depan ruangan melihat bu Santi datang. Satu persatu kami masuk ruangan, sembari menyalam tangan bu Santi. semua duduk di bangku masing-masing, hanya bu Santi yang berdiri.

Ia mengatakan untuk membaca buku bahasa Indonesia halaman tiga puluh lima, karena bu Santi ingin ke kantor kepala sekolah sekitar tiga puluh menit. Bu Santi pergi meninggalkan kami, Bram langsung mengajak untuk pergi ke belakang. Kebetulan Wati sebagai ketuu kelas tidak masuk, kami bisa dengan bebas keluar kelas. Aku mengintip dari pintu melirik kantor kepala sekolah, tidak terlihat lagi ada orang di depan kantor. Aku, Bram dan Mikel pergi ke belakang untuk menguping pemibacaraan di kantor guru.

Sesampainya tepat di belakang kantor guru, kami harus berhati-hati agara tidak ketahuan. Kami mulai menguping dan melihat ke dalam, bapak Harto sedang berbicara menyambut kedatangan empat orang berbaju dinas. Hanya pak Harto yang berdiri, lainya duduk dan tampak tersedia minuman di dalam gelas di atas meja ke empat orang berbaju dinas tersebut. Setelah pak Harto selesai berbicara, seorang laki-laki dari empat orang yang tidak kami kenal berbicara. Empat orang itu memang perwakilan dari pemerintah kabupaten untuk membicarakan penggusuran sekolah.

Laki-laki itu mengatakan, kalau pihak pemerintah kabupaten telah memutuskan untuk bulan depan, sekolah harus di kosongkan dari aktivitas belajar mengajar.

Sontak kami bertiga mendengarnya merasa terkejut, tiba-tiba Bram ingin berbicara dan aku langsung menutup mulutnya dengan tanganku. Kami melanjutkan mendengar laki-laki itu berbicara, sungguh aku sangat terkejut dan ingin marah ketika laki-laki itu mengatakan kalau keikutsertaan sekolah kami dalam lomba pidato dibatalkan.

Alasan kenapa dibatalkan adalah karena nama sekolah kami akan di hapus dari daftar sekolah di kabupaten. “Pengganti sekolah ini dalam lomba pidato nanti adalah sekolah Karya” kata laki-laki itu.

Aku sungguh merasa kesal, aku tidak bisa menahan emosi. Aku pergi berlari meninggalkan Bram dan Mikel, masuk kedalam ruangan kelas. Bram dan Mikel berlari mengikutiku masuk ruangan kelas.

Sesampainya di dalam kelas, aku menyuruh Bram melihat situasi siapa yang hendak masuk ruangan kelas kami. Aku berdiri di depan seperti guru, aku katakan kepada satu rungan, kalau sekolah ini harus di kosongkan bulan depan. Sontak satu ruangan terkejut mendengarnya. Mikel berdiri dan mengatakan kalau aku juga akan digantikan, sekolah Karya dalam perlombaan pidato hari rabu. Tampak raut wajah kesal dari teman-temanku.

“Aku tidak rela sekolah ini digusur” kata Anggun, salah satu murid pendiam. “Aku juga tidak setuju, ada aja sekolah masih ada orang bodoh di kampung kita, bagaimana kalau tidak ada. Semua satu kampung kita akan jadi orang bodoh.” Kata Bram dari sambil berdiri di pintu.

“Seperti dirumu Bram, biarpun bersekolah masih aja jadi orang pemalas” kata Naldo. “Aku bukan pemalas, hanya memberikan ruang bagi orang rajin mengembangkan karakter rajinnya saja” kata Bram. “Ahhh sudah” kataku.

Semuanya tidak sepakat jika sekolah digusur. Gedung sekolah adalah saksi sejarah pendidikan para orang tua kami.

“Guru-guru sudah keluar dari dalam kantor” kata Bram. Semua langsung duduk di bangku masing-masing, bu Santi masuk dan duduk di bangkunya.

“Kita mulai pelajaran” kata bu Santi. “Bu aku ingin bertanya sesuatu” kataku. “Ooo silahkan Saga” kata bu Santi. “Apakah betul sekolah ini akan di kosongkan bulan depan bu?” kataku. Mendengar perkataanku, bu Santi terkejut dan terdiam sejenak. “Kok kamu bertanya seperti itu Saga?” kata bu Santi. “Sampai kapan orang ibu menyembunyikan penggusuran sekolah dari kami? kami sudah tau semua bu” kataku. “Kalian tau dari mana masalah penggusuran sekolah ini Saga?” kata bu Santi.

“Kemarin tanpa sengaja kami ke belakang dan mendengar pembicaraan di dalam kantor kepala sekolah bu. Tadi kami sengaja menguping, mendengar pihak pemerintah kabupaten menyuruh mengosongkan sekolah ini bulan depan bu. Kami juga sudah tau bu, kalau aku tidak jadi ikut perlombaan pidato hari rabu di depan bapak Bupati” kataku. “Maafkan, kalau kami guru-guru tidak tau harus berbuat apa, karena sudah keputusan dari pihak pemerintah kabupaten” kata bu Santi dengan muka sedih.

“Ibu tidak usah bersedih, bersedih tidak ada gunanya, seperti yang ibu ajarkan, kita harus melawan ketidakadilan” kata Bram dengan penuh semangat.

Bu Santi sangat terharu dan ia meneteskan air mata. Ia mengatakan, kalau aku pasti akan tampil hari rabu berpidato di depan bapak bupati. Aku mengahampiri bu Santi dan memeluknya, begitu juga semua satu ruangan memeluk bu Santi secara bersamaan. Ibu Santi mengatakan, lonceng jam istrahat pertama nanti kami sudah bisa pulang. Guru-guru akan rapat untuk membahas masalah penggusuran, dan keikut sertaanku dalam lomba pidato yang dibatalkan.

Lonceng jam istrahat berbunyi, itu pertanda kalau sudah bisa pulang. Ketika sampai di parkiran, bang Simal memangggilku dan Bram. Ia mengatakan bu Santi telah cerita kepadanya, tentang situasi penggusuran sekolah dan batalnya aku ikut lomba pidato. Ia berjanji aku akan tetap berpidato di depan bapak Bupati.

Aku dan Bram melanjutkan perjalan pulang, sambil berjalan aku memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa tetap berpidato di depan bapak Bupati. “Kita minta masukan bapak Petrus saja Saga” ucap Bram. “Boleh juga Bram, mana tau pak Petrus bisa membantu kita karena beliau mempunyai banyak kenalan” kataku.

Kalau berjalan kaki ke rumah pak Petrus cukup melelahkan, karena butuh waktu sekitar dua puluh menit dengan berjalan kaki. Bram mengajak untuk naik kerbau saja, karena hari ini ayahnya kurang sehat jadi tidak pergi ke ladang. Kami bergegas menuju rumah Bram, sesampainya di depan rumah Bram memang kerbaunya sedang berada di halaman rumah Bram. Bram masuk ke rumah meminta ijin, aku melihat ban gareta yang di tarik kerbau Bram sedang lagi kempes. Bram dan ayahnya keluar dari dalam rumah dan menghampiriku, ayah Bram melepaskan gareta dari kerbau tersebut karena bangnya sedang lgi bocor.

Aku dan Bram akhirnya menaiki kerbaunya saja tanpa gareta, ayah Bram menyuruh Bram agar hati-hati di jalan dan agar nanti kerbaunya langsung di mandikan ke sungai. Bram sudah menganti pakaian sekolahnya, sedangkan aku masih tetap memakai seragam sekolah yang lengkap. Kami pergi dengan menaiki kerbaunya Bram, aku duduk di belakang Bram sedangkan Bram duduk di depanku untuk mengendalikan kerbaunya.

Cuaca masih terasa dingin dan tidak panas, mungkin gara-gara masih pagi hari. “Nanti setelah dari rumah pak Petrus kau baru mandi ya bruko” kata Bram sambil mengelus punggun kerbaunya.

 “Kerbaumu namanya Bruko ya Bram?” tanyaku. “Iya Saga” jawab Bram. Bram juga mengatakan kalau nama bruko itu di diberikan ayahnya, dan bruko itu singakatan dari “berani untuk kotor.” Aku tertawa mendengar singkatan dari nama bruko, sejanak pikiranku merasa terhibur dan aku menatap kelangit. “Aku teringat ucapan bapak Soekarno, dari buku yang di belikan bang Simal padaku” ucapku. “Perkataan yang bagaimana Saga?” tanya Bram. “Bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang” kataku.

Bram memuji ucapan bapak Soekarno yang kukatakan, ia juga ingin menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Tiba-tiba suara kelekson mobil berbunyi, sambil memanggil namaku dan suaranya seperti aku kenal. Ternyata kebetulan itu adalah suara pak Petrus, ia berhenti dan menanyakan kami mau kemana dan kenapa tidak sekolah. “Kami mau kerumah bapak, ada sesuatu mau kami diskusikan kepada bapak” kataku.

Mendengar perkataanku pak Petrus turun dari mobil, aku dan Bram juga turun dari atas kerbau dan berbicara kepada pak Petrus di pinggir jalan. “Kalian mau diskusi apa dan kenapa tidak sekolah Saga?” tanya pak Petrus. Aku menceritakan semua kejadian terkait sekolah dan kenapa kami tidak berada di sekolah sekarang, pak Petrus semakin terkejut mendengar perkataanku kalau aku batal ikut lomba hari rabu ini. Pak Petrus memberikan semangat, terutama kepadaku supaya jangan patah semangat karena harapan itu pasti ada.

Lihat selengkapnya